BANYAK cara untuk mendapatkan dana. Tapi, untuk olah raga, pemerintah tampaknya perlu melawan arus. Yakni, dengan merestui lagi penyelenggaraan undian sepak bola, semacam undian Totalisator (Toto) KONI, yang pernah dilarang pada 1974 lalu, dengan nama baru: Kupon Berhadiah Porkas Sepak Bola. Undian yang banyak ditentang terutama para ulama itu pekan ini sudah akan diputar, di Jakarta. Dan pemerintah, menurut Menteri Sosial Nani Soedarsono ketika mengumumkan dimulainya permainan tebak-tebakan berhadiah itu, akhir bulan lalu, sudah memutuskan bahwa bersamaan dengan dimulainya Porkas, pemerintah tak lagi mengeluarkan dana pembinaan olah raga yang besarnya sekitar Rp 5 milyar setahun, mulai 1986 ini. Semua dana itu, "Karena kita dihadapkan pada fakta keterbatasan dana," katanya. Dana untuk KONI itu kini sepenuhnya diharapkan dari hasil penjualan kupon Porkas. Hasil bersih dari setiap kali pemutaran yang akan dilaksanakan sekali satu minggu kupon Porkas itu diperkirakan Rp 200 juta. Jumlah itu bisa jadi lebih besar. Maklum, undian baru ini tampaknya disiapkan dengan aturan main yang begitu rapi sehingga sedikit sekali terlihat peluang semua hadiah bakal bisa direbut para pembeli kupon (lihat Boks)). Porkas, setidak-tidaknya, seperti kata Menteri Sosial, memang semacam alat untuk menyedot dana masyarakat. Ini bukan hal baru sebenarnya. Dengan pelbagai nama, sejumlah undian memang sudah pernah dihidupkan pemerintah untuk pembiayaan kegiatan olah raga sejak 1950-an. Tak hanya di Jakarta, tapi juga di daerah. Setelah Jakarta, pemerintah daerah Surabaya, pada 1968, pernah diizinkan menyelenggarakan lotre Totalisator (Lotto) PON Surya - semacam tebak-tebakan yang diundi setiap hari, tak berdasarkan pertandingan olah raga, melainkan murni berdasarkan undian. Izin diberikan karena pertimbangan, daerah ini perlu dana untuk menjadi tuan rumah PON VII pada 1969. Demikian juga daerah lain, Bandung misalnya, juga pernah menyelenggarakan Toto Raga lewat taruhan pacuan kuda. Namun, Jakarta, terutama di masa kepemimpinan Gubernur Ali Sadikin, paling getol memanfaatkan undian untuk membiayai kegiatan olah raga. Berturut-turut setelah Lotto, kota ini menjadi tuan rumah undian bulanan Nasional Lotre (Nalo), yang kini masih hidup dengan nama baru Undian Sosial Berhadiah. Dan terakhir undian yang juga sempat diselenggarakan mereka adalah Toto KONI, yang mendasarkan hasil jawabannya dari pertandingan sepak bola. Cuma, berbeda dengan Porkas, undian ini mengharuskan pemenangnya menebak skor babak pertama dan kedua suatu pertandingan sepak bola. Pertarungan yang bakal ditebak ditentukan. Bisa di Stadion Utama Senayan dan di Stadion Menteng, Jakarta. Dan pemenangnya, bisa terdiri atas sejumlah penebak tepat. Mereka ini mendapat hadiah yang dibagi rata berdasarkan jumlah pemenang. Namun, kegiatan ini berakhir pada 1974. Akibatnya, pemerintah DKI waktu itu kehilangan hasil pajak sekitar Rp 100 juta per bulan. Sejak larangan itu, undian untuk kegiatan olah raga tak lagi meluas. Melainkan dilokalisasikan, misalnya, di pacuan kuda Pulo Mas saja, atau di pacuan anjing Greyhound, Senayan. Kedua kegiatan ini kemudian ditutup sejak larangan judi diberlakukan di seluruh Indonesia mulai 1981. Konsekuensinya, sejumlah dana dari pelbagai kegiatan itu memang hilang. Dan untuk membiayai pembinaan olah raga, pemerintah harus menyubsidi KONI, induk organisasi yang membawahkan 45 cabang olah raga yang menjadi anggotanya. Boleh jadi, karena jumlah subsidi ini ternyata terus naik setiap tahun, pemerintah kewalahan. Dan Porkas pun dihidupkan, kendati untuk itu Nani Soedarsono harus berulang-ulang menegaskan bahwa kegiatan ini sekadar undian, bukan judi. Betapapun, Porkas sudah dimulai. Kalau bisa laku, dia memang sumber dana yang potensial buat menopang pembinaan olah raga yang prestasinya pun sedang surut belakangan ini. Dengan target bisa mendapat Rp 200 juta seminggu, besar dana yang bisa ditarik lewat Porkas ini bisa mencapai lebih Rp 10 milyar setahun. Bagaimana pengaturan dana yang besar itu dilakukan? Siapa saja yang bakal mendapat? Mekanisme untuk ini memang sudah ditetapkan. Misalnya, seperti kata Ketua Umum PSSI Kardono, " Setiap klub dalam negeri yang bertanding, dan hasil pertandingan mereka tercantum dalam undian Porkas, akan mendapat sumbangan Rp 2 juta dari Penyelenggara Porkas." Sedangkan bagi klub klub luar negeri yang pertandingannya dijadikan taruhan Porkas, menurut Wahab Abdi, Ketua I PSSI, cukup dilaporkan ke FIFA saja. PSSI sendiri dan juga cabang-cabang olah raga yang lain mendapatkan dana itu lewat KONI. Besarnya tak sama. KONI memiliki indeks untuk itu. Tahun lalu, misalnya, sepak bola mendapat bantuan Rp 7,5 juta setahun. Sedangkan bulu tangkis, yang dianggap sebagai cabang yang mendapat prioritas, memperoleh Rp 50 juta hingga Rp 75 juta. Tahun ini, pembagian itu belum ditetapkan. Sebab, KONI sendiri, menurut Sekjen M.F. Siregar, sedang menyusun perubahan-perubahan dalam penggunaan dana itu. Tahun lalu dana seluruhnya sekitar Rp 5 milyar mereka bagi 65 persen untuk mengurus administrasi dan 35 persen untuk pembinaan. Tapi, sekarang, dengan jumlah dana yang belum disebutkan jumlah pastinya, Siregar memperkirakan sedikitnya Rp 6 milyar, induk organisasi olah raga ini sudah punya rencana untuk menetapkan pembagian porsi 80 persen untuk pembinaan dan 20 persen untuk administrasi. Adanya Porkas, menurut Siregar, memang menambah semangat. Sebab, jika Porkas lancar terus, dan hasilnya tak lari ke mana-mana, tahun ini juga tak ada alasan lagi bagi mereka untuk kekurangan dana. Marah Sakti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini