DALAM olahraga nasional bolabasket tidak menonjol, tapi juga
tidak tenggelam. Bulan Juli yang lalu ke-58 anggota Perbasi
(Persatuan Bolabasket Indonesia) sempat mengadakan Kongres
ke-VII 1977. Induk organisasi yang pertama didirikan oleh
almarhum Tony Wen dan Wim Latumenten pada tahun 1951 itu
nampaknya tidak mau ketinggalan zaman. Pada Kongres itu mereka
pun tak lupa memasang slogan: Mensukseskan PON IX sebagai PON
Prestasi dan Pemerataan Pembinaan Bolabasket di seluruh
Indonsia.
Dalam PON IX pertandingan bolabasket terselenggara sesuai
dengan persyaratan KONI Pusat. Di bagian pria muncul di babak
final DKI Jaya, Jawa Tengah, Sumatera Utara, Sulawesi Selatan,
Jawa Timur, Jawa Barat, Riau, Irian Jaya dan Timor Timur -
menurut urutan pemenang PON IX 1977. Di bagian puteri: Jawa
Timur, Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, DKI Jaya dan
Sulawesi Selatan.
Kedudukan regu putera DKI Jaya sangat kontras dibanding regu
puterinya. Putera juara, puteri hanya nomor 5 dari 6 peserta.
"Ini bisa terjadi karena seluruh pemain pria terbaik di
Indonesia terpusat di Jakarta," kata Sri Sudono Sumarto, Sekjen
Perbasi, pada TEMPO. "Dan di Jakarta mereka ditampung dalam
satu klub Waringin," Harsuki, Ketua Perbasi menimpali. Menurut
kedua tokoh yang menjadi otak dan motor Perbasi, klub Waringin
tok sudah cukup mewakilkan Indonesia di berbagai turnamen di
Asia. Karena 5 pemain terbaik yang ada sekarang merupakan inti
Waringin juga. "Tapi idealnya kalau Sonny Hendrawan dari Jawa
Tengah bisa melengkapi tim nasional," kata Harsuki, yang
sehari-harinya menjabat Wakil Sekjen KONI Pusat.
Di bawah pelatih Mohamad King, tim DKI Jaya/Nasional terdiri 5
pemain inti Waringin: Ali Susanto, Ferry Chandra, Gatot
Sugiarto, Henry Pribadi dan Indarto. Uniknya ke-5 pemain itu
bukan berasal dari DKI Jaya. Ali dan Ferry dari Sumatera Utara,
Gatot Henry dan Indarto dari Jawa Timur. Tapi sebagai satu regu
mereka mengalahkan semua regu yang pemainslya muda-muda, seperti
Rajawali dan Indonesia Muda. Pukul rata usia mereka 32 tahun.
Tinggi badan 1,83 meter. Yang paling muda dan pendek adalah
Henry Pribadi: 29 tahun, 1,80 meter. Namun demikian praktis
dialah yang membentuk Waringin. Dia kapten regu. Dia juga
menampung rekan-rekannya untuk diberi pekerjaan. Karena Henry
sendiri tidak lain adalah Direktur perusahaan Indocement
Cibinong.
Menonton Waringin bermain ibaratnya menyaksikan kebolehan
seorang direktur muda yang bercucuran keringat mengatur
anak-buahnya memenangkan pertandingan. Saat ini tak syak lagi
Henry adalah satu-satunya olahragawan nasional yang berpangkat
direktur. Hal ini pula yang sesungguhnya meringankan KONI dalam
mempersiapkan regu basket pria ke SEA Games nanti. "Kita harap
regu pria dapat masuk tiga besar, bahkan mungkin meraih perak,"
kata Harsuki yang menilai Pilipina dan Malaysia merupakan
saingan berat buat Indonesia.
Tapi agaknya pimpinan Perbasi tidak dapat terlalu lama
"menitipkan" regu nasional pria di tangan Waringin. Maklum
paling lama mereka dapat bertahan dua tahun lagi. "Setelah itu
kita harapkan pemain junior yang banyak terhimpun di Rajawali
dan Indonesia Muda," ujar Sudono. Rajawali hingga saat ini
dianggap saingan besar Waringin. Apabila keduanya bertanding,
Lokasari pasti ramai. "Tapi untuk sekarang Waringin masih top,"
kata Effendi Ciu, tim manejer Rajawali.
Seperti pula Waringin, para pemain Rajawali dipusatkan pada
perusahaan Super Steel Indah yang berkantor di Gedung Putera,
Gunungsari. Direkturnya, Santoso Atmijoyo, terbilang pecandu
bolabasket. Setiap latihan dia turun ke lapangan ikut main.
Mereka mempunyai tempat latihan sendiri di Kebon Jeruk, Pasar
Bulan.
Akan halnya regu puteri nasional, pimpinan Perbasi memperkirakan
prestasinya akan lebih baik daripada regu pria di SEA Games.
Kedudukan DKI Jaya yang nyaris di buntut dalam kejuaraan PON IX,
justru menunjukkan perataan prestasi lebih meluas di
daerah-daerah. "Kalau nasib baik," kata Harsuki, "bisa emas.
Kalau jelek rasanya perak tidak terlepas."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini