Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Obituari

Impian Terakhir Mr. Good Point

Soegeng Sarjadi ingin mewujudkan kebangkitan Indonesia 100 tahun ke depan.

3 November 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DI kawasan peristirahatan seluas 6,5 hektare di Ciawi, Jawa Barat, terdapat masjid yang desainnya unik: tak berkubah dan berbentuk rumah yang asri. Di sana juga berdiri kampus dan gedung teater berwujud hanggar superluas. "Punya rest area yang bisa jadi tempat wisata intelektual adalah impian Soegeng Sarjadi," kata Direktur Eksekutif Soegeng Sarjadi Syndicate Sukardi Rinakit pada Jumat malam pekan lalu.

Itulah hal terakhir yang disampaikan Soegeng kepada Sukardi pada Senin pekan lalu. Esok paginya, Soegeng diboyong ke Rumah Sakit Siloam, Jakarta Selatan, karena penyakit kanker tiroid yang telah lama dideritanya. Pria kelahiran Pekalongan, 5 Juni 1942, itu lalu dipindahkan ke Rumah Sakit Pertamedika, Sentul, Bogor. Saat dijenguk Sukardi pada Rabu tengah malam, Soegeng sudah koma. Kamis pukul 09.05, mantan politikus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan itu tutup usia pada umur 72 tahun.

Hal terakhir yang mungkin diingat masyarakat tentang Soegeng adalah kehadirannya dalam Soegeng Sarjadi Forum di TVRI—acara bincang-bincang yang dimulai pada 2010. Di situ, dia jadi pemandu dan moderator diskusi yang mengangkat berbagai tema politik dan ekonomi aktual. Dia selalu memuji pendapat narasumber yang hadir dengan ungkapan khas: "Good point!" Istilah Mr. Good Point kemudian melekat pada dirinya.

Hidup Soegeng dipahat oleh dua dunia: pengusaha dan aktivis. Putra sulung dari sepuluh bersaudara ini mewarisi bakat dagang dari ayahnya, Sarjadi Mardaan, pedagang tekstil di Pekalongan. Sejak kecil, dia biasa menjajakan batik kepada para langganan ayahnya.

Sebenarnya cita-cita dia menjadi ahli hukum, karena, "Saya ingin membela orang lemah," katanya. Tapi ia malah kuliah di Fakultas Publisistik Universitas Padjadjaran, Bandung. Sambil kuliah, ia tetap berdagang batik. Kuliahnya hanya sampai tingkat V. "Saya keenakan cari duit sebagai pedagang."

Sejak kuliah, Soegeng sudah jadi aktivis. Dia pernah menjadi Ketua Dewan Mahasiswa Universitas Padjadjaran dan Ketua Himpunan Mahasiswa Islam Cabang Bandung serta aktif di Ikatan Pers Mahasiswa Indonesia.

Pada saat yang sama, naluri bisnisnya berkembang. Ia menjadi Direktur PT Kwarta Daya Pratama, kemudian menjadi manajer di PT Krama Yudha dan komisaris PT Krama Yudha Mojopahit Motor. Tiga tahun kemudian, pada 1979, bersama Fahmi Idris, Aburizal Bakrie, dan Ponco Sutowo, ia mendirikan dan menjadi Direktur PT Kodel (Kongsi Delapan).

Dia juga terjun ke politik dengan menjadi anggota DPR dan MPR pada 1967-1968. Memasuki era reformasi, ia menggandeng Sukardi Rinakit untuk mendirikan Soegeng Sarjadi Syndicate, lembaga riset independen milik Yayasan Soegeng Sarjadi. Itulah tanggapannya atas proses demokratisasi yang sedang bergelora pada waktu itu. Perhatian utama lembaga itu adalah agar proses demokratisasi tersebut berjalan pada rel yang benar.

Soegeng terus melangkah. Pada 2009, ia bersama Sukardi Rinakit dan M. Fadjroel Rachman mendirikan Soegeng Sarjadi School of Government, lembaga pelatihan kepemimpinan dan kursus ketatalaksanaan negara. Sekolah ini berniat mewujudkan kebangkitan Indonesia 100 tahun ke depan—impian Soegeng lainnya.

Suami Sri Soesilastoeti itu tak sempat menyaksikan semua impiannya terwujud. Setelah Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla menyalatkannya pada Kamis siang pekan lalu, Soegeng dimakamkan di kompleks Masjid Asshalihin, yang dibangunnya di Kampung Nagrok, Desa Purbawati, Sukabumi.

Hal terakhir yang dikenang Sukardi tentang Soegeng adalah kegelisahannya soal kondisi parlemen Indonesia saat ini. Bagi Soegeng, seorang politikus semestinya memaknai prinsip dasar politik sebagai prinsip bernegara. Maka kekuasaan bakal digunakan untuk menyejahterakan rakyat. "Rakyat yang sejahtera, yang bahagia, itulah obsesi bernegara yang ideal menurut Mas Soegeng," ujar Sukardi.

Danarto (penulis dan perupa), Isma Savitri

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus