Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TIDAK banyak warga negara Indonesia seperti Nurkis Qodariyah dan Syaf Rimal. Di tengah terpaan krisis ekonomi di negeri sendiri, pa-sangan suami-istri itu justru berkibar di negeri orang. Tak tanggung-tanggung, mereka bisa bekerja di sebuah institusi prestisius di Amerika Serikat: Pusat Komando Operasi Khusus Gabungan (Joint Special Operation Command Centre) di Fort Bragg, Carolina Utara. Di ”benteng” militer itu, keduanya instruktur bahasa.
Namun, ”kebanggaan” itu sirna tatkala petugas Keimigrasian dan Bea Cukai (ICE) Amerika Serikat menangkap mereka, Kamis dua pekan lalu. Mereka dituduh memalsukan identitas keimi-grasian agar bisa bekerja di instalasi militer itu. Ikut pula ditangkap warga nega-ra Senegal bernama Ousmane Mo-reau. Menurut Jeff Jordan, Asisten Agen Khusus di ICE Carolina Utara, karya-wan yang menggunakan dokumen palsu dianggap sebagai ancaman keamanan yang serius. Mereka terancam dideportasi dari Negeri Abang Sam itu.
Pihak Kedutaan Besar Indonesia di Amerika membenarkan ihwal penang-kapan itu. ”Mereka menggunakan green card palsu,” kata Kepala Bidang Konse-lor Kedutaan Besar RI, Teguh Wardoyo, kepada Tempo, Kamis pekan lalu. Me-nurut informasi terakhir yang diterima Kedutaan Besar RI, Nurkis Qodariyah, 34, akhirnya dibebaskan setelah diperiksa secara ketat. Sedangkan Syaf Rimal, 37, masih dalam tahanan pihak berwajib dan sedang menjalani persidangan di Pengadilan Federal Raleigh, Carolina Utara.
Pihak KBRI sendiri, menurut Teguh, sudah memberikan bantuan pengacara. ”Kami belum tahu perkembangan selanjutnya,” katanya. Tak jelas bagaimana ceritanya sampai Nurkis Qodariyah dan Syaf Rimal bisa bekerja di institusi militer itu. Kendati mengaku sudah melakukan kontak dengan Nurkis dan Rimal, pihak Konsulat Jenderal RI di New York belum bisa memberikan informasi tentang kedua WNI itu. ”Ba-nyak dokumen yang tidak boleh dipublikasikan,” kata Sahadatun Donatirin, Konsul Muda Bidang Penerangan dan Sosial Budaya KJRI.
Siapa sebenarnya Nurkis Qodariyah dan Syaf Rimal? Menurut Atma Yeli, temannya, Rimal berasal dari Kecamatan Lintau, Kabupaten Datar, Sumatera Barat. Kedua orang tuanya bekerja sebagai guru SD di Lintau. Sebelum meneruskan sekolah ke SMA di Bukittinggi, Rimal menghabiskan masa kecilnya di kota kecil itu. ”Biasanya setiap Lebaran dia pulang kampung,” kata Atma Yeli, yang mengaku pernah sekelas dengan Rimal di SMP Lintau.
Sang istri, Nurkis Qodariyah, berasal dari Banjarmasin, Kalimantan Selatan. Menurut Radityo Djadjoeri, teman pasangan itu, sebelum mengadu nasib ke Amerika, Nurkis bekerja di PT Telkom Denpasar. Ibu satu putra ini juga sempat tercatat sebagai pramugari di Si-ngapore Airlines. Pertemuan Nurkis dan Rimal terjadi ketika mereka sama-sama ngantor di Singapura. Mereka kemudian se-pakat menikah di Bali.
Sebelum melanglang ke Amerika, Ri-mal pernah bekerja sebagai flight attendant di perusahaan penerbangan Kuwait Air. Di mata teman-temannya, lulusan Universitas Padjadjaran, Bandung, itu dikenal ramah dan pintar. Menurut Radityo Djadjoeri, lebih dari 10 tahun pasangan itu mengadu nasib di Amerika. Sebelum menetap di Raleigh, Carolina Utara, pasangan itu pernah tinggal di New York. Dua tahun lalu Rimal menga-barkan melalui e-mail, keduanya bekerja di Fort Bragg. ”Ya, cuma se-bagai guru bahasa,” kata Radityo.
Penangkapan kedua pasangan muda itu sempat dikaitkan dengan isu terorisme yang kini gencar diperangi oleh Presiden Amerika, George W. Bush. Apalagi, nama keduanya masih berbau Islam. Rumor ini terbantahkan dengan penjelasan pihak imigrasi AS bahwa keduanya hanya dituduh soal keabsah-an dokumen imigrasi. ”Kabar terak-hir yang saya terima, Rimal mau pindah kewarganegaraan AS. Tapi dia bilang susah ngurusnya,” kata Atma Yeli.
Johan Budi S.P., Agricelli, Mawar Kusuma
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo