Kalau kata hampir artinya sama dengan tidak, itu berlaku bagi Azahari, doktor perakit bom teror yang hampir tertangkap di Bandung dua pekan lalu. Hampir malam berarti malam pasti akan tiba, sedangkan hampir gol berarti gol tidak dan belum tentu akan terjadi. Seperti halnya gagal menjebol gol, walau hampir menangkap artinya batal meringkus, polisi masih bisa berusaha keras mencoba lagi menyergap tersangka teroris itu. Ini yang penting dikerjakan.
Rencana teror bom pada akhir tahun ini—seperti yang diperkirakan polisi—harus digugurkan sebelum disiapkan. Giliran polisi sekarang untuk berkata bahwa hampir artinya sama dengan tidak, karena hampir meledak berarti bom tidak jadi diledakkan. Perburuan belum usai. Polisi tidak usah jadi sasaran skeptisisme kita. Berbeda dengan menonton pertandingan bola, masyarakat bisa diajak ikut turun membantu polisi agar cepat berhasil. Peluit panjang tidak pernah akan ditiup dalam mencari para pembuat bom yang membahayakan masyarakat ini.
Ada dua tokoh penting yang lolos sewaktu penyergapan di Bandung itu, Azahari bin Husin dan Noordin Mohammad Top, keduanya warga negara Malaysia. Mereka sudah lama dicari karena diduga keras sebagai otak peledakan bom di Bali dan Hotel Marriott Jakarta. Walau hanya nyaris menangkap, yang artinya belum bisa menangkap, polisi tidak berkosong tangan sama sekali. Empat bom siap terangkai, sejumlah peralatan dan beberapa kilogram bahan peledak disita dari kamar kos di Kebon Kembang, Taman Sari, kawasan yang tak jauh dari kampus Institut Teknologi Bandung.
Menangkap teroris dengan menggunakan teroris, kata polisi. Dari hasil pemeriksaan sejumlah tokoh di balik serentetan bom akhir-akhir ini yang sudah ditahan, polisi memperoleh informasi bahwa Doktor Azahari dan komplotannya menyusun jaringan di wilayah Jawa Barat. Pelacakan dengan kecanggihan teknologi menyadap telepon seluler membawa polisi ke persembunyian anak buah Azahari di Cirebon. Tohir alias Masrizal dan Ismail lalu digerebek dan ditangkap di sebuah hotel kecil di sana. Keduanya bersama Asmar Latin Sani—yang ikut meledak bersama bom dalam Kijang yang dibeli Tohir—adalah pelaksana pengeboman Hotel Marriott, Jakarta Selatan, Agustus lalu. Dalam waktu kurang dari 24 jam, hasil pemeriksaan terhadap Tohir menuntun polisi ke rumah kos tempat Azahari menumpang di Bandung.
Azahari, 45 tahun, pernah menjadi dosen Universitas Teknologi Malaysia, adalah orang yang meracik bom dahsyat yang menghancurkan dua kafe di Kuta, Bali, 12 Oktober tahun lampau. Sesudah Hambali tertangkap di Thailand pada Agustus lalu, dia adalah orang terpenting yang masuk dalam daftar pencarian kelompok teroris yang dikaitkan dengan Jamaah Islamiyah. Dia pernah jadi instruktur bom di kamp gerilya Moro Islamic Liberation Front (MILF) di Filipina Selatan. Bersama Hambali dia juga ikut kursus tingkat lanjutan membuat bom di Kandahar, Afganistan, pada tahun 2000. Bom yang dibuatnya untuk Bali adalah racikan dengan formula khusus, yang menambahkan sabun dan bensin untuk memperkuat daya ledak dan daya bakar yang dihasilkan. Polisi memperkirakan Azahari masih belum keluar dari Jawa Barat sekarang ini.
Majalah ini telah menampilkan wajahnya pada sampul laporan utama mengenai dirinya baru dua bulan yang lalu (lihat TEMPO Edisi 1-7 September 2003). Bukan lantaran tertarik atau bersimpati kalau sekarang diturunkan kembali cerita sekitar usaha pengejarannya, yang belum berhasil, sebagai laporan utama. Pertimbangannya justru karena orang ini amat berbahaya apabila masih bebas dan mungkin merencanakan aksi teror berikutnya.
Pemberitaan luas dimaksud agar masyarakat sadar akan bahaya terorisme; bukan agar teroris yang belum kunjung tertangkap ini dipandang sebagai pahlawan, atau jagoan yang mengagumkan. Efek pengkultusan memang diakui mudah tumbuh tanpa sengaja, terutama akibat cara penuturan kisah lolosnya penjahat dari kejaran polisi, terlepas isinya benar atau tidak.
Lolosnya Azahari karena polisi yang hampir menangkapnya khawatir bom yang selalu melilit di badan sang buron akan diledakkan, dan takut kalau itu terjadi bisa menimbulkan korban penduduk sekitarnya, adalah contoh cerita yang peristiwanya ternyata tidak benar terjadi. Dongeng semacam ini—yang anehnya datang dari polisi sendiri—akan membantu membangun mitos tentang keberanian orang yang dikejar-kejar itu.
Azahari harus dikalahkan, karena dia musuh masyarakat. Dengan mengejar tanpa henti, memblokir geraknya, menyumbat saluran suplainya, efeknya akan membuat setiap teroris tidak sempat berbuat lain kecuali lari dan bersembunyi. Sekiranya dia belum tertangkap, paling sedikit niat meledakkan bom akan tertunda, kalau bisa untuk selamanya. Teror tak akan membawa berkat bagi yang melakukannya, begitulah pesan yang harus sampai pada Azahari dan semua teroris lainnya. Sekalipun begitu, dalam operasi pengejaran hendaknya polisi tidak menggunakan cara di luar hukum, apalagi praktek asal babat biar cepat. Jangan sampai menggunakan metode penangkapan tersangka yang kesannya menculik seperti pernah dikeluhkan dulu.
Tentang Azahari, soalnya ialah apakah ia tertangkap atau tidak. Hampir tertangkap artinya masih bebas lepas. Moga-moga hampir tertangkap juga berarti polisi makin dekat pada sasaran dan jejak buruan makin hangat. Saat yang ditunggu ialah ketika diberitakan otak teror bom hampir tidak tertangkap. Masyarakat baru akan tenang kalau itu terjadi, karena hampir tidak tertangkap berarti polisi akhirnya berhasil. Mungkin tak terlalu lama lagi
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini