Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Apa yang sebenarnya terjadi jika seorang atlet lontar martil dan lempar cakram justru tak pernah menyentuh peralatannya itu dalam tahun pertama masa latihannya? Itulah yang dialami Tresna Puspita Gusti Ayu pada masa awalnya berada dalam pemusatan latihan nasional Pengurus Besar Persatuan Atletik Seluruh Indonesia (PASI) di Jakarta.
Menu latihan gadis 17 tahun ini tampak remeh di mata awam: bergantung pada tiang lalu diam beberapa saat, naik-turun bangku, berjalan sambil menendangkan kaki, atau berjalan sambil memutar pinggul—mirip orang yang sedang menari salsa. Itu saja. Martil dan cakram tak keluar dari gudang. "Saya baru boleh latihan melempar menggunakan martil sungguhan saat akan mengikuti kejuaraan nasional 2011," kata Tresna, yang masuk pemusatan latihan pada usia 13 tahun.
Sebelum melempar beneran itu, Tresna menjalani latihan yang berhubungan dengan kecepatan, kekuatan, dan ketahanan serta teknik-teknik melempar yang efisien. Menurut Boedi Darma Sidi, pelatihnya, dia memang harus menjalani latihan-latihan koordinasi dan stabilisasi dulu. Latihan ini akan memperkuat saraf-saraf motorik sehingga bisa menekan risiko cedera karena kesalahan gerak. "Setelah terlatih, dia akan lebih mudah menyerap teknik-teknik yang lebih khusus, seperti melempar," ujar Boedi, dua pekan lalu.
Program PASI itu ternyata menuai hasil menggembirakan. Tresna sukses mencetak prestasi di berbagai kejuaraan (lihat "Prestasi Tresna Puspita Gusti Ayu").
Tresna bergabung dengan pelatnas PB PASI pada Januari 2010. Ia bersama sekitar 50 atlet muda lain kini dalam masa penggemblengan khusus PASI, agar kelak menjadi juara. Inilah pasukan yang diproyeksikan bakal mengikuti jejak Maria Natalia Londa, yang baru saja sukses meraih medali emas lompat jauh di Asian Games, September lalu.
Mereka itulah yang akan menjadi harapan cabang atletik masa depan. Menteri Pemuda dan Olahraga Imam Nahrawi boleh menjatuhkan perhatiannya pada pembinaan atletik ini, demi mengail prestasi di tingkat internasional. Maria Londa adalah salah satu bukti keberhasilan pembinaan atletik.
Ketua Komisi Kepelatihan PB PASI Kikin Ruhudin menjelaskan, ikhtiar melahirkan juara-juara baru ini diawali dengan meningkatkan keahlian para pelatih. "Program latihan yang tepat dari pelatih berkualitas adalah salah satu kunci menciptakan juara-juara," katanya. Maka PASI, antara lain, rutin mengirim pelatih untuk belajar di Jerman.
Boedi Darma adalah salah satu pelatih yang mengecap pelajaran di negeri asing itu. Berbagai pendidikan kepelatihan internasional telah ia lalui, dari sertifikasi kepelatihan Federasi Atletik Dunia (IAAF) level IV hingga program pengayaan kepelatihan internasional bersertifikat di Amerika Serikat selama setahun pada 2010-2011. Program itu setara dengan level V IAAF—level tertinggi dalam sertifikasi kepelatihan itu.
Selain Boedi, Kikin Ruhudin, yang juga pelatih lari gawang, memiliki sertifikat kepelatihan level IV IAAF. Lalu I Ketut Pageh, yang membina Maria Londa, pernah mengenyam pendidikan kepelatihan di Jerman. Dia juga mendapat kesempatan menjadi asisten pelatih lompat jauh bertangan dingin asal Cina, Feng Shou Yong.
Selain itu, PASI beberapa kali menugasi pelatih nasional menjadi asisten coach asing yang sedang bertugas di Indonesia. Maka, kata Kikin, yang bersangkutan dapat "mencuri" ilmu-nya.
Kikin merasakan manfaat menjadi asisten pelatih asing itu saat membantu Robert Bolar—pelatih sprint asal Australia—pada 2008. Ia mencatat semua hal yang dilakukan Bolar dan memfotokopi kertas program-program pelatihan. Ilmu itu lalu ia terapkan saat menangani Dedeh Erawati, pelari gawang. "Dan, alhamdulillah, hasilnya bagus."
Ikhtiar meningkatkan mutu pelatih juga didukung dengan pembangunan Pusat Pengembangan Regional Atletik Asia (RDC) Jakarta. Di Asia, hanya ada dua pusat pengembangan regional. Satu lainnya di Beijing. Fungsi RDC adalah menyediakan fasilitas pengembangan atletik, termasuk dari segi pendidikan kepelatihan.
Ketua RDC Jakarta Ria Lumintuarso mengatakan Ketua PASI Muhammad "Bob" Hasan-lah yang berinisiatif mengusulkan kepada IAAF agar salah satu pusat pengembangan regional Asia didirikan di Jakarta. Usul ini pun diterima. Dengan itu, "Kami bisa menyediakan pendidikan serta ujian level-level kepelatihan IAAF," ujarnya.
Namun Ria menyayangkan hanya sedikitnya pelatih lokal yang—karena kendala bahasa—mau mengambil level III ke atas. "Di level III, kami tidak bisa menyediakan pelatihan dalam bahasa Indonesia karena ada peserta-peserta dari negara lain juga," katanya.
Sedikitnya pelatih yang mau mengembangkan level kepelatihan ini menyebabkan kendala pada pencarian bakat dan pembinaan atlet di daerah. Sebab, para pelatih yang tidak mengenyam pendidikan kepelatihan tingkat tinggi itu kadang kurang jeli menemukan bakat segar, seperti Tresna dan Maria Londa.
Kalaupun mereka mendapatkan atlet berbakat, kadang terjadi salah pembinaan akibat cekaknya pengetahuan. Hal ini tak jarang bisa berakibat fatal. "Ada yang terlalu dipaksakan sehingga atletnya cedera atau mengalami kebosanan hingga akhirnya mundur," ujar Boedi.
Masalah lain, menurut Ria, adalah minimnya infrastruktur dan sarana pendukung latihan di daerah. Tidak ada fasilitas selengkap pelatnas Jakarta, yang memiliki hampir semua pendukung yang dibutuhkan untuk membina seorang juara: pelatih berkualitas, asrama, tim dokter, ahli gizi, dan peralatan latihan yang memadai. "Padahal, kalau sentra-sentra di daerah memiliki fasilitas ini, kita bisa membina lebih banyak bibit potensial."
Kekurangan ini, misalnya, dialami Mayliana Candra Dewi, pelatih atletik yang berkiprah di Kediri, Jawa Timur. Pelatih yang akrab disapa Lisa ini mengatakan sulitnya mengembangkan Kid's Athletics—program yang digagas IAAF guna merangsang minat berolahraga atletik pada anak-anak usia sekolah dasar.
Setelah mengikuti program kepelatihan Kid's Athletics di Jakarta, Lisa sebenarnya sudah memiliki rancangan program yang akan diterapkan di Kediri. "Tapi semua itu masih angan-angan karena kami tidak memiliki dana," ujarnya.
Persoalannya bagai lingkaran setan. Pelatihan di daerah membutuhkan fasilitas, tapi dana tak ada. Atlet berbakat pun kerap luput dari pembinaan bermutu. Demi menembus jalan buntu ini, PASI pusat kerap melakukan terobosan. Pembina-pembina di Ibu Kota terus mencari informasi tentang atlet-atlet berbakat di daerah. Begitu ditemukan, atlet berbakat itu langsung ditarik ke Jakarta.
Pencarian model itu telah berhasil menemukan Ulfa Silpiana dari Kuningan, Jawa Barat. "Saya melihat dia memiliki starting yang bagus dengan tipe sprinter murni. Jadi langsung ditarik ke PASI pusat," kata Boedi. Tresna juga ditemukan dengan cara ini. Selain itu, Abdul Hafiz, atlet lempar lembing berbakat, dipergoki saat Boedi berkunjung ke Medan.
Ternyata, selain lewat blusukan, ada juga atlet yang minta diuji agar bisa masuk pemusatan latihan nasional. Ini, misalnya, dilakukan sprinter Ken Ayuthaya. Dia semula atlet hoki yang ingin menguatkan daya tahan dan kecepatan dengan berlatih atletik. "Tapi ternyata keterusan. Saya ingin seperti Mbak Dedeh (Erawati)," ujar Ken.
Karena berbakat, Ken pun diterima. Dan dia berhasil menunjukkan prestasinya dengan meraih medali perunggu di nomor lari gawang 100 meter dalam Kejuaraan Remaja Asia di Nanjing, Cina.
Pak Menteri Olahraga kini semestinya tahu, cukup banyak atlet berbakat di lintasan atletik. Persoalannya, berapa besar perhatian pemerintah pada cabang ini.
Gadi Makitan, Rina Widiastuti, Hari Tri Warsono (Kediri)
Ongkos Menjadi Juara
Tresna Puspita Gusti Ayu kaget tatkala asisten pelatih meminta ia menyerahkan gadget-nya. Malam itu, awal Januari 2010, adalah hari pertamanya tinggal di asrama pemusatan latihan nasional Pengurus Besar Persatuan Atletik Seluruh Indonesia (PB PASI) Jakarta. Remaja 14 tahun ini baru tahu bahwa itulah salah satu peraturan di asrama. Gadget baru dikembalikan pada pagi hari, sebelum mereka memulai aktivitas.
"(Waktu itu) berat juga rasanya," tutur Tresna, yang harus tinggal jauh dari keluarganya di Kuningan, Jawa Barat. "Jadi, Papa enggak bisa nelepon saya waktu malam. Saya juga punya kebiasaan mendengarkan musik sebelum tidur."
Kewajiban menyerahkan gadget atau telepon seluler adalah salah satu cara PB PASI menerapkan disiplin pola tidur pada atlet binaannya. Tujuannya agar mereka bisa menjaga kebugaran. Atlet diwajibkan mulai tidur pukul 21.00. Esok mereka harus bangun pukul 05.00 untuk menjalani sesi latihan pagi, sebelum berangkat sekolah atau kuliah pukul 06.30.
Disiplin lain yang diterapkan adalah kewajiban melapor ke petugas keamanan setiap keluar dari asrama. Mereka harus memberitahukan tujuan dan keperluannya. "Di sini kami memang dibiasakan hidup teratur," tutur Tresna. "Setelah sesi latihan sore, kami makan malam bersama. Lalu ada apel malam. Biasanya itu digunakan untuk mengumumkan beberapa hal."
Di asrama PB PASI yang terletak di bangunan Stadion Madya, Gelora Bung Karno, itu tinggal sekitar 50 atlet calon juara. Mereka menikmati fasilitas yang serba cukup, seperti kamar yang dihuni dua orang dengan penyejuk udara. Juga makan tiga kali sehari, konsultasi gratis dengan tim dokter PB PASI, antar-jemput sekolah, pelayanan pencucian baju, serta perlengkapan latihan.
Mereka juga menikmati biaya sekolah gratis hingga SMA. Dalam wawancara dengan Tempo beberapa waktu lalu, Wakil Sekretaris Umum PB PASI Sri Hastuti Merdiko mengatakan PASI menjalin kerja sama dengan beberapa universitas agar ada keringanan biaya kuliah bagi para atlet.
Perhatian terhadap gizi atlet juga salah satu fasilitas yang disediakan PB PASI. Orang yang bertanggung jawab untuk urusan ini adalah Mimi Suharti, dokter bergelar magister gizi.
"Menyediakan menu buat atlet atletik itu tidak sederhana," tutur Mimi. "Kebutuhan mereka beragam di setiap nomor. Saat akan latihan atau bertanding, kebutuhannya juga berbeda."
Mimi mencontohkan, untuk pelari jarak jauh, mereka lebih banyak membutuhkan karbohidrat. Sedangkan untuk atlet lempar, kebutuhan terbesar adalah protein. Bagi atlet sprint, antara karbohidrat dan protein mesti seimbang.
Mimi mengaku rutin berembuk dengan setiap pelatih agar kebutuhan gizi bisa disesuaikan dengan tahap latihan si atlet. "Karena di asrama mereka makan bareng, jadi setiap atlet diberi pengarahan tentang menunya: berapa potong daging yang harus mereka makan, berapa banyak nasi, dan sebagainya," katanya. Kebutuhan gizi itu juga disesuaikan dengan program pengaturan berat badan. "Kami melakukan pengukuran terhadap komposisi otot dan lemak. Setelah itu barulah ditentukan dietnya seperti apa."
Dengan perlakuan seperti itu, setelah lima tahun berselang, Tresna merasakan ada perubahan besar pada dirinya. "Pola hidup dan makan teratur itu benar-benar terbentuk," tuturnya. Jadi, ketika dia pulang kampung untuk liburan, misalnya, disiplin atlet tetap terjaga. "Saya tidak kesulitan menahan diri jajan sembarangan."
Kini dia juga tidak merasakan masalah ketika gadget-nya mesti dikumpulkan saban malam. "Kalau mau juara, ya, harus berdisiplin," ujarnya.
Gadi Makitan, Rina Widiastuti
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo