Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sebuah pesan pendek mendarat di telepon seluler Junaidi, Sabtu dua pekan lalu. Isinya kekhawatiran sang istri tercinta, Supeni, akan peluang Sri Wahyuni Agustiani dalam perebutan medali di Asian Games 2014. Supeni mengirimkan pesan langsung dari Moonlight Garden Venue, Incheon, Korea Selatan, tempat cabang angkat besi digelar. "Ayah, berat angkatannya," tulis Supeni singkat.
Posisi Yuni—panggilan akrab Sri Wahyuni—memang kritis saat itu. Angkatan clean and jerk-nya hanya membawa dia ke peringkat keenam. Kalau snatch-nya juga jelek, Yuni akan pulang dengan tangan kosong. Toh, Junaidi yakin Yuni akan mampu membalikkan keadaan. "Saya yakin Yuni mendapat medali. Kalau enggak perak, ya, perunggu," katanya kepada Tempo di kediamannya di Bekasi, Selasa pekan lalu.
Keyakinan Junaidi terwujud. Menjelang sore, sebuah kabar gembira mampir ke teleponnya. Yuni, yang turun di kelas 48 kilogram, sukses menggondol medali perak. Ia meraih total angkatan 187 kilogram (snatch 80 kilogram dan clean and jerk 107 kilogram). Emas direbut Margarita Yelisseyeva, lifter Kazakstan, yang mencatat angkatan total 194 kilogram.
Junaidi sebenarnya tidak asal menyampaikan keyakinan. Dia tahu Yuni bukanlah lifter sembarangan. Tiga bulan sebelum Asian Games, anak asuhnya itu sukses menyabet medali emas di Kejuaraan Dunia Junior. Praktis, dalam dua tahun terakhir, gadis kelahiran Bandung, 13 Agustus 1994, itu selalu membawa pulang medali di setiap kejuaraan yang diikuti.
Kali ini yang dilakukan Yuni tergolong istimewa. Dia bersama atlet wushu Juwita Niza Wasni bagai menyelamatkan muka kontingen Indonesia dengan menyabet medali perak pada hari pertama Asian Games. Hingga hampir sepekan kemudian, medali yang diraup Indonesia hanya tiga perak dan empat perunggu—dua perak di antaranya dari Yuni dan Juwita itu.
Istimewa karena inilah keikutsertaan pertama Yuni-Juwita di pesta olahraga negara-negara Asia itu. Usia mereka pun masih muda—Juwita bahkan baru berumur 18 tahun (baca: "Karena Mata Terlalu Sayup"). Sepertinya masa depan mereka di dunia olahraga bakal cukup terang.
Dan, di usia sebelia itu, sikap profesional sudah tertanam kuat. Yuni, misalnya, amat menyadari pentingnya disiplin dan tekad baja. Dalam dua tahun terakhir, dia menjalani pemusatan latihan nasional di Bekasi secara spartan. Rutinitas harian adalah bangun pukul 04.30 setiap hari, lalu melahap menu latihan pagi dan sore hari. Dalam sepekan, dia menjalani lima sesi latihan dengan jatah dua hari libur.
Ritme itu secara konsisten bahkan ia jalani sejak berusia 13 tahun. Tak ada keluh kesah meski masa latihan demikian panjang dan monoton. "Enggak boleh nyerah sebelum berakhir. Saya masih muda, Mas. Masak, kalah sama yang udah tua?" tutur Yuni kepada Tempo di pinggir arena Moonlight Festival Park, Selasa pekan lalu. Saat itu, ia tengah menunggu pertandingan rekan seniornya, Sinta Darmariyani. Yuni tampak rileks dengan tas ransel yang setia dalam pelukannya. Dari ritsleting tas yang terbuka, tampak sebuah iPad menyembul dari dalam.
Yuni lantas bercerita tentang perkenalan dirinya dengan olahraga maskulin ini pada saat berusia 13 tahun dan tinggal di Bandung. Dia diajak seorang mantan atlet angkat besi kelas 48 kilogram, Siti Aisyah, yang juga rekan sekantor ayahnya di Dinas Pasar Banjaran, Kabupaten Bandung.
Yuni lalu dikenalkan kepada atlet-atlet angkat besi yang berlatih di sentra latihan milik Maman Suryaman itu. "Pertama saya cuma ngelihatin, tapi kok asyik. Akhirnya ikut latihan," ujarnya. Melihat atlet angkat besi berlatih, perempuan sulung empat bersaudara ini mendapat kesan angkat besi akan membuatnya sama kuat dengan cowok. Itu yang membikin Yuni kian kesengsem.
Siti Aisyah tak salah pilih. Yuni ternyata sangat berbakat. Ia mencetak prestasi tertinggi saat mengikuti Pekan Olahraga Pelajar Nasional 2010 di Palembang. Pencapaian inilah yang membikin Supeni terpikat. Pelatih di pelatnas ini mengajak Yuni bergabung. Namun baru pada 2012 Yuni resmi berada dalam asuhan Supeni di pelatnas.
Hari-hari panjang Yuni sebagai atlet nasional pun dimulai. Pada 2013, pelatnas dipindahkan ke Bekasi atas inisiatif Supeni. Ini dilakukan guna mencegah kebosanan para atlet. Supeni sendiri didampingi suaminya, Junaidi, yang melatih atlet junior dan pratama.
Junaidi menuturkan, pelatnas dipindahkan ke Bekasi berkaca pada pengalaman Supeni. Saat di Jakarta, para atlet akan cepat jenuh karena tinggal di hotel. "Di sana hidup atlet kayak di dalam kotak. Segitu-gitu aja aktivitasnya. Latihan, lomba, latihan, lomba," ucap Junaidi.
Karena itu, sejak Islamic Solidarity Games 2013 di Palembang, Supeni membuka pelatnas angkat besi di Bekasi. Para atlet yang berjumlah 11 orang tinggal di dua rumah terpisah di Perumahan Villa Mutiara Gading. Sedangkan latihan dilakukan di Gedung Arsip milik Pemerintah Kabupaten Bekasi di Jalan Rawa Tembaga Raya, Bekasi.
Menurut Junaidi, dengan berbaur bersama masyarakat, keseharian atlet menjadi lebih berwarna. "Kami juga ingin agar latihan atlet senior dan junior tidak dipisah. Tujuannya agar ada persaingan antar-atlet."
Dalam suasana semacam itulah Yuni dan teman-temannya menempa diri. Toh, sebagai atlet nasional, selalu ada yang membedakan dirinya dengan kebanyakan remaja lain. Misalnya Yuni menunjuk soal sekolah yang mau tak mau kerap ia tinggal. Tapi ia ogah mengeluh. Jauh-jauh hari Yuni sudah menyadari konsekuensi dari pilihannya menjadi seorang lifter. "Saya sudah suka olahraga ini," katanya.
Soal lain adalah pertemanan. Yuni mengatakan saat ini lebih banyak memiliki teman lelaki daripada perempuan, meski sebenarnya itu sudah terjadi sejak ia duduk di sekolah dasar. Namun bukan berarti Yuni menutup diri terhadap teman-teman perempuan. Setiap kali ada kesempatan kongko, ia tak segan membagi waktunya.
Tentu saja itu juga cara dia mengatasi saat serangan bosan mendera. Selain kongko, Yuni punya cara lain menghadapinya: berenang, jalan-jalan, karaoke, dan menonton film India. Kenapa film India? "Seneng nyanyinya, seneng lihat tariannya. Enak gitu didengerin," ujarnya.
Jalan Yuni masih panjang di arena angkat besi. Dan ia belum tahu apa yang akan dilakukan kelak ketika karier olahraganya usai. Yang jelas, gadis ini tak ingin kerja kantoran. "Duduk di depan komputer gitu? Shhh…," Yuni hanya bisa mendesis. Saat ini ia cuma ingin berkonsentrasi menjangkau prestasi yang lebih tinggi.
Aditya Budiman, Gadi Makitan (Incheon)
Karena Mata Terlalu Sayup
Juwita Niza Wasni tahu persis kenapa "hanya" mampu meraih perak di Asian Games 2014 ini. Ekspresinya kurang garang saat beraksi di arena. "Sebenarnya sewaktu latihan saya bisa, tapi sewaktu tanding matanya sayup lagi," katanya kepada Tempo. Toh, ia tetap gembira dengan pencapaian tersebut. Tawanya pecah saat menceritakan suasana pertandingan.
Juwita adalah penyelamat kontingen Indonesia pada hari pertama. Bersama Sri Wahyuni Agustiani di cabang angkat besi, ia mempersembahkan perak kepada Ibu Pertiwi. Gadis kelahiran Medan, 15 Agustus 1996, ini mempesona juri pada nomor nan dao (golok) dan nan quan (tangan kosong) di Ganghwa Dolmens Gymnasium, Incheon, Korea Selatan, Sabtu dua pekan lalu.
Menurut Juwita, persaingan di tingkat Asia saat ini amat ketat. "Awalnya saya tidak punya target, tapi alhamdulillah bisa meraih medali," ujarnya. Juwita kalah bersaing dengan Cheau Xuen Tai dari Malaysia.
Juwita Niza Wasni terjun ke dunia olahraga sejak usia 5 tahun. Ia memulainya dari cabang senam, lalu beralih ke wushu menjelang usia 12 tahun. Sepertinya masa depan gadis ini cerah di cabang wushu. Sebelum mempesona Asia, ia sudah meraih emas SEA Games 2013, medali perak PON XVIII Riau 2012, dan medali emas di Kejuaraan Nasional Wushu Riau 2013. "Saya berharap bisa memberikan prestasi yang lebih lagi melalui olahraga wushu," ucapnya.
Gadi Makitan (Incheon)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo