Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Dari Test Kelamin Sampai Doping

Fabanyo, atlit nasional pada Asian Games IV, 1962 menyamar sebagai atlit putri. Test kelamin tidak menjamin kesejatian atlit putri. Test doping tidak menjamin atlit tidak menggunakan perangsang.

16 Juli 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PERAWAKANNYA pendek dan kekar. Lahiriah (ketika itu) pun tampak feminin. Ia sekamar dan berlomba bersama atlit puteri. Dialah, Fabanyo, 'olahragawati' yang dipersiapkan untuk Asian Games IV di Jakarta, tahun 1962 lalu. Kini bekas atlit nasional itu memelihara jenggot yang lebat. Ia kelihatan telah menemukan keaslian dirinya sebagai seorang maskulin. Ia sekarang bermukim di Manokwari. Ia menjabat Sekretaris KONI serta Ketua PASI daerah Irian Jaya. Ganti kelaminkah Fabanyo? Ternyata tidak. Ia hanya menyembunyikan identitasnya di balik pakaian kaum hawa pada masa 60-an itu. Meski penyamaran itu dilakukannya dengan rapi, namun naluri kewanitaan para olahragawati lainnya tetap mencurigai dirinya. "Kami tidak pernah mandi sama-sama dia," tutur seorang bekas atlit yang kini sudah menjadi nyonya. Tapi bekas olahragawati tersebut (masa itu) juga tak dapat berbuat banyak untuk membuktikan kecurigaannya terhadap Fabanyo. Karena tempo itu test kelamin bagi atlit puteri belum terlalu lazim. Sekarang, pembuktian diri itu merupakan kewajiban untuk olahragawati yang ambil bagian dalam PON. Setiap orang diwajibkan memiliki sertifikat pemeriksaan dari dokter yang membuktikan bahwa mereka adalah wanita sejati. Dalam PON VIII, tahun 1973 lalu penentuan seks itu telah dilakukan terhadap atlit-atlit wanita. Tapi sertifikat yang dimiliki seorang olahragawati tidak dengan sendirinya menjadi jaminan prestasi yang dibuat mereka di lapangan sebagai rekor wanita asli. Sebab genetik asal atau (chromosom pembawa gene untuk wanita: XX) bisa saja dipengaruhi suntikan hormon. Juga lingkungan hidup mempengaruhi kondisi lahiriah. Sehingga menjadikan si olahragawati memiliki tenaga lebih ketimbang rekannya yang tidak dipengaruhi oleh faktor plus lainnya. Misalnya, A terlahir sebagai seorang wanita asli dengan chromosom XX. Tapi lantaran sejak kecil ia bergaul dengan lingkungan pria, maka ia secara otomatis kekuatan fisiknya akan mendapat pengaruh dari lingkaran pergaulanya. Ia jelas lebin terampil maupun mempunyai tenaga yang lebih dibandingkan kaumnya yang hanya bergaul dengan sejenisnya saja. Juga suntikan obat-obatan tertentu akan mempengaruhi juga. Lihat saja bentuk tubuh olahragawati Jerman Timur yang lebih berotot ketimbang atlit wanita lainnya. Adakah semua itu bisa dijadikan ukuran prestasi seorang olahragawati sejati? Seorang Fabanyo mungkin tidak jadi persoalan lagi, kini. Bagaimana dengan metode penggunaan suntikan hormon? Termasuk golongan manakah mereka itu? Wanita sejati atau kaum Hawa plus. Bagaimana pula dengan wanita yang memiliki keistimewaan yang dibawa sejak lahir? Sebab ada juga wanita yang terlahir dengan kromatin seks XXY. Persoalan lain yang menjadi perbincangan hangat dalam PON IX nanti adalah soal pemakaian obat perangsang (doping). Mungkinkah hal itu bisa dibuktikan oleh Panitia Besar PON IX? Sebab seorang atlit maupun ofisial bukan tidak lihay dalam main kucing-kucingan dengan panitia dalam soal pemakaian obat perangsang ini. Apalagi kemungkinan seorang atlit bisa terjebak juga terbatas pada waktu pengaruh obat itu. Darahnya Disedot Misalnya, seorang atlit B selama dalam pusat latihan diberikan obat perangsang tertentu. Tapi seminggu menjelang pertandingan hal itu dihentikannya. elanjutnya ia menggantikan dengan pengaturan menu makanan secara ketat. Bukankah selama itu ia sudah menumpuk 'tenaga' dalam tubuhnya? Tidakkah ilu termasuk doping? Untuk membuktikan kesangsian tersebut lewat pemeriksaan air seni (urine) atau darah jelas sudah tak mungkin diselusuri. Sebab unsur-unsur obat perangsang tersebut sudah lama larut dalam mekanisme tubuh. Atau boleh jadi (siapa tahu, bukan?) seorang atlit meniru apa yang dilakukan oleh atlit Finlandia, Lasse Varen yang memasukkan kembali darahnya yang disedot sebelum pertandingan. Menurut dr Hafiz, dari bagian Biokimia FKUI, apa yang dilakukan Varen itu bukanlah termasuk kategori doping. Sekalipun pemasukan darah segar itu kembali bukan tak mempengaruhi si atlit. Varen adalah juara Olympiade Montreal 1976 untuk lari 5.000 m puteri. Tantangan ini bukanlah suatu hal yang sepele. Mungkinkah Panitia Besar PON IX membuktikan kecurigaan itu dengan peralatan pemeriksaan yang terbatas? Mengingat pemeriksaan obat perangsang dalam darah (kecuali dalam air seni) tak mungkin dilakukan untuk sementara waktu. Bagian Biokimia FKUI yang memiliki alat mutahir untuk pemeriksaan tersebut, sekarang masih dalam kesulitan. Radio isotop yang mereka butuhkan buat pemeriksaan tersebut tidak ada dalam persediaan mereka. Akan murnikah hasil pemeriksaan, ndainya seorang atlit nanti dicurigai terlibat memakai obat perangsang diperiksa dengan peralatan deteksi yang kurang lengkap?

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus