Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Membuat Luka di Pulau Sagu

Pembangunan jaringan kanal oleh perusahaan besar mengakibatkan amblesan, intrusi air laut, dan kebakaran hutan di Pulau Tebing Tinggi. Perkebunan sagu rakyat lebih ramah lingkungan.

29 September 2014 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

POHON ramin setinggi 50 meter itu berdiri kokoh di tepi kanal di lahan konsesi yang diklaim milik PT Lestari Unggul Makmur. Di sekelilingnya, tersisa sejumlah pohon yang lebih rendah dengan batang hangus terbakar. Termasuk ratusan batang pohon sagu milik warga Desa Sungai Tohor, Kecamatan Tebing Tinggi Timur, Kabupaten Kepulauan Meranti, Provinsi Riau.

"Semua laki-laki warga desa datang ke sini untuk memadamkan api," kata Abdul Manan, tokoh masyarakat Sungai Tohor, yang menemani Tempo ke lokasi itu pada pekan terakhir bulan lalu. Warga berjibaku agar kebakaran yang terjadi pada Februari-Maret 2014 itu tidak meluas ke perkebunan sagu yang berdekatan dengan permukiman mereka.

Kebakaran hutan dan lahan juga terjadi di lahan konsesi milik PT National Sago Prima, tetangga PT Lestari. Di sini kebakaran lebih parah, yaitu di lima titik dengan luas 2.200 hektare. Sebanyak 200 hektare kebun sagu milik warga di Dusun Kampung Baru dan Tanjung Bandul di Desa Kepau Baru ikut terbakar.

Puluhan warga Sungai Tohor membantu tetangganya memadamkan api yang hampir mencapai permukiman penduduk. Si jago merah bermula di Blok K26 pada 31 Januari 2014 pukul 19.30. Angin kencang mempercepat penyebaran api. "Udara dipenuhi asap selama satu bulan," ujar Akiat, warga Desa Kepau Baru.

Menurut Akiat, ini merupakan kebakaran yang paling besar semenjak desa berdiri pada 1970-an. Kebun sagu 1,5 hektare miliknya ikut terbakar. Kebakaran sepanjang Februari-Maret 2014 memang puncak dari merosotnya ekosistem di Pulau Sagu—sebutan untuk Pulau Tebing Tinggi, yang luasnya 89.250 ha. "Lingkungan rusak setelah perusahaan membuka lahan dan membangun kanal untuk perkebunan," kata Ibrahim Katan, tetua masyarakat yang lahir pada 1933 di Desa Sungai Tohor.

Pada 31 Mei 2007, Menteri Kehutanan memberikan izin hutan tanaman industri akasia kepada PT Lestari Unggul Makmur dengan luas 10.390 hektare. Ternyata izin ini sebagian besar berada di hutan sagu dan kelapa milik warga Desa Sungai Tohor dan Desa Nipah Sendanu. Pada April 2008, Forum Kepala Desa Pulau Tebing Tinggi menolak rencana itu.

Perusahaan akhirnya menunda membuat perkebunan akasia. Namun mereka sudah membersihkan sebagian lahan dan membangun kanal dengan panjang 10 kilometer, lebar 12 meter, dan kedalaman 5 meter. Jaringan kanal ini terhubung dengan kanal milik PT National Sago Prima yang ada di sebelah selatannya.

Anak perusahaan Sampoerna Agro ini mendapat izin konsesi perkebunan seluas 21.418 hektare dari Menteri Kehutanan pada 2009. Sebelumnya, lahan itu atas nama PT National Timber and Forest Product. Pada 1996-1999, PT National Timber menanam sagu di lahan seluas 13.044 ha, yang kemudian dilanjutkan oleh PT National Sago Prima.

Tempo, yang memasuki perkebunan ini, menyaksikan pohon sagu berjajar rapi. Ada 12 divisi yang luasnya masing-masing 1.000 ha. Tiap divisi terdiri atas 20-24 blok dan tiap blok luasnya 50 ha. Batas blok berupa kanal-kanal yang berfungsi untuk transportasi, menjaga ketersediaan air, serta sebagai jalur panen dan pembatas.

Lima tahun lalu, sebagian pohon sagu telah dipanen. Pada Desember 2011, mereka mengoperasikan pabrik pengolahan pati sagu dengan kapasitas 33 ribu ton tepung sagu per tahun. Pabrik sagu skala raksasa ini berada di Desa Kepau Baru. Pelabuhan yang ada di belakang pabrik langsung mengangkut pati sagu itu untuk pasar dalam dan luar negeri.

Dampak dari pembukaan hutan dan pembangunan jaringan kanal oleh dua perusahaan swasta itu kini dirasakan warga desa, yang mayoritasnya petani sagu. "Sejak 2010, pohon sagu saya mulai mati karena air laut yang asin masuk ke daratan ketika pasang," ucap Nong Mel, mantan Sekretaris Desa Sungai Tohor, yang memiliki kebun sagu sejak 1960-an.

Produksi sagu rakyat belakangan ini juga mulai turun. Sebelum 2012, kata Abdul Manan, produksi sagu rakyat di desanya mencapai 700 ton per tahun, tapi kini cuma 300-500 ton. Bukan hanya itu, anakan pohon sagu juga tak mau tumbuh dan mati ketika induknya ditebang (dipanen). Tanaman sagu memang seperti pohon pisang. Setiap batangnya ditebang akan muncul anakan baru, yang siap dipanen paling cepat delapan tahun.

Mata pencarian Nong Mel, Abdul Manan, Ibrahim Katan, dan ribuan petani sagu di Pulau Tebing Tinggi kini terancam. Mereka merasakan suhu udara makin panas dan intrusi air laut makin masuk ke daratan. Ikan lele dan satwa lokal setempat pun sudah jarang lagi muncul.

Oka Karyanto, ahli gambut dari Universitas Gadjah Mada, menyebutkan telah terjadi perubahan ekosistem besar-besaran di Pulau Tebing Tinggi. "Pembangunan kanal-kanal itu seperti membuat luka, membuat lahan gambut menjadi kering dan mudah terbakar," ujar doktor forest & ecosystem science dari Melbourne University ini. Menurut dia, jika dijatuhkan puntung rokok yang masih menyala, lahan itu mudah terbakar.

Tebing Tinggi bersama tetangganya, Pulau Merbau, Pulau Rangsang, dan Pulau Padang di Kabupaten Kepulauan Meranti, memang pulau gambut. Ciri pulau ini adalah tandon airnya tidak luas. Tanahnya subur dan penghasil kayu-kayu besar yang bernilai tinggi. Jarak 1,5 kilometer dari bibir pantai sudah masuk kawasan gambut dalam dengan kedalaman kubahnya di atas 4 meter.

Menurut Oka, yang puluhan kali melakukan penelitian di Kabupaten Meranti, warga tidak membuat kanal-kanal ketika menanam sagu. Tanaman itu dibiarkan terendam dan sagu serta anakannya tumbuh subur. Tanahnya tetap lembap atau kaya air dan tidak kering. "Perkebunan sagu rakyat malah melestarikan lingkungan," katanya.

Banyak riset menunjukkan pembangunan kanal di lahan gambut bakal menyebabkan amblesan atau penurunan muka tanah (subsiden) dan secara bertahap dapat menjadi lahan sulfat masam. "Saya khawatir, dalam jangka panjang, pulau akan ambles dan makin mempercepat air laut masuk ke darat," tutur Riko Kurniawan, Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Riau.

Oka mengutip sejumlah studi yang menunjukkan bahwa laju amblesan pada lahan gambut di Indonesia dan Sarawak berada pada kisaran 5 sentimeter per tahun. Padahal topografi pulau-pulau di Kabupaten Meranti berada di ketinggian 0-5 meter. Dia membuat kajian tentang ancaman ini di Pulau Padang, yang dipaparkan dalam forum Tim Mediasi Konflik Dewan Kehutanan Nasional.

Asumsinya, tinggi elevasi lahan gambut dari muka air laut sekarang ini 5 meter. Lalu laju kenaikan muka air laut 4 milimeter per tahun dan laju subsiden tanah gambut 4 sentimeter per tahun. Maka, dalam jangka waktu 60 tahun, Pulau Padang terancam tenggelam. 

Kepolisian Daerah Riau telah menetapkan PT National Sago Prima sebagai tersangka pembakar lahan. Penyidik menemukan 2.200 hektare lahan yang terbakar sejak 30 Januari hingga 5 Maret 2014. Kebanyakan yang terbakar adalah tumpukan kayu steiking atau sisa land clearing. Area ini tumpang-tindih dengan lahan milik warga.

 Bajuri Ikhwani, Manajer Perkebunan PT National Sago Prima, mengakui salah seorang tersangka adalah karyawan yang motifnya diduga tidak puas terhadap manajemen perusahaan. "Namun banyak titik api pada kebakaran lalu salah satunya berasal dari lahan masyarakat setempat," katanya. Setio Budi Utomo, Forestry Support Coordinator PT National Sago Prima, menjelaskan bahwa pihaknya telah memberikan bantuan bibit jagung kepada warga yang menjadi korban.

Abdul Hadi, juru bicara PT Lestari Unggul Makmur, menerangkan bahwa pihaknya tidak mengetahui lahan yang terbakar dan asal titik api. "Sejak 2007, perusahaan belum pernah beroperasi dan sebagian lahan ditanami pohon sagu oleh warga," ujarnya kepada Riyan Nofitra dari Tempo, Rabu pekan lalu. Hadi mengakui perusahaannya sedang memproses perubahan izin penanaman akasia ke pohon sagu—sesuai dengan permintaan Pemerintah Kabupaten Meranti.

Mas Achmad Santosa, Deputi Bidang Hukum Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan, mengatakan penegakan hukum kepada perusahaan yang bersalah sangat diperlukan. "Selama ini ada tuduhan bahwa negara tidak serius atau abai terhadap kebakaran hutan dan lahan yang berulang kali terjadi," kata doktor ilmu hukum dari Universitas Indonesia itu.

Menurut dia, seharusnya pemerintah pusat dan daerah serius mengawasi sehingga kebakaran dapat dicegah. Dia juga menyoroti sektor hulu, yaitu kebijakan perlindungan di ekosistem gambut. Pekan depan bakal keluar peraturan pemerintah tentang gambut. Salah satu poin penting adalah larangan membuat saluran drainase atau kanal yang menyebabkan gambut menjadi kering dan melakukan pembakaran. Ketentuan itu juga mengatur sejak perencanaan, pengelolaan, pemeliharaan, hingga pengawasan.

Untung Widyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus