Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di beranda Keraton Surakarta, Gusti Kanjeng Ratu Alit berhadap-hadapan dengan Kanjeng Pangeran Haryo Satryo Hadinagoro. Sama-sama ningrat, sama-sama berhulu ke Paku Buwono XII, dua saudara ipar itu bersitegang disaksikan lebih dari seribu pasang mata. Ratu Alit mendesak iparnya membuka gerbang keraton yang tertutup rapat. Satryo Hadinagoro berkukuh agar Gusti Alit tak menerabas Kori Kamandungan—sebut-an untuk teras Keraton Surakarta—dan masuk ke lingkungan dalam istana.
+ ”Nuwun sewu, kulo mboten waged nampi Mbakyu amargi puniko titah Sinuhun (maaf, saya tak dapat membiarkan Mbakyu masuk. Ini titah Sinuhun).
”Saya hendak mengecek kabar raibnya beberapa pusaka. Saya dilapori abdi dalem. Pelakunya mencuri dengan merusak kunci pintu Gedhong Pusaka.”
Perselisihan di atas, beberapa bulan lalu, adalah sekeping mozaik dari perseteruan merebut takhta keraton oleh dua pangeran Surakarta: Tedjowu-lan dan Hangabehi. Gusti Alit yang berada di pihak Tedjowulan adalah putri sulung Paku Buwono XII, Raja Surakarta. Di masa hidupnya, Paku Buwono me-masrahkan tugas merawat dan memegang kunci Gedhong Pusaka, ruang penyimpanan benda-benda- pusaka keraton kepada Gusti Alit. Tugas itu dipegangnya hingga dia diusir dari istana karena menyo-kong Tedjowulan.
Silang selisih itu telah meredup, namun raibnya pusaka istana tetap menjadi buah bibir. Pusaka yang diduga lenyap adalah Dhampar Kencana (singgasana emas sejak PB II hingga XII), Kuluk Kanigara (mahkota), Kanjeng Suryo Wasesa (bros kehormatan dari intan berlian), Kutang Ontokusumo (rompi), serta beberapa keris pusaka. ”Pusaka-pusaka inti ada yang hilang,” kata Ratu Alit.
Ketua Badan Pengelola Keraton (Surakarta—Red.) Kanjeng Pangeran Edy Wirabumi membenarkan bahwa sejumlah pusaka telah musnah. Dhampar Kencana dilalap api dalam musibah kebakaran 1985. mengenai nasib pusaka yang lain, menantu Paku Buwono XII itu mengaku tak tahu-menahu. ”Data pusaka keraton hanya dimiliki raja,” ujarnya kepada Tempo.
Gusti Alit boleh jadi pilu tak terkira, tapi di bebe-rapa sudut Kota Solo—ibu kota Karesidenan Surakarta—kisah dibahas dalam bisik-bisik penuh gairah-. Jalur gelap perdagangan keris selalu menggeol oleh hilangnya keris-keris keraton. Maklum, di jagat perkerisan nan luas selalu ada orang yang berani membuka dompet selebar-lebarnya demi sebilah keris istana.
Kuping ”intel-intel keris” langsung tegak seperti- cantelan panci agar bisa menyerap berita tersayup se-kalipun tentang lokasi keris pusaka. Sejak 1980-an, kabar adanya kerabat keraton yang melego barang-barang inventaris keraton sudah terdengar. ”Penjual-an keris pusaka makin meriah di saat krisis ekonomi- (1998—Red.),” kata GPH Suryo Wicaksono, salah seorang putra Paku Buwono XII.
Menurut Wicaksono, ada tiga tingkatan pusaka keraton. Pusaka inti, pajangan, dan pusaka pribadi. Keris masuk dalam kategori dua dan tiga. Dia menduga sejumlah pusaka inti telah berpindah tangan. ”Kami yakin, walau sulit membuktikannya,” ujarnya kepada Tempo.
Di masa lampau, keris adalah senjata semata-mata (lihat infografik Senjata Bangsa Melayu). Lambat-laun fungsinya bertambah menjadi kelengkapan busana upacara. Hulu keris mulai bertatah intan, berlian, dan permata; sarungnya dilapisi emas; selanjutnya menjadi penanda status sosial. Apalagi, sen-jata itu kemudian dianggap punya tuah yang dapat meningkatkan wibawa, kepercayaan diri, dan keka-yaan pemiliknya.
Kekuatan tak kasat mata ini mulai membikin masyarakat gandrung mengoleksi keris pusaka, ter-ma-suk dua kelompok yang punya duit: pengusaha dan pejabat. Sejak 1980-an, pasar keris naik daun se-iring dengan banyaknya peminat dari berbagai bangsa dan kalangan. Hukum ekonomi bergerak, permintaan- melahirkan penawaran, bahkan penipuan. Pedagang yang curang tiba-tiba mahir menukil sejarah dan membubuhkan kisah-kisah mencengangkan pada setiap bilah keris yang ditawarkan (lihat Tipu-tipu Memicu Harga).
Keraton, sampai kini, masih tetap menjadi kiblat prestisius yang disoja pedagang keris segala lapisan. Empu Djeno Harum Brodjo, 77 tahun, adalah empu lama yang tersisa di Yogyakarta. Dia keturunan ke-15 Kyai Empu Tumenggung Supodiryo yang berjaya di zaman Majapahit. Sampai kini, Djeno teguh memegang pakem lama pembuatan keris. Dia menjalani laku tapa dan puasa sebelum menempa. Dia pantang melanggar urutan pemesan—Djeno hanya membuat dua bilah dalam setahun—dengan satu perkecualian-: bila order datang dari Ngarso Dalem alias Sultan Yogya-.
Djeno menunjukkan betapa keraton menduduki tempat terhormat di dunia perkerisan. Menurut sang Empu, pamor (bahan pembuat keris) terbaik dan termulia untuk senjata ini adalah batu meteorit. Ba-han ini hanya dimiliki Keraton Surakarta dan Yogyakarta (lihat Rembulan di Sendangsedayu). Keris dari keraton menjadi primadona pada transaksi jual-beli. Dalam catatan pengamat keris M.T. Arifin, perdagang-an keris bahkan telah berlangsung sejak zaman Sultan Agung berkuasa di abad XVI (lihat Banyak Jenderal Berburu Keris).
Kepada Tempo, sejumlah pedagang keris menuturkan, banyak pejabat yang menjadi prime customer mereka. Keris-keris incaran kaum birokrat adalah yang diyakini mendatangkan perbawa. Belakang-an-, banyak pengusaha ikut antre sebagai pem-beli. Golongan ini lebih ”realistis”: mereka mengincar keris-keris yang menjanjikan usaha yang langgeng dan penglaris yang tokcer dalam bisnis. ”Yang dicari- (pengusaha) kebanyakan keris berluk tujuh ke atas dengan primadona dapur Naga,” kata M.T. Arifin.
Jual-beli secara umum terbagi dalam dua jalur. Keris-keris biasa dan keris pusaka keraton. Jalur kedua adalah kanal eksklusif yang melibatkan kerabat istana. Dulu, keris istana cukup dilempar ke pa-sar lokal atau langsung ke tangan pejabat yang berminat. Belakangan, mereka menjualnya lewat perantara ke jaringan mancanegara. Fulus dari pembeli mancanegera jauh lebih menggiurkan.
Pasar Triwindu dan Alun-alun Utara Solo adalah pusat bursa tosan aji (istilah untuk berbagai senjata yang terbuat dari besi pilihan) Indonesia. Pedagang, pialang, serta pembeli keris bersenggolan di sini. Tempo menelusuri pasar itu beberapa waktu lalu. Kios-kios kayu sederhana ukuran 3 x 4 meter berjejer, memajang keris-keris baru seharga Rp 60–500 ribu. Walau begitu, kerap pula terjadi transaksi bernilai puluhan juta rupiah di kios-kios ini.
Menurut Warini, pedagang keris yang mangkal di alun-alun utara sejak 1980, dagangan mereka disu-plai oleh para empu keris di Solo, Surabaya, dan Madu-ra. Warini punya pelanggan domestik. Pembeli dari Malaysia, Singapura, dan Brunei datang empat bulan sekali dan setiap kali memborong minimal 20 bilah keris baru. ”Kalau ada koleksi lama dan bagus, mere-ka tertarik juga,” ujarnya.
Pelanggan dari Malaysia umumnya menggemari jenis Tamengsari berukuran besar buatan Maja-pahit. Keris seperti ini, konon, pernah dihadiahkan Prabu Brawijaya kepada Hang Tuah. ”Tamengsari dikenal sebagai keris jabatan,” kata Sugeng Wiyono, penggemar keris di Yogyakarta. Di Brunei juga ba-nyak ko-lektor keris. Salah satunya Pangeran Jefry Albol-kiah. Dia pernah ke Solo dan Yogyakarta untuk mem-borong tosan aji.
Keris pusaka umumnya bisa diperoleh di Alun-alun Utara, namun jalurnya lebih rumit dan barangnya tak selalu ada. Pembeli mengandalkan jaringan pedagang atau kerabat keraton untuk memperoleh barang incarannya. ”Mencari keris-keris lama se-karang ini gampang-gampang susah,” kata Mulyono, pedagang di Alun-alun Utara, kepada mingguan ini.
Seorang penggemar keris di Solo membisiki Tempo agar mendatangi rumah Pak Arjo di Kampung Mutihan. Kata sumber ini, ”Di sanalah bursa sesungguhnya keris Solo.” Beragam model lengkap dengan bumbu cerita pada setiap bilah dapat ditemui di kediaman Arjo Mutihan di Solo Barat.
Tempo menelisik tempat itu. Hasilnya? Masa jaya bursa Mutihan telah pudar sepeninggal almarhum Arjo. Meski demikian, jaringan mereka belum pupus-. Mereka tetap saling kontak jika ingin membeli atau men-jual keris, dan sering mengandalkan Alun-alun- Utara untuk berbagi info, termasuk info untuk men-dapatkan keris-keris tua.
Jaringan pedagang berburu hingga ke pelosok desa karena populasi keris tua kian langka. Salah satu cara-nya adalah menanam ”intel” untuk mencari barang pesanan ke Sragen, Wonogiri, Gunung Kidul, Magelang, Temanggung, Purwodadi, hingga desa-desa di Jawa Timur. ”Bisa berhari-hari kami menjelajah desa,” kata Nur-yadi, seorang makelar keris.
Koleksi museum masuk dalam radius lirik-an pemburu keris pusaka. Mufti Rahardjo-, petugas Museum Radya Pustaka Solo, me--ng-aku beberapa kali dibujuk untuk melego keris koleksi. Tawaran itu amat menggiurkan. Apalagi, honornya sebagai pegawai tak sam-pai Rp 50 ribu per bulan. Toh Mufti tak tergoda. ”Bukan takut ketahuan, tapi alang-kah nistanya hidup sekali saja jadi pencuri,” ujarnya kepada Tempo.
Museum Keraton Surakarta juga ditatap dengan penuh selera oleh pengincar keris. Pada 1970-an, seorang pencuri tertangkap basah. Hilangnya Badong, salah satu pusaka Pura Mangkunegaran, sempat menggegerkan. ”Kalau abdi dalem tak mungkin. Mereka dilarang melihat-lihat keris, bahkan pada saat bersih-bersih ruangan,” kata seorang kerabat Mangkunegaran.
Harga keris pusaka yang menumbuk angka jutaan rupiah membuat makelar pantang mundur menggelitik kerabat keraton agar melepas pusaka miliknya. Ini terjadi bila ada pesanan khusus dari ”orang Jakarta”. Wicaksono mengaku sering mendengar kasak-kusuk jual-beli pusaka yang melibatkan ke-rabat dan tokoh-tokoh penting.
Ilmu tipu-tipu pun mekar di sana-sini, lagi-lagi akibat desakan pasar. Keris yang tak berasal dari keraton diklaim seolah keris istana. Sebagai contoh, seorang pejabat menitipkan kerisnya untuk disimpan di Gedhong Pusaka. ”Eh, keris itu lalu terjual mahal karena dibilang dari keraton,” kata Edy Wirabumi.
Banyaknya pejabat yang mencari keris pusaka me-lalui kerabat keraton diakui Gusti Kanjeng Ratu Koes Moertiyah, putri Paku Buwono XII. Ia dan suami-nya, Edy Wirabumi, pernah menerima pesanan dan bahkan ikut menawarkan berbagai macam keris. Namun, menurut Moertiyah, itu bukan keris-keris piyandel (pusaka). ”Saya sering mencarikan keris untuk kepentingan tradisi seperti pernikahan secara kejawen,” ujarnya.
Hubungan erat antara kolektor dan pedagang keris di Pasar Triwindu dan Alun-alun Utara dengan ke-rabat keraton dibenarkan Wicaksono. Selain bentuk, pamor, sejarah, dan citra, nilai keris juga ditentukan oleh identitas orang yang menjualnya. Bila pembawa keris adalah orang yang dekat dengan lingkaran inti keraton, harga barang langsung melejit.
Sejauh ini, motif ekonomi adalah alasan utama bagi penjualan keris-keris pusaka. Kehidupan ning-rat masa kini tak lagi sejaya nenek moyang mereka. ”Karena didesak oleh Ki Ageng Butuh (didesak kebutuhan hidup—Red.),” Wicaksono berseloroh.
”Ki Ageng Butuh” membikin pusaka tosan aji melesat dari gerbang keraton—dengan cara halal ataupun haram—untuk kemudian ditukar dengan fulus bergepok-gepok. Ada rupa, ada harga. Keris pusaka menjadi incaran.
Hanibal W.Y. Wijayanta, Anas Syahirul, Imron Rosyid (Solo), Heru C. Nugroho (Yogyakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo