PERAWAKANNYA pendek dan kekar. Lahiriah (ketika itu) pun tampak
feminin. Ia sekamar dan berlomba bersama atlit puteri. Dialah,
Fabanyo, 'olahragawati' yang dipersiapkan untuk Asian Games IV
di Jakarta, tahun 1962 lalu.
Kini bekas atlit nasional itu memelihara jenggot yang lebat. Ia
kelihatan telah menemukan keaslian dirinya sebagai seorang
maskulin. Ia sekarang bermukim di Manokwari. Ia menjabat
Sekretaris KONI serta Ketua PASI daerah Irian Jaya.
Ganti kelaminkah Fabanyo? Ternyata tidak. Ia hanya
menyembunyikan identitasnya di balik pakaian kaum hawa pada masa
60-an itu.
Meski penyamaran itu dilakukannya dengan rapi, namun naluri
kewanitaan para olahragawati lainnya tetap mencurigai dirinya.
"Kami tidak pernah mandi sama-sama dia," tutur seorang bekas
atlit yang kini sudah menjadi nyonya.
Tapi bekas olahragawati tersebut (masa itu) juga tak dapat
berbuat banyak untuk membuktikan kecurigaannya terhadap Fabanyo.
Karena tempo itu test kelamin bagi atlit puteri belum terlalu
lazim.
Sekarang, pembuktian diri itu merupakan kewajiban untuk
olahragawati yang ambil bagian dalam PON. Setiap orang
diwajibkan memiliki sertifikat pemeriksaan dari dokter yang
membuktikan bahwa mereka adalah wanita sejati. Dalam PON VIII,
tahun 1973 lalu penentuan seks itu telah dilakukan terhadap
atlit-atlit wanita.
Tapi sertifikat yang dimiliki seorang olahragawati tidak dengan
sendirinya menjadi jaminan prestasi yang dibuat mereka di
lapangan sebagai rekor wanita asli. Sebab genetik asal atau
(chromosom pembawa gene untuk wanita: XX) bisa saja dipengaruhi
suntikan hormon. Juga lingkungan hidup mempengaruhi kondisi
lahiriah. Sehingga menjadikan si olahragawati memiliki tenaga
lebih ketimbang rekannya yang tidak dipengaruhi oleh faktor plus
lainnya.
Misalnya, A terlahir sebagai seorang wanita asli dengan
chromosom XX. Tapi lantaran sejak kecil ia bergaul dengan
lingkungan pria, maka ia secara otomatis kekuatan fisiknya akan
mendapat pengaruh dari lingkaran pergaulanya. Ia jelas lebin
terampil maupun mempunyai tenaga yang lebih dibandingkan kaumnya
yang hanya bergaul dengan sejenisnya saja. Juga suntikan
obat-obatan tertentu akan mempengaruhi juga. Lihat saja bentuk
tubuh olahragawati Jerman Timur yang lebih berotot ketimbang
atlit wanita lainnya.
Adakah semua itu bisa dijadikan ukuran prestasi seorang
olahragawati sejati?
Seorang Fabanyo mungkin tidak jadi persoalan lagi, kini.
Bagaimana dengan metode penggunaan suntikan hormon? Termasuk
golongan manakah mereka itu? Wanita sejati atau kaum Hawa plus.
Bagaimana pula dengan wanita yang memiliki keistimewaan yang
dibawa sejak lahir? Sebab ada juga wanita yang terlahir dengan
kromatin seks XXY.
Persoalan lain yang menjadi perbincangan hangat dalam PON IX
nanti adalah soal pemakaian obat perangsang (doping). Mungkinkah
hal itu bisa dibuktikan oleh Panitia Besar PON IX? Sebab seorang
atlit maupun ofisial bukan tidak lihay dalam main
kucing-kucingan dengan panitia dalam soal pemakaian obat
perangsang ini. Apalagi kemungkinan seorang atlit bisa terjebak
juga terbatas pada waktu pengaruh obat itu.
Darahnya Disedot
Misalnya, seorang atlit B selama dalam pusat latihan diberikan
obat perangsang tertentu. Tapi seminggu menjelang pertandingan
hal itu dihentikannya. elanjutnya ia menggantikan dengan
pengaturan menu makanan secara ketat. Bukankah selama itu ia
sudah menumpuk 'tenaga' dalam tubuhnya? Tidakkah ilu termasuk
doping? Untuk membuktikan kesangsian tersebut lewat pemeriksaan
air seni (urine) atau darah jelas sudah tak mungkin diselusuri.
Sebab unsur-unsur obat perangsang tersebut sudah lama larut
dalam mekanisme tubuh.
Atau boleh jadi (siapa tahu, bukan?) seorang atlit meniru apa
yang dilakukan oleh atlit Finlandia, Lasse Varen yang memasukkan
kembali darahnya yang disedot sebelum pertandingan. Menurut dr
Hafiz, dari bagian Biokimia FKUI, apa yang dilakukan Varen itu
bukanlah termasuk kategori doping. Sekalipun pemasukan darah
segar itu kembali bukan tak mempengaruhi si atlit. Varen adalah
juara Olympiade Montreal 1976 untuk lari 5.000 m puteri.
Tantangan ini bukanlah suatu hal yang sepele. Mungkinkah Panitia
Besar PON IX membuktikan kecurigaan itu dengan peralatan
pemeriksaan yang terbatas? Mengingat pemeriksaan obat perangsang
dalam darah (kecuali dalam air seni) tak mungkin dilakukan untuk
sementara waktu. Bagian Biokimia FKUI yang memiliki alat mutahir
untuk pemeriksaan tersebut, sekarang masih dalam kesulitan.
Radio isotop yang mereka butuhkan buat pemeriksaan tersebut
tidak ada dalam persediaan mereka.
Akan murnikah hasil pemeriksaan, ndainya seorang atlit nanti
dicurigai terlibat memakai obat perangsang diperiksa dengan
peralatan deteksi yang kurang lengkap?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini