SELEPAS Asian Games VI di Bangkok, hampir 10 tahun sudah, atlet
loncat indah putra Indonesia tak menonjol di gelanggang
internasional. Terakhir yang menaikkan derajat Indonesia adalah
Billy Gumulya. Ia meraih medali perak Asian Games VI, 1970.
Mengapa? Mochtar Yassin, pelatih nasional pernah mengatakan
loncat indah memang cabang yang menjemukan. Hampir 10 tahun
mencari pengganti Billy, Mochtar akhirnya menemukan sejumlah
bakat. Antara lain Eko Setiawan (lahir di Jakarta 15 Oktober
1964) yang menyabet 2 medali emas dari Kejuaraan Loncat Indah
Terbuka dan Kelompok Umur Internasional di Jakarta, minggu
lampau. Eko menyebut prestasi itu dicapainya berkat latihan
keras di sekolah untuk olahragawan di Ragunan, Jakarta.
Tiap pagi, kecuali hari libur, Eko dan kawan-kawan digiring ke
kolam renang Senayan. Sesudah berlatih sekitar 1 sampai 2 jam,
ia berurusan dengan pelajaran umum di dalam kelas. Sorenya
kembali lagi ia ke kolam dan menghabiskdn tempo sampai 4 jam.
Istirahat 1 jam. Lalu ia masuk kelas lagi mulai jam 20.00 sampai
22.00. Latihan yang ketat itu telah menghasilkan lo medali emas,
2 perak dan 6 perunggu dari kejuaraan lokal maupun internasional
bagi Eko. Teman sekolahnya yang juga menonjol adalah Mohamad
Taufan.
Pelatih Mochtar tampak menaruh harapan besar pada Eko, anak
kedua dalam tiga bersaudara dari keluarga biduan keroncong
Loeloes Soedianto. Tapi "untuk gaya sekrup saya masih lemah,"
ujar Tapi yang baru saja menamatkan pelajaran di SMP. "Soalnya,
kita tak punya pelatihnya." Gaya ini adalah loncatan dengan
tubuh berputar seperti sekrup.
Eko, mulai berlatih pada usia 11 tahun, baru mengenal gaya
sekrup ini seusai turnamen internasional di Jakarta, tahun lalu.
Waktu itu para pelatih Indonesia dan Korea Selatan sepakat untuk
saling menurunkan ilmu pada atlet kedua negara. Dari pelatih
Indonesia para atlet Korea Selatan mendapatkan ilmu mengenai
gaya salto. Sedang olahragawan Indonesia memperoleh latihan gaya
sekrup. Karena waktunya cuma tersedia seminggu, Eko merasa belum
mantap. "Kalau dibina selama tiga bulan yakin saya bisa,"
ucapnya.
Dalam kejuaraan kemarin Eko mendapat nilai lebih untuk gaya
saltonya. Scbaliknya untuk nomor sekrup. Dua medali emas yang
dimenangkannya adalah dari nomor loncat menara 10 m. Dan hanya
itu medali emas yang diboyong Indonesia. Tiga belas anggota tim
putra Indonesia lainnya merebut 6 medali perak dan 7 perunggu.
Tercecer
Peloncat putri Indonesia tak begitu menonjol dibandingkan putra.
Mereka jauh tercecer, terutama dalam melawan atlet Australia,
Jane Bogmar, yang memenangkan tiga medali emas. "Soalnya
kesempatan bertanding di sini kurang," komentar atlet nasional
Lie Fu Ing. Dalam kejuaraan kemarin tim putri Indonesia hanya
meraih 3 medali perak dan 4 perunggu.
Lic Fu Ing ada benarnya. Jane, 18 tahun, mempersiapkan diri
untuk ke Jakarta dalam tempo tiga minggu. Ia pernah mengikuti
Kejuaraan Loncat Indah Terbuka 1974 di California, dan
memenangkan dua medali emas. Kemudian di Texas, 1977, dan
sejumlah turnamen lainnya. Dalam kejuaraan yang diselengarakan
Federasi Renang Internasional (FINA) di Stuttgart, Jerman Barat,
ia termasuk kelompok 10 peloncat indah terbaik. Jane menempati
urutan ke-9.
Atlet loncat indah Australia dibina oleh pelatih profesional
seperti Clive Morton. Ia mengaku dibayar oleh berbagai klub yang
diasuhnya. Ia menolak menyebut pendapatannya. Tapi seorang
atlet, menurut Morton, harus membayar pada klub sebesar Rp
15.000 per rahun. Dan gaji untuk pelatih dipungut dari sana.
Di Indonesia? Sekiranya tidak ada sekolah untuk olahragawan di
Ragunan-setelah nama top seperti Lanny Gumulva, Myrna
Hardjolukito dan Billy Gumulya mengundurkan diri -- mungkin rak
ada lagi atlet loncat indah pengganti.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini