Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Ekonomi

Mengerem Nafsu Pemburu ?

Selain mengekspor, Indonesia mengimpor burung dari Singapura dan ternyata burung cucakrawa lebih murah dari pada yang di Indonesia.

5 Juli 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SATU jam dalam sehari, Eltin menghabiskan waktu untuk mengurus burung cucakrawa piaraannya. Ia punya 10 ekor. Semuanya cucakrawa "pribumi", asal Sumatera. "Cucakrawa impor lebih kecil dan suaranya kurang bagus," kata pedagang tekstil di Pasar Tanah Abang, Jakarta itu. Burung cucakrawa punya pasaran vang baik antara Rp 15.000 sampai Rp 100.000 seekor. Bahkan cucakrawa yang sudah 'jadi', konon bisa laku jutam rupiah. Itu sebabnya jenis burung ini semakin langka. Pedagang burung segera memanfaatkan situasi ini. Seorang eksportir burung, Harun Tasma, mengaku sejak 4 tahun lalu merangkap jadi importir. Dua tahun lalu ia bisa mengimpor sampai 100.000 ekor, 40% di antaranya burung cucakrawa. Di Singapura ia membeli seekor cucakrawa seharga Rp 3.000/ekor. Singapura sendiri kabarnya membeli burung itu dari Malaysia, Sabah dan sekitarnya. Menurut Tasma di luar negeri cucakrawa memang tak kelewat dipuja seperti di Indonesia. Sebab itu harganya murah. Setelah diperhitungkan untuk ongkos angkut, bea masuk dan risiko burung mati -- rara-rata 5 - 20% dari jumlah burung yang dibawa -- jatuhnya Rp 4.500 seekor. Sampai di pasaran, seekor cucakrawa impor berharga Rp 6.000-an. Tak Dilarang Menurut sumber TEMPO di Ditjen Peternakan Departemen Pertanian, impor burung memang tak dilarang. Selain cucakrawa, burung lain yang biasa diimpor adalah murai dan kenari. Di samping itu ada beberapa jenis burung lain yang tak terdapat di Indonesia, seperti pok say hitam, pok say jambul, robin dan hwai bie. "Penggemar burung impor, umumnya orang Cina," kata seorang pedagang burung di Surabaya. Harga seekor pok say mencapai Rp 12.500 seekor. Harga ini lebih murah dibanding harga seekor burung jalak Bali atau cucakrawa. Walau begitu, kedua jenis burung ini lebih banyak dicari orang di Surabaya. "Animo masyarakat untuk membeli burung impor masih kecil," kata A. Amin. pedagang burung di Surabaya. Tapi Amin mengakui di pasar burung Surabaya, jumlah burung impor mencapai 25% dari keseluruhan jumlah burung yang dijual. Meskipun penggemarnya belum meluas, toh ada usaha untuk membiakkan burung-burung impor itu di Indonesia. Usaha pembiakan ini masih coba-coba sifatnya. "Baru sekedar hobi perorangan," kata seorang pejabat Ditjen Peternakan. Yang coba dikembang-biakkan ini antara lain sejenis burung kenari dari negeri Belanda. Kenari Holland ini punya keistimewaan dibanding kenari di sini. Bulunya halus dan suaranya nyaring. Di kaki kenari Holland, biasanya diberi ring dari logam. Sebagai tanda paten tentunya. Dan nampaknya, pemerintah menyambut baik adanya usaha impor burung. Di samping bisa menekan harga burung di pasaran, "impor bisa mengerem penduduk setempar untuk memburu burung di hutan-hutan," kata seorang pejabat Ditjen Peternakan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus