Perusahaan Tutut dan Dwi disebut-sebut berebut kavling senilai Rp 52 milyar di Jalan Sudirman. Satu lagi kisah tanah strategis. INI baru gajah lawan gajah -- entah siapa pelanduknya. Dua pengusaha beken, Siti Hardiyanti Indra Rukmana dan pamannya, Sudwikatmono, disebut-sebut memperebutkan tanah Kavling 26-27 (seluas 10.470 m2) di Jalan Sudirman Jakarta. Kedua pihak (lewat anak-anak perusahaan mereka), sama-sama berhasrat mengembangkan bisnis perkantoran di kawasan segi tiga emas tersebut. Letak tanah itu memang sangat strategis. Diapit gedung-gedung megah, antara Gedung Lippobank dan Wisma Bank Dharmala dan di depan Hotel Le Meridien. Harganya, sesuai dengan pasaran di daerah itu (sekitar Rp 5 juta per m2) seluruhnya ditaksir bernilai Rp 52 milyar. Di atas tanah itu sekarang sedang gencar-gencarnya dibangun calon gedung berlantai 23 milik Bank Bali (Kavling 27) dan bangunan berlantai 21 punya Bank Central Dagang (Kavling 26). Jika Bank Bali membeli tanah itu dari PT Ircobumi Grahamaju (anak perusahaan milik Sudwikatmono) gedung Bank Central Dagang dibangun langsung oleh Irco. Namun, sebagaimana kebanyakan keadaan kavling-kavling kosong di Jakarta, tanah ini pun tak luput dari sengketa. Memang, dalam perkara resmi, yang pekan-pekan ini diperiksa Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Irco tak digugat langsung bersama saingannya, PT Petrum Citratama (anak perusahaan Nyonya Siti Hardiyanti). Tapi, si penggugat Hasbullah, yang mengaku ahli waris pemilik sah persil itu, didukung sepenuhnya olet PT Petrum. Hatta, puluhan tahun lalu, menurut Adnan Hasbullah, tanah berstatus eigendom verponding (hak milik Barat) itu milik buyutnya, almarhum H. Saidi. Harta peninggalan itu, singkatnya, kemudian diwariskan kepada ayah Adnan, Hasbullah. Hanya saja, janggalnya, dalam sertifikat HGB, 1974, tanah itu masih tertera atas nama 41 kk keturunan Saidi. Pada 1976, tempat tinggal Hasbullah seluas 999 m2 -- yang menempati sebagian dari tanah itu terkena proyek jalan protokol. Tapi, kata Adnan, waktu itu ayahnya cuma menerima ganti rugi bangunan. Sementara tanahnya tetap milik Hasbullah. Hasbullah menanyakan ganti rugi ke Pemda DKI Jakarta, tapi tak pernah ditanggapi. Sampai akhirnya terpampang papan nama PT Teguh Timbul di tanah itu. PT Teguh Timbul mengaku sudah membebaskan sebagian tanah di lokasi itu, termasuk tanah Hasbullah, dan akan membangun perkantoran di situ. Tentu saja Hasbullah, yang mengaku belum menerima ganti rugi, menuntut ganti rugi kepada PT Timbul. Toh sampai tahun 1980, urusan itu berlarut-larut tanpa hasil. Pada 1988, cerita Adnan, yang tinggal di daerah Kebon Jeruk, Jakarta Barat, papan nama PT Timbul diganti dengan papan nama Irco. Rupanya, PT Timbul telah mengalihkan tanah itu ke Irco. Irco pun mengantungi Surat Izin Penunjukan Penggunaan Tanah (SIPPT) dari Gubernur DKI. Bahkan, pada 21 Mei 1990, Irco memperoleh sertifikat HGB (tercatat seluas 4.700 m2 untuk Kavling 27 dan 3.810 m2 Kavling 26) dari Badan Pertanahan Nasional (BPN). Padahal, kata Adnan, tanah tersebut waktu itu masih berstatus sita jaminan dalam perkara antara Irco dan salah seorang pemegang sahamnya, Ali Santoso. Toh Hasbullah mengaku tak pernah memperoleh ganti rugi dari pihak Irco. Yang terjadi kemudian, Irco malah menjual tanah Kavling 27 kepada Bank Bali. Sebab itu, Hasbullah bersama 24 ahli waris Saidi yang lain menggugat BPN, DKI, Irco, PT Timbul, dan ahli waris lain yang diduga menerima ganti rugi dari Irco. Melalui Pengacara Effendi Husin, Hasbullah mendalilkan bahwa berdasarkan Keppres No.32/1979 (tentang konversi tanah-tanah milik Barat), pihaknyalah seharusnya yang diprioritaskan untuk memperoleh hak atas tanah itu. Sebab, selain tanah itu warisannya, Hasbullah juga nyata-nyata menguasai dan menggunakan tanah tersebut. Berdasar itu, katanya, sertifikat HGB milik Irco mengandung cacat hukum, karena belum membayar ganti rugi kepada pemilik lama. Di pengadilan, pihak BPN sebaliknya menganggap Hasbullah tidak memenuhi syarat untuk diprioritaskan sebagai pemilik tanah hasil konversi itu. Alasannya, selain menyewakan (tak menguasai dan menggunakan) tanah itu ke pihak lain, ia juga telah menerima ganti rugi. Berdasarkan itu, BPN memutuskan sertifikat HGB Hasbullah, 1974, otomatis mati. Pihak Irco juga berpendapat serupa. Menurut Direktur Utama Irco, Irwan Sutisna, pihaknya telah memperoleh tanah itu berdasarkan hukum dan sesuai dengan prosedur. Begitu pula pengalihan tanah tersebut ke Bank Bali, kendati SIPPT untuk Bank Bali lahir setelah tanah itu disita pengadilan akibat gugatan Hasbullah, pada 17 Oktober 1990. "Pengalihan itu sudah disetujui Pemda DKI dan BPN," ujar Irwan. Di luar pengadilan, kabar yang beredar mengenai sengketa itu lebih seru lagi. Ada yang mengatakan, keberanian Hasbullah menggugat Irco itu tak lain karena didukung PT Petrum Citratama, anak perusahaan milik Nyonya Siti Hardiyanti Indra Rukmana. Malah ada yang menyebutkan, Hasbullah sudah menerima sebagian panjar jual beli tanah itu dari Petrum. Rupanya, anak perusahaan Mbak Tutut -- panggilan akrab Nyonya Siti Hardiyanti -- juga ingin membuka bisnis perkantoran di daerah basah itu. Baik Adnan maupun adiknya, Lutfi, tak mau menjelaskan hubungan dengan Petrum itu. Mereka hanya membenarkan bahwa mereka ketemu jodoh dengan Petrum. "Jika segala sesuatunya selesai, kami akan memperhitungkan biaya yang dikeluarkan Petrum," kata Lutfi. Pihak grup perusahaan Tutut membenarkan bahwa pihaknya sudah berminat pada tanah itu sejak 1988. "Tapi, bagaimana, ya? Ahli warisnya sendiri kesulitan untuk membuktikan haknya. Jadi, kami membantu sebisanya saja, meskipun soal keputusannya nanti terserah pengadilan," kata sebuah sumber di grup perusahaan itu. Sementara itu, Direktur Utama Irco Irwan Sutisna enggan berkomentar banyak. "Bahwa almarhum Hasbullah menggugat, itu haknya. Yang jelas, kami tak mau membawa-bawa nama Pak Dwi dalam masalah ini," ujar Irwan. Happy Sulistyadi dan Nunik Iswardhani
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini