Mimpi diajak naik mobil oleh Bung Karno. Menyanyikan Indonesia Raya dan Mars MKGR sesaat sebelum dipanggil Yang Mahakuasa. IA "terpilih" sebagai orang yang hampir selalu tampil di masa krisis. Di Sidang Umum MPR pada 1988, misalnya. Ketika calon wakil presiden belum muncul dari "kantong" Presiden Soeharto, sementara Wapres Umar Wirahadikusumah agaknya hanya akan sekali menjabat, tampillah Sugandhi. Bukan sebagai wakil presiden, tapi sebagai Ketua FKP di MPR, bersama dua tokoh Golkar lainnya ia mengintip isi "kantong" Presiden. Ketika itu Presiden tidak menyebut nama tapi mengemukakan lima kriteria. Dan setelah melalui beberapa kali rapat, Golkar pun mencalonkan H. Sudharmono, S.H., yang ketika itu Mensesneg merangkap Ketua Umum DPP Golkar. "Kelak orang yang ingin jadi presiden atau wakil presiden harus bisa membina kekuatan sosial politik yang besar," kata Sugandhi. Dukungan kekuatan sospol yang besar memang salah satu dari lima kriteria yang dikemukakan Pak Harto. Kini tokoh yang yang istimewa itu -- Mayor Jenderal Purnawirawan R.H. Sugandhi Kartosubroto -- sudah tiada. Kamis dini hari pekan lalu, ia meninggal di RS Harapan Kita dalam usia 68 tahun karena serangan jantung. Sampai akhir hayatnya, masalah suksesi masih dipikirkannya, bahkan sempat dikemukakannya kepada Dr. Salim Said. "Kita kan baru sekali mengalami pergantian pimpinan nasional," katanya bulan lalu. Salim, Ketua Dewan Kesenian Jakarta itu, sejak semula -- ketika pertama kali menjadi wartawan harian Angkatan Bersenjata -- memang sangat dekat dengan almarhum. Untuk menandingi opini yang dibentuk oleh PKI waktu itu, Sugandhi menerbitkar harian AB, kemudian Pelopor dan Pelopor Baru. Belakangan, keduanya terbit dengan berbagai edisi di beberapa daerah, misalnya AB Jawa Tengah atau Pelopor Yogya. Almarhum juga merintis pembentukan Pusat Pemberitaan Angkatan Bersenjata (PAB) untuk menyaingi LKBN Antara yang ketika itu dikuasai PKI. Pak Gandhi, begitu panggilan akrabnya ketika itu juga menjalin hubungan dengan kalangan intelektual dan seniman. Misalnya dengan Wiratmo Soekito dari kelompok Manifes Kebudayaan. "Seminggu sekali kami bertemu, tukar-menukar informasi," ujar Wiratmo. Konon, Pak Gandhi yang menciptakan istilah "Gestapu" sebagai singkatan Gerakan September Tiga Puluh, mirip dengan nama pasukan intel Hitler, Gestapo, sebagai taktik perang urat saraf melawan PKI. Gandhi memulai kariernya sebagai tentara. Melalui jenjang intelijen, ia diangkat sebagai Kepala Pusat Penerangan Angkatan Bersenjata. Dan karena 12 tahun, sejak 1950, jadi ajudan Bung Karno, presiden RI pertama itu, ditambah pengalamannya menghadapi aksi-aksi PKI, ia tampil sebagai orang yang banyak tahu politik. Karier politiknya pun mulai menonjol ketika ia -- masih berpangkat mayor -- mendirikan Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong (MKGR) pada tahun 1960-an, yang juga untuk menandingi PKI. Pada 1964, bersama SOKSI dan Kosgoro, MKGR dan beberapa ormas yang tidak bernaung di bawah salah satu partai politik membentuk Sekretariat Bersama Golongan Karya, atas inisiatif Jenderal Nasution. SOKSI (Sentral Organisasi Karyawan Sosialis Indonesia) yang didirikan oleh Kapten Suhardiman memang sengaja bergerak di kalangan buruh untuk menyaingi organisasi buruhnya PKI, SOBSI (Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia). Kosgoro yang didirikan oleh Mayor Mas Isman bergerak di bidang koperasi. Menurut Suhardiman yang kini pensiunan mayor jenderal ini, menjelang pemilu kedua pada 1971, peranan Pak Gandhi sangat penting, yaitu mengonsolidasi Sekber Golkar menjadi Golkar. "Konsolidasi ini tak lepas dari pembinaan ABRI. Dan almarhum termasuk yang paling gigih dalam masa konsolidasi itu," tutur Suhardiman, yang kini anggota DPA. Sugandhi, yang jabatan terakhirnya Wakil Ketua DPA, seminggu sebelum wafat konon bermimpi diajak Bung Karno naik mobil. Dan beberapa saat sebelum tutup usia, almarhum yang kelahiran Blitar ini menyanyikan lagu Indonesia Raya dan Mars MKGR. Ia meninggalkan seorang istri, Mien Sugandhi alias Sitti Aminah Soeprapto, Ketua Umum Kowani, seorang putri, dan tiga cucu. Jenazahnya dimakamkan di Taman Makan Pahlawan Kalibata. Pak Gandhi, pernah menceritakan pengalamannya, ketika G30S-PKI meletus, kepada TEMPO. Pada 30 September 1965, ia menemui Bung Karno di kamar tidurnya, menanyakan apakah benar para jenderal akan ditangkap dan diadili dengan tuduhan terlibat Dewan Jenderal. "Mereka tidak mengerti revolusi," kata Bung Karno. "Lo, Jenderal Yani kan anak emas Bung Karno. Seharusnya dia diselamatkan," kata Sugandhi. "Karena itu, mau saya panggil dia besok pagi. Mau saya tanya macam-macam," jawab Bung Karno. Ketika Sugandhi menyatakan PKI itu jahat, si Bung bilang, "Adanya komunis di dunia ini tidak bisa dihilangkan begitu saja." Tapi ketika Sugandhi menceritakan teror PKI, Bung Karno marah dan menyuruhnya keluar. Pada 1 Oktober 1965 pagi, ia pergi ke Kostrad, dan Pak Harto sudah berada di sana. "Saya, yang waktu itu memimpin Penerangan Hankam, lalu mengajak teman saya Brigadir Jenderal Ibnu Sutowo, untuk menyerbu RRI, guna membungkam suara musuh. Tapi Pak Harto bilang, RRI hanya studionya, sedang pangkalannya di Cimanggis," tulis Pak Gandhi di TEMPO. Setelah RRI dikuasai, pidato Pak Harto pun disiarkan. Lalu pada 6 Oktober 1965 Pak Gandhi sendiri bicara di depan corong RRI, menjelaskan latar belakang kudeta PKI, bahwa PKI sebelumnya kuat karena berkedok Pancasila. Budiman S. Hartoyo dan Ivan Haris
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini