Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
IRENE Kharisma Sukandar lagi serius memelototi papan catur pada suatu petang yang gerah, Kamis pekan kemarin. Memegang buah putih, gadis tanggung 11 tahun itu menjalankan buah catur dengan cepat dan gesit. Tampil menyerang, langkah-langkahnya berani. Sesekali ia tampak puas melihat lawannya tersudut. Tapi Kaisar Jenius, 13 tahun, kakak yang menjadi lawan mainnya, akhirnya menang.
"Aku lebih sering kalah lawan dia (Kaisar)," tutur si adik, yang memakai nama kakeknya, Sukandar, di belakang namanya. Namun, itu tak mengurangi prestasi Irene, yang baru saja menempati peringkat 9 kelompok umur 12 tahun putri dalam Kejuaraan Dunia Catur Remaja di Halkidiki, Yunani, yang berakhir 3 November barusan.
"Pertempuran" adik-abang itu berlangsung di Sekolah Catur Utut Adianto (SCUA) di Jalan Siliwangi, Bekasi, Jawa Barat. Di sekolah milik grand master Utut Adianto itulah putra-putri pasangan Singgih Yehezkiel dan Ratna Mulia itu menimba ilmu catur. Ia memang menggemari "olahraga otak" itu. "Kalau sedang menyerang, rasanya nikmat banget," kata Irene.
Sore itu, calon petarung SEA Games 2003 di Vietnam bulan depan ini mungkin tak lagi "konsen". Ia masih kangen dengan keluarganya setelah dua pekan bertanding di Yunani. Di Vietnam, ia akan turun di nomor perorangan dan beregu catur cepat. Padahal, ia lebih suka catur klasik.
Justru catur klasik yang melambungkan master nasional wanita termuda itu di kejuaraan dunia. Ia tak gentar bersaing dengan 85 pecatur tangguh dari 55 negara. Dan ternyata ia sukses menyodok ke peringkat 9 dengan 7,5 poin—setelah 7 kali menang, sekali remis, dan 3 kali kalah. Terpaut 2,5 poin dari sang juara dunia, Yixin Ding dari Cina.
Irene tak minder tampil pertama kalinya di kejuaraan dunia itu. Apalagi setelah ia menang atas pecatur nomor 7 dunia, Dhyani Dave dari India, di babak ketiga, dan jadi sorotan. Ia juga sukses mengalahkan pecatur nomor 9 dunia, Selina Khoo dari Inggris, di babak kedelapan. Padahal Irene mengaku kalah kelas. "Mereka lebih segala-galanya dari aku," kata pengagum pecatur putri papan atas dunia, Judit Polgar (Hungaria), itu.
Tadinya Irene tak tertarik pada catur, meski ayah dan abangnya penggemar olahraga pikir ini. Irene mulai tertarik, dan kemudian jatuh cinta, saat ia mengantar Kaisar belajar di Sekolah Catur Enerpac, Roxy Mas, Jakarta Barat, 1997. Pulang dari sana, ia membuat ayahnya terperanjat. Suatu hari, sepulang kerja, sang ayah sudah dinanti si anak, masih di kelas 2 SD saat itu. Di depan meja catur, tertata bidak-bidak yang siap dimainkan. "Saya kaget. Sebelumnya ia tampak tidak tertarik," tutur Singgih, 40 tahun.
Sejak itulah karyawan Departemen Pertanian tersebut mengajari Irene bermain catur. Ternyata ia berpotensi, yang mendorong sang ayah memasukkan putrinya itu ke SCUA pada 1999. Setiap hari Singgih rela menempuh puluhan kilometer jarak Kebayoran Baru-Bekasi, mengantar putri tersayang. Lulus SD 03 Kebayoran Baru, Irene lalu pindah ke Bekasi, disertai ayah-bunda. Mereka mengontrak rumah di belakang SCUA.
Pengorbanan yang tak sia-sia. Setelah dua tahun berlatih, Irene meraih gelar master Percasi (Persatuan Catur Seluruh Indonesia). Setiap hari ia berlatih empat jam—bisa sampai enam jam menjelang turnamen. Maret 2003, Irene meraih gelar master nasional wanita termuda dalam Piala Aniswati di Jakarta. "Sekarang, kalau juara, hadiahnya lebih besar dari gaji bapaknya," ujar Singgih, terkekeh. Irene mengaku pernah mendapat hadiah besar ketika merebut peringkat 2 catur klasik dan peringkat 3 catur cepat dalam Piala Aniswati 2002. Hadiahnya Rp 1,15 juta.
Irene berpotensi menjadi pecatur hebat. Menurut Kristianus Liem, yang mendampingi Irene ke Yunani, anak asuhannya ini berkarakter permainan agresif. Mentalnya kuat dan berani memainkan langkah yang riskan. Dalam posisi apa pun, ia selalu mencari menang. "Kalau tekniknya makin matang, ia bisa jadi pecatur bagus. Peluang jadi juara dunia terbuka," kata Direktur SCUA itu. Tinggal kini dana besar buat mengirimnya ke pelbagai kejuaraan dunia.
Kini, peluang menjadi juara dunia terbuka lebar di depan Irene. Tak cuma bermodal cinta pada catur, ia juga rajin berlatih dan punya semangat menang yang kuat. Ketimbang berhura-hura seperti teman-teman sebayanya, ia memilih berlatih tiap hari. "Aku menikmati mikir-nya itu," Irene mengaku.
Sapto Yunus
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo