RUDY Hartono tampaknya makin agresif dalam blsnis alat-alat olah raga. Tapi, aktivitasnya itu pekan lalu bikin heboh, gara-gara terlibat langsung dalam pembikinan kontrak promosi perusahaannya - ia jadi agen pemasaran Yonex sejak tahun lalu dengan pemain yunior andalan klub Djarum, Hermawan Susanto. Kontrak itu ternyata berbuntut. Perkumpulan Olah Raga (POR) Djarum agaknya tak bisa menerima, dan mereka untuk pertama kalinya sejak klub itu aktif, 1979, memecat anggotanya, Hermawan, 17, karena dinilai tidak memenuhi ketentuan klub, diberhentikan terhitung 21 Januari 1985. "Keputusan itu diambil dengan berat hati, tapi harus, demi disiplin para anggotanya," kata Aris Santo, ketua PB Djarum. Keputusan pemecatan itu, rupanya, sulit diterima oleh ayah Hermawan, Agus Susanto, pelatih senior di Djarum. Dengan alasan "merasa ikut bertanggung jawb atas tindakan anaknya dalam perbulutangkisan", Agus, pelatih yang sudah ikut membentuk besarnya Liem Swie King dan Hastomo Arbi itu, segera menyusul anaknya. Hanya dua hari setelah pemecatan Hermawan, ia mengirimkan surat pengunduran diri dari Djarum. Keadaan pun tambah kisruh. Djarum dengan demikian kehilangan dua anggota andalannya. Yakni Hermawan, pemain yang tahun lalu menjadi juara sekaligus Seleksi Nasional dan Kejuaraan Jakarta Terbuka 1984, serta Agus, ayahnya, yang sudah 15 tahun melatih para pemain Djarum. Ini tentu saja amat merugikan klub tersebut. Itulah sebabnya Boerlian, ketua Pengurus Cabang PBSI Kudus, tampak agak menyesalkan tindakan Rudy. Aktivitas Rudy sebagai pengusaha, di mata Boerlian, tak bisa dilepaskan dari jabatannya sebagai ketua Bidang Pembinaan PBSI. "Ini kasus yang memprihatinkan, dan semestinya tidak dilakukan orang seperti Rudy," katanya. Kritik Boerlian itu didukung pimpinan POR Djarum. "Kami sendiri sulit menebak, motif lain Rudy hingga sampai bertindak seperti itu," kata Aris Santo, ketua PB Djarum. Kepada TEMPO, Rudy, 36, direktur PT Sunrise Sports Indonesia menolak semua tudingan yang bernada menyesalkannya itu. "Saya melakukannya dengan motif bisnis. Dan ini memang bisnis, tapi sepengetahuan dan seizln ketua umum PBSI," katanya. Dan ia cepat menambahkan, ia bukan dalam jabatan ketua bidang pembinaan, ketika menandatangani kontrak kerja sama itu. Terus terang, dia mengakui, sebelumnya sudah mengakui ada kerja sama antara Djarum dan Pro Kennex. "Tapi itu 'kan kerja sama dengan klub. Bukan dengan pemain, yang selama ini bebas memilih merk alat yang mereka gunakan," katanya. Menurut Rudy, mungkin saja peraturan di klub Djarum mengharuskan para pemainnya menggunakan raket Pro Kennex dalam setiap latihan dan pertandingan. Dalam kasus ini rupanya Djarum ingin menegakkan disiplin organisasi kepada anggotanya yang membangkang. "Sementara di klub saya, PB Jaya Raya, tidak ada peraturan yang mengharuskan pemain memakai satu macam merk raket," kata Rudy. Rudy tak menjelaskan apakah ketentuan klub atau pemain bisa mengikat kontrak dengan sebuah perusahaan diatur dalam ketentuan PBSI. Dia mengatakan, sepanjang yang diketahuinya, semua kontrak bisa saja dilakukan dan tidak melanggar status keamatiran - asal diketahui dan dilaksanakan atas nama PBSI. "Idealnya, yang mengatur semua kontrak itu PBSI," tambah ketua umum PBSI Ferry Sonneville. Namun, Ferry juga mengakui soal ini tak mudah dilaksanakan. "Dalam praktek, sering-sering negosiasi dilakukan sendiri oleh pemain atau klub," katanya. Ia tidak menyebutkan berapa banyak kasus pelanggaran seperti itu sudah terjadi. Tapi, inilah yang juga sudah dikhawatirkan beberapa kalangan bulu tangkis di Jakarta. "Jika tak segera diatur dengan baik, bulu tangkis kita bisa repot. Selain kekompakan pemain sulit dipelihara, klta nanti bisa diatur pelbagai perusahaan asing," ujar seorang bekas pengurus. Dia membayangkan, misalnya, jika kontrak-kontrak tadi semakin tak terkontrol, bisa-bisa nanti para pemain diatur seenaknya oleh perusahaan pembuat raketnya. Maklum, cabang olah raga ini sekarang memang mulai dikepung persaingan ketat antarprodusen alat-alat olah raga (lihat: Box). Untuk sementara, dalam kasus Hermawan, kekhawatiran itu memang belum terjadi. Kepada TEMPO, Hermawan, yang kini tak lagi memakai baju kaus Djarum itu, mengatakan bahwa ia masih akan tetap tinggal di Kudus. Pelajar kelas II SMA, yang sejak 11 tahun jadi anggota Djarum ini, sedikit pun tak tampak sedih berpisah dengan klubnya. "Saya belum memutuskan akan pindah ke klub mana," kata pemain yang tingginya 169 cm itu. Bisa jadi, dia tetap akan berlatih dengan ayahnya, APUS Susanto, yang 2 Februari lalu baru menandatangani kontrak lain dengan Yonex: untuk menangani sebuah klub baru yang akan segera didirikan di Kudus. "Dana pertama disediakan Rp 50 juta. Selama lima tahun saya diminta melatih di klub yang belum ditentukan namanya itu," kata ipar Liem Swie King ini berseri-seri. Dia mengatakan sudah bersiap-siap. Bulan depan ia akan mulai melatih bibit-bibit yang dicarinya sendiri di tempat latihan sementara gedung milik Pemda Kudus. Setelah itu, pada jangka panjang, perusahaan yang mengontraknya juga sudah minta dia mencari tanah seluas kira-kira satu hektar di kota itu untuk tempat bermarkas klub barunya. Dan klub ini akan membina pemain, yang Sabtu pekan lalu baru membuka cabang baru di Jakarta.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini