Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Lambaian daun palem dan debur ombak Samudra Pasifik me-nemani Michelle Wie, 16 tahun, bersantai di beranda sebuah hotel di Honolulu, Hawaii, Amerika Serikat. Sambil menyandarkan tubuhnya di bangku, ia membaca halaman depan The Honolulu Advertiser. Surat kabar terbitan Rabu dua pekan lalu itu memuat empat foto indah.
Semua foto itu tentang dirinya. Ada foto ketika ia berusia 10 tahun dengan pipi yang gemuk dan sedang mengayun tongkat golf. Foto lain saat ia berusia 13 dan 14 tahun sedang bertarung melawan pegolf profesional dewasa. Ada juga foto saat ia tampil sebagai selebriti dalam balutan gaun warna merah dalam acara Laures Sports Awards di Portugal, tahun lalu.
Koran itu menulis tentang dirinya, mulai dari kehadirannya di dunia golf profesional sampai ha-rap-an yang besar ter-hadapnya. Kepala berita ditulis dengan hu-ruf kapital: ”Kenapa Dia Berharga Jutaan?” Sebuah pertanyaan yang sulit dijawabnya. ”Saya tak tahu kenapa,” kata Wie polos.
Saat ini, dalam usia begitu belia, Wie memang memperoleh pendapatan yang mengundang decak kagum. Dari kontrak sponsor dengan perusahaan peralatan olahraga Nike dan perusahaan elektronik Sony, ia mendapat penghasil-an US$ 10 juta atau sekitar Rp 100 miliar per tahun.
Penghasilan itu menjadikan Wie pegolf wanita terkaya di dunia. Di deretan atlet, ia menempati posisi ketiga terkaya setelah petenis Maria Sharapova (US$ 18,1 juta) dan Serena Williams (US$ 12,5 juta). Ia telah menggusur posisi pen-dapatan pegolf wanita nomor satu dunia, Annika Sorenstam, yang ”cuma” berpenghasilan US$ 7,3 juta atau setara Rp 73 miliar per tahun.
Dukungan sponsor yang begitu dahsyat muncul setelah ia menyatakan diri beralih dari pemain golf amatir ke profe-sional. Keputusan menjadi pegolf pro diumumkan pada konferensi pers dua pekan lalu.
Dalam momen bertajuk ”Halo Dunia” itu, Wie kelihatan gugup saat menunggu dikenalkan kepada hadirin. Ia diapit agen barunya, Ross Berlin dari William Morris Agency. Hadir pula eksekutif dari Nike dan Sony sebagai sponsornya. ”Saya senang untuk menyatakan saya pemain profesional sejak hari ini,” kata Wie yang tampil mengenakan kaus Nike warna merah jambu dan sepatu hak tinggi.
Gadis keturunan Korea itu memiliki potensi besar di dunia golf. Selain permainannya memikat, ia juga ideal untuk dipasarkan di dunia golf. Ia berparas cantik, punya karisma, kekuatan, senyum memikat, dan pintar bicara.
Selain berbahasa Inggris, nona muda itu fasih berbahasa Korea. Kini, ia sedang mempelajari ba-ha-sa Jepang dan Mandarin. ”Wie akan menjadi atlet wanita paling ter-kenal di pla-net ini dalam masa 12 sampai 18 bulan ke depan,” kata Scott Seymour, seorang agen olahraga kepada majalah World Golf.
Prestasi Wie sejak usia belia mengesankan banyak orang. Ketika ber-usia 11 tahun, ia menjadi pemenang termuda kejuaraan Jennie K. Wilson Invitational di Amerika, mengalahkan juara bertahan Bobbi Kokx, dengan sembilan pukulan. Pada 2003, dalam usia 14 tahun, ia sudah menjadi pemenang termuda di kejuaraan US Women’s Amateur Public Links.
Di usia yang sama ia hampir menjadi pemain putri pertama yang masuk babak ketiga kejuaraan golf pria, di Amerika, sejak 1945. Tahun ini ia menjadi runner-up di kejuaraan LPGA (Ladies Profesional Golfers Association) dan urutan ketiga di Women’s British Open. ”Wie adalah wanita muda dengan bakat fenomenal,” kata Carolyn Biven, Komi--saris LPGA Tour.
Michelle Wie yang bertubuh bon-gsor, dengan tinggi enam kaki atau lebih dari 180 sentimeter, memiliki pukulan yang kuat dan terarah hingga mencapai le-bih dari 300 yard atau sekitar 274 meter. Kekuatan pukulannya membetot perhatian dunia. ”Dia begitu mengesankan dan sangat berbakat. Pukulannya mantap dan sangat mengagumkan. Saya sangat menyukai ayunan tongkatnya,” kata Annika Sorenstam.
Menurut David Leadbetter, pelatih Wie, swing (ayunan) tongkat golf anak didiknya sudah sesuai dengan yang dibutuhkan saat ini. Biasanya, kebanyak-an atlet setinggi Wie membuat banyak gerakan dalam aksinya. Namun, dalam beberapa tahun terakhir ini, gerakan yang tidak perlu telah dipangkas. Kini aksinya sangat rapi. Dengan kemajuan itu pukulan panjangnya menjadi lebih sempurna.
Kelebihan itu diperoleh dari kombina-si tinggi badan dan gerakan ayunannya sehingga permainan golf Wie ti-dak bisa dilakukan pegolf wanita lainnya. Walau demikian, kata David, ia masih harus belajar. Saat bermain dengan pegolf pria, misalnya, ia harus menunjukkan pukulan yang lebih panjang dan kuat.
Dalam permainan dengan stik iron, Wie memiliki variasi pukul-an yang sangat bagus, di antaranya pukulan chip and runs (memukul bola ke udara, lalu bola mendarat di rumput dan bergulir), flop shot (pukulan tinggi), pukulan jebakan pasir, dan putter (pukulan terakhir ke lubang) yang lebih mantap.
Keberhasilan Wie tak lepas dari dukungan orang-orang di sekitarnya. Ia didampingi sepasang ahli fisiologi dari Kanada yang menyusun program untuk membangun kemampuannya. Ada pula seorang psikolog olahraga, Jim Loehr, untuk mengembangkan kesiapan mental bermainnya.
Jangan lupakan pula dukungan dari orang tuanya, B.J. Wie dan Bo, kendati keduanya tak memiliki latar belakang golf. Sang ayah, B.J. Wie, adalah seorang profesor di University of Hawaii. Sedang-kan ibunya, Bo, bekerja di bidang real estate. Orang boleh saja berpikir me-re-ka bakal kesulitan mendampingi Wie lantaran tidak memiliki latar belakang golf. Toh kenyataannya sangat bert-o-lak belakang. ”Kami cukup menikmati meng-iringi dan mendukung karier putri kami,” kata ayah Wie.
B.J. Wie mengatakan, dengan menjadi pegolf profesional, putrinya akan memiliki lebih banyak tanggung jawab. ”Dia harus mampu memenuhi harapan yang tinggi terhadap dirinya,” katanya. Namun, status itu tidak akan mengubah kegiatan anak semata wayangnya. Wie tetap akan menyelesaikan sekolahnya di Punahou School, Hawaii, dua tahun lagi. Setelah itu, ia berencana melanjutkan kuliah di University of Stanford, AS. Ia bertekad untuk kuliah dan l-ulus suatu saat nanti. ”Kendati, karena ba-nyaknya turnamen yang saya ikuti, saya akan lulus lebih lama dari empat t-ahun,” katanya.
Wie mengaku sangat menikmati hi-dup di dua dunia yang berbeda, yaitu se-bagai pegolf dan siswa SMA. Sebagai remaja, ia masih suka melakukan aktivitas lazimnya anak-anak muda, seperti jalan-jalan ke mal bersama teman sebaya, bermain video game, ngobrol di internet, dan lain-lain. ”Saya tidak akan berpikiran bodoh dengan meninggalkan kesenangan masa muda saya,” ujarnya.
Nona yang lahir dan besar di Honolulu, Amerika Serikat, itu mulai bermain golf pada usia empat tahun. Lima tahun kemudian, ia bergabung dengan Klub Golf Olomana Golf Links. Di sana ia mulai berlatih tiga jam sehari setelah pulang sekolah dan delapan jam sehari pada akhir pekan.
Instrukturnya saat itu, Casey Nak-a-ma, mengemukakan, tubuhnya yang ting-gi besar, pukulannya yang halus, ayun-annya yang ringan, membuat kemampuannya bisa cepat melewati g-adis yang le-bih tua. Setelah dua tahun me-latih, Casey mulai memperkenalkan Wie dengan pukulan punch shot into the wind (pukulan yang diayun pendek ke udara), hooks (pukulan yang mengarahkan bola belok ke kiri) dan fades (pukulan yang mengarahkan bola belok ke kanan). ”Saya punya banyak pemain junior yang punya kemampuan sama, tapi tidak ada dari mereka yang memiliki pukulan seperti dia,” ujar Casey.
Bakat Wie makin terlihat ketika tiga tahun lalu mengikuti kejuaraan Takefuji Classic, yang merupakan turnamen pro pertamanya. Saat itu, ia menjadi pemain termuda yang berlaga di LPGA Tour, kendati langkahnya harus terhenti di perempat final.
Kegagalan itu tak membuatnya p-atah semangat. Ia terus bertanding di ber-bagai kejuaraan. Hingga tahun ini Wie telah mengikuti tujuh turnamen. Hadiah uang US$ 640.870 atau sekitar Rp 6,4 mi-liar pun masuk koceknya. Hasil itu me-nempatkannya di peringkat ke-13 daf-tar perolehan uang. B.J. Wie menjelaskan, uang yang diperoleh anaknya diinvestasikan berupa saham. ”Dompetnya ha-nya berisi sehelai US$ 5,” sang ayah menyebut uang yang nilainya cuma setara Rp 50 ribu.
Bulan ini Wie akan membuat debut per-tama profesionalnya di turnamen Samsung World Championship di Cali-fornia. ”Saya tahu harus menang. Itu prioritas saya saat ini,” katanya.
Lis Yuliawati (dari berbagai sumber)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo