Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berhasil masuk 8 besar Piala Federasi merupakan sukses tersendiri bagi regu tenis putri Indonesia. Yayuk disambut hangat di tanah air. Spanyol juara, menundukkan Amerika 2-1. REGU tenis putri Indonesia, tampaknya, belum boleh meroket kelewat drastis. Delapan besar dunia sudah merupakan tempat yang cukup terhormat. Memang, dua petenis andalan itu, Yayuk Basuki dan Suzana Wibowo, ada kesempatan untuk melejit ke tempat empat besar, Jumat pekan lalu. Tapi, di kejuaraan Piala Federasi di Nottingham, Inggris, lawan yang dihadapi adalah Spanyol, tim yang di atas kertas dan di atas lapangan jelas lebih unggul. Dan memang demikianlah kenyataannya. Namun, dari "kegagalan" mendaki semifinal itu perlawanan Yayuk Basuki pantas mendapat acungan jempol. Yayuk, yang kini peringkat 40 dunia, terjegal oleh Arantxa Sanchez, peringkat 4 dunia, dalam pertarungan selama 205 menit. Di pertarungan yang alot di Nottingham Tennis Centre itu Sanchez unggul 4-6, 7-5, dan 6-4. Artinya, Yayuk sempat memenangkan set pertama. Dan itu hanya membutuhkan waktu 30 menit. Bahkan, di set kedua, Yayuk sempat memimpin 4-1 dan banyak penonton mendukungnya. Tapi, Sanchez punya kematangan dan pengalaman bertanding yang lebih baik. Di game keenam, ia menemukan formnya lagi. Bola-bola yang sulit dari Yayuk bisa dikembalikan dengan baik. Dan Sanchez terus melejit, dan mampu menyamakan angka, dan malah memenangkan pertandingan 7-5. "Saya saat itu memang merasa tertekan," tutur Yayuk kepada Jawa Pos. Toh, pelatih Spanyol sempat memuji gadis Yogya ini. "Ia membuat kami tertegun. Saya perhatikan terus setiap Yayuk melakukan serve. Dia pemain penuh bakat," puji Juan F. Alvarino, pelatih Spanyol itu. Pujian yang tidak berlanjut dengan sukses Yayuk lagi karena, di set ketiga, Sanchez pulalah yang memenangkan pertandingan. Setelah Yayuk kalah, justru lawannya yang memuji. "Dia pemain yang berbakat, sayangnya ia patah semangat, dan itu saya manfaatkan karena saya ingin menjaga nama baik saya," kata Sanchez. Dengan demikian, Spanyol maju ke semifinal karena sebelum Yayuk, Suzana Wibowo, peringkat 207 dunia, kalah telak di ujung raket Conchita Martinez, peringkat 7 dunia, dalam waktu 57 menit. Skornya telak 2-6, 0-6. "Suzana banyak mati langkah sehingga gagal mengantisipasi pukulan Conchita," kata Manajer Tim Nyonya Martina Wijaya. Masuk delapan besar dunia tentu saja masih bergengsi. Apalagi bisa mengalahkan Polandia dengan 2-1 sebelum ketemu Spanyol. Dan sebelum ketemu Polandia bahkan membabat habis Yugoslavia, yang tidak diperkuat Monica Seles, dengan 3-0. Bayangkan saja, pada tahun 1988 ketika Piala Federasi dilangsungkan di Melbourne, Australia, regu putri ini -- sudah diperkuat Yayuk -- hanya bisa menempati 16 besar dan bukan main pujian yang diterima. Dua tahun berturut-turut setelah itu ternyata malah melorot. Di Piala Federasi Tokyo, Jepang (1989), kedudukan 16 besar lepas. Tapi ada kegembiraan lain, diperolehnya juara consolation round Piala Federasi alias urutan ke-17. Dan tahun lalu pada kejuaraan serupa di Atlanta, AS, gelar juara consolation round itu dipertahankan kembali. Delapan besar seperti yang diukir pekan lalu mengulang peristiwa 18 tahun silam di Hamburg. Saat itu, tim Indonesia terdiri dari Lanny Kaligis dan Lita Soegiarto. Alangkah lamanya sejarah itu berulang. Dan alangkah sulitnya di tengah-tengah persaingan tenis yang makin ketat. Bagi petenis, sebenarnya Piala Federasi tidak sebergengsi Wimbledon. Ini adalah kejuaraan tenis putri tingkat dunia beregu, seperti halnya Piala Davis untuk regu putra yang tak menjanjikan banyak hadiah. Karena itu, petenis seperti Monica Seles enggan ikut memperkuat negaranya, Yugoslavia, dengan dalih cedera. Mereka yang sudah kondang kaya, seperti Martina Navratilova, juga absen. Bagi Indonesia kejuaraan ini tetap penting. Buktinya, pelatih Jiri Waters serta kapten tak bermain Tintus Arianto Wibowo tak berani berspekulasi. Dua pemain cadangan, Joice Riana Sutedja dan Irawati Moerid, tetap "disimpannya" hingga kejuaraan selesai. Karena kesiapan Yayuk dan Suzana tak ada tanda-tanda melemah dan tak ada alasan untuk menggantinya. Lagi pula, seperti yang dikatakan Martina Wijaya, kedua petenis ini sudah menang di penyisihan awal, maka tugas mereka pulalah meneruskan kemenangan itu. Bagi Yayuk, yang kini sibuk memperbaiki peringkat, kejuaraan di Nottingham ini pun dianggap penting. Pengalaman bertarung dengan petenis kaliber dunia begitu didambakannya meski hasil nya lebih banyak kalah. Dulu, kesempatan itu jarang ia peroleh karena kurangnya sponsor. Sponsor untuk tenis sekarang tak sesulit dulu lagi. Yayuk bisa melanglang buana. Bahkan, hadiah untuk tim Piala Federasi ini --bukan hanya untuk Yayuk dan Suzana -- mengalir datang dari para pengusaha. Bank Danamon kabarnya memberi bonus US$ 150 ribu dan Astra memberi hadiah mobil yang terakhir ini untuk Yayuk dan Suzana. Belum lagi ada yang menjanjikan hadiah rumah. Sementara itu, Menpora Ir. Akbar Tandjung akan mengusulkan penghargaan satyalencana khusus bagi Yayuk. Pertimbangannya, selain Yayuk merupakan salah satu atlet berprestasi, juga berhasil menerobos jajaran elite dunia. Yang sekarang menjadi pertanyaan adalah siapa penerus generasi Yayuk dan Suzana. Yayuk, 21 tahun, masih punya waktu banyak. Tapi Suzana yang sudah 28 tahun? Tak ada lain harapan pada Joice Riana Sutedja dan Irawati Moerid yang kini masih "disimpan-simpan". Sudah saatnya mereka dilepas. Sri Indrayati
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo