Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Presiden Ghana, John Agyekum Kufuor, keluar dari Bandar Udara Internasional Accra de-ngan wajah cerah, Ahad ma-lam dua pekan la-lu. Senyumnya se-la-lu mengembang dan berkali-kali dia mengepalkan tinju de-ngan penuh semangat.
Kufuor baru saja menyelesaikan tu---gasnya sebagai tamu kehormatan UNESCO di Paris. Dia juga bertemu de--ngan sejumlah pengusaha Prancis un-tuk mem--bicarakan pengembangan usaha di Ghana. Namun, bukan lantar-an keberhasilan tugasnya Kufuor menjadi gem-bira, melainkan karena sepak bola. Sehari sebelum Kufuor pulang, tim nasional sepak bola Ghana baru saja mengukir prestasi manis di Praia, ibu kota Kepulauan Tanjung Verde. Mereka menaklukkan kesebelasan tuan rumah dengan angka telak 4-0.
Kemenangan itu mengukuhkan posisi Ghana di puncak klasemen grup 2 babak kualifikasi zona Afrika. Mereka berhasil merebut tiket menuju putaran final Piala Dunia 2006 di Jerman. ”Ini sebuah mimpi yang menjadi kenyat-aan,” kata Kufuor kepada wartawan yang me-nunggu kedatangannya di bandara.
Sukses tim berjulukan Bintang H-itam ini mendapat sambutan gegap ge-m-pi-ta dari rakyat Ghana. Ribuan warga Ko-ta Akyem-Oda tumpah ke jalanan. Kendara-an roda dua dan roda empat konvoi keliling kota. Begitu juga wa-rga Kota Tamale. Mereka berkumpul di bar dan kafe sambil bernyanyi dan menari. Kota yang biasanya senyap sepanjang ma-lam itu, mendadak-sontak riuh sampai pagi.
Ghana bukan satu-satunya tim Af-ri-ka yang lolos. Tunisia, Togo, Pantai Ga-ding, dan Angola juga sudah memastikan diri untuk berlaga di Jerman tahun depan. Dari lima wakil Afrika itu, ha-nya Tunisia yang memiliki pengalaman tampil di perhelatan akbar ini. Mereka pernah masuk putaran final Piala Dunia 1978, 1998, dan 2002.
Tidak mengheranka-n jika pesta besar se-perti yang dilakukan rakyat Ghana terlihat juga di Abidjan, kota perdagangan terbesar di Pantai Gading, dan di Luanda, ibu kota Angola. Di Lome, ibu kota Togo, tidak kurang dari 20 ribu orang memadati stadion dan bergembira bersama. Bahkan pemerintah Togo menetapkan Senin 10 Oktober 2005 sebagai hari libur nasio-nal. ”Rakyat Togo ingin merayakan ke---menangan ini,” kata Presiden Togo Faure Gnassingbe.
Presiden Kufuor, Jumat pekan lalu, se-cara khusus mengunjungi markas Bintang Hitam di Castle Gardens untuk bertemu para pemain. Dia memberikan dua ekor sapi gemuk dan 50 dus minum-an ringan sebagai ucapan selamat.
Bukan hanya itu. Kufuor juga menjanjikan bonus US$ 10 ribu untuk masing-masing pemain. Bonus ini di luar bonus US$ 8.000 yang diberikan setelah tim Bintang Hitam menaklukkan Kepulauan Tanjung Verde 4-0. ”Ghana tidak hanya membawa bendera nasional, tetapi juga bendera Afrika di Jerman nanti,” kata dia.
Sepak bola Ghana mulai berkembang sejak 1957 dan selama beberapa tahun mendominasi sepak bola Afrika. Mere-ka telah mengoleksi empat gelar juara dari Piala Afrika, yakni pada 1963, 1965, 1978, dan 1982. Sayangnya, kilau Bintang Hitam belum sanggup menembus dominasi Kamerun dan Nigeria di perhelatan Piala Dunia.
Barulah pada 1998 Ghana masuk babak kualifikasi untuk bersaing dengan Maroko, Sierra Leone, dan Gabon. Ketika itu mereka mampu menduduki posisi ketiga. Namun, empat tahun berikutnya, mereka justru terpuruk di dasar klasemen setelah gagal menggeser dominasi Nigeria, Liberia, dan Sudan.
Penantian panjang Ghana baru ber--akhir dua pekan lalu setelah menundukkan tuan rumah Kepulauan Tanjung Verde. Dua gol kemenangan Ghana dicetak Sulley Ali Muntari dan sisanya masing-masing dilesakkan oleh Laryea Kingston serta Godwin Attram.
Munculnya tim-tim baru dari Afrika di ajang Piala Dunia sebenarnya bukan gejala yang luar biasa. Saat ini peta kekuatan sepak bola di Afrika memang tersebar rata. Masing-masing tim memiliki peluang yang sama untuk saling mengalahkan. ”Afrika seperti tak pernah kehabisan pemain berbakat, selalu lahir yang lebih baik,” kata pelatih Chelsea, Jose Mourinho.
Perkembangan itu seiring dengan penyebaran pemain-pemain Afrika yang berlaga di liga-liga Eropa. Di Liga Ita-lia saja ada 19 pemain Afrika yang terlibat dalam kualifikasi Piala Dunia. Dari 19 pemain itu, empat orang berasal dari Nigeria, tiga dari Ghana, masing-m-asing dua dari Mali, Libya, dan Pantai Gading. Sedangkan satu pemain masing-masing berasal dari Sierra Leone, Senegal, Maroko, Guinea, Kamerun, dan Kongo.
Bakat-bakat alami yang dimiliki pemain Afrika semakin bagus setelah bersentuhan dengan gaya permai-nan Er-o-pa. Lagi pula, umumnya pelatih me-reka sudah pernah bermain di E-ropa, misalnya saja pelatih Angola, Luis Oliveira Goncal-ves, yang pernah bermain di Liga Jerman. Pelatih Pantai Gading, Henry Michel, dan pelatih Tunisia, Roger Le-merre, sama-sama berasal dari Prancis. Sedangkan pelatih Ghana, Ratomir Duj-kovic, berasal dari Serbia.
Pelatih Togo, Stephen Kesi, m-emang mantan kapten nasional Nigeria. N-a-mu-n, dia sempat melanglang buana di Liga Prancis sebagai pemain tengah. ”Saya pernah bermain di Afrika dan E-ropa se-belum mendapat ser-tifikat kepelatihan di Belanda,” kata Keshi. Sebagai bekas pemain Nigeria, dia sangat paham mental pemain Afrika. ”Tapi saya juga tahu gaya Eropa. Itulah kunci sukses kami. Saya harus membuat keseimbang-an di antara dua budaya ini,” kata dia lagi.
Lihat juga bagaimana pelatih Ratomir Dujkovic menangani tim Bintang Hitam. Kehadiran Dujkovic pada 2004 di negara itu sempat mendapat tentangan dari publik sepak bola Ghana. Dujkovic dianggap pernah melukai hati rakyat Ghana ketika tim Bintang Hitam itu dikalahkan Rwanda pada babak kualifikasi Piala Afrika 2004, sebab saat itu Dujko-vic yang melatih musuh mereka itu.
Tentangan terhadap Dujkovic bukan hanya dari publik Ghana. Kapten tim Samuel Kuffour dengan tegas menolak kehadiran lelaki asal Serbia itu. Pemain yang memperkuat klub Jerman, Bayern Munich, ini menolak ikut sesi latihan yang dipimpin Dujkovic. Pengaruh kuat Kuffour terhadap tim membuat Dujko-vic sulit bergerak.
Kekacauan itu tidak berlangsung la-ma. Dujkovic mengambil langkah tegas dengan mengeluarkan Kuffour dari daftar pemain. ”Disiplin pemain lebih pen-ting daripada kemampuan seorang bintang,” kata dia kepada pemain. Sikap itu membawa hasil. Mata publik Ghana pun terbuka setelah dia membuktikan bahwa negara itu mampu meraih prestasi prestisius di ajang Piala Dunia.
Ghana, Pantai Gading, Togo, Angola, dan Tunisia telah membuktikan bahwa mereka pantas untuk tampil di Jerman. Namun, sepanjang sejarah Piala D-unia, kebanyakan tim-tim Afrika sudah bergu-guran di putaran pertama. Sepak bola ga-ya Afrika belum bisa meruntuhkan dominasi Eropa dan Amerika Latin. Walau begitu, kata John Agyekum Kufuor, ”Kami harus optimistis. Ghana ha-rus bi-sa seperti Brasil, memiliki karakter permainan dan menjadi juara dunia.”
Suseno (dari berbagai sumber)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo