Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Arif Havas Oegroseno*
Sebelum revolusi industri, produk domestik bruto (PDB) Asia mencapai 58 persen dari ekonomi dunia. Dua abad kemudian, pada 1950-an, anjlok menjadi 15 persen. Sebagian besar negara Asia menjadi negara miskin akibat penjajahan ratusan tahun. Saat ini kekuatan ekonomi Asia kembali bangkit ditandai oleh PDB sebesar 27 persen dari total output ekonomi global dan adanya beberapa negara Asia di G-20, termasuk Indonesia. Dengan kebijakan pembangunan yang tepat, abad ke-21 ini dapat menjadi abad Asia.
Selain kemajuan teknologi, investasi, dan peningkatan sumber daya manusia, perdagangan menjadi salah satu pilar utama kebangkitan ekonomi Asia. Dalam hal ini, lalu lintas perdagangan antara pusat ekonomi dunia di Asia Timur-Tenggara dan wilayah dunia lain dilakukan melalui perairan Indonesia.
Logistik pengiriman sepertiga barang yang diperdagangkan di dunia dan 80 persen kebutuhan energi Asia Timur dilakukan melalui Selat Malaka dan Singapura. Pada 2009, ada 71.359 kapal yang melintasi Selat Malaka dan Singapura. Jumlah ini meningkat menjadi 80.055 pada 2014. Ditambah lalu lintas antarselat dari perairan Indonesia, Malaysia, dan Singapura, jumlah navigasi laut di kawasan ini mencapai 20 kapal per jam atau 500 kapal per hari. Pada 2020, diperkirakan jumlah navigasi mencapai 140 ribu kapal per tahun—dua kali lipat.
Peningkatan jumlah kapal, bobot muatan kapal, serta kondisi geografis Selat Malaka dan Singapura akan memaksa perpindahan navigasi melalui Selat Sunda atau Selat Lombok, yang saat ini juga merupakan perairan strategis untuk kegiatan perekonomian Pasifik dengan Asia Tenggara dan Asia Timur. Saat ini Selat Sunda dilalui 3.500 kapal per tahun dan Selat Lombok dilalui 3.900 kapal per tahun.
Nilai strategis perairan Indonesia memang sangat tinggi. Bahkan konsep Jalan Sutra Maritim dari Cina pun harus menggunakan jalur navigasi perdagangan di perairan Indonesia. Peningkatan perdagangan dan investasi negara-negara Asia ke Afrika juga akan semakin meningkatkan nilai pentingnya perairan Indonesia pada skala global.
Sesuai dengan prinsip hukum negara kepulauan, Indonesia memiliki sejumlah hak, kewajiban, dan bahkan keuntungan yang diberikan UNCLOS 1982. Keuntungan demi kepentingan nasional Indonesia ini tidak hanya bersifat nasional, tapi juga global. Berbagai keuntungan yang terkandung di dalam UNCLOS 1982 memberi dampak ekonomi dan perdagangan secara substansial. Kata-kata kunci dalam konteks ekonomi, seperti komersialisasi, perdagangan, kontrak, investasi, sumber daya, eksplorasi, eksploitasi, kabel, pipa, pembangunan, lingkungan hidup, pencemaran lingkungan, polusi, teknologi, dan bea-cukai, disebut berkali-kali dalam Konstitusi Samudra ini.
Di tingkat nasional, prinsip hukum negara kepulauan telah memberi Indonesia wilayah kedaulatan dan hak berdaulat yang sangat luas. Di perairan kepulauan yang luas, yang masih ditambah lagi dengan zona ekonomi eksklusif yang juga sangat luas, Indonesia telah memiliki hak memanfaatkan secara maksimal sumber daya alam baik hayati maupun nonhayati. Selain itu, Indonesia memiliki hak dan kewajiban dalam mengatur dan menjaga alur navigasi maritim yang menghubungkan titik-titik perekonomian dunia.
Diplomasi ekonomi dalam konteks ini sangat berperan dalam upaya memajukan Indonesia. Diplomasi ekonomi dapat melengkapi diplomasi komersial, yang secara tradisional telah dilakukan dalam berbagai kegiatan misi perdagangan pemasaran hasil laut di pusat-pusat perdagangan dunia ataupun pembukaan wilayah eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam dasar laut berupa migas.
Salah satu elemen utama dalam memanfaatkan secara maksimal hasil laut Indonesia adalah upaya penghapusan pencurian ikan di perairan Indonesia. Langkah ini tidak cukup dengan operasi keamanan saja, tapi perlu dilengkapi dengan beberapa kebijakan diplomasi ekonomi strategis, yakni penyusunan suatu aturan regional kawasan Asia Tenggara guna memerangi memerangi illegal, unreported and unregulated fishing, kerja sama Indonesia dengan lembaga regional yang mengatur kegiatan pemanfaatan dan konservasi perikanan, mengkaji berbagai kerja sama ekonomi bilateral yang memberi peluang munculnya illegal, unreported and unregulated fishing, serta kerja sama global dengan negara pasar hasil laut dunia, khususnya Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Jepang.
Indonesia perlu mempengaruhi kebijakan ekonomi pasar dunia agar tidak membeli hasil laut yang merupakan hasil pencurian baik yang dilakukan di wilayah Indonesia maupun di wilayah lain. Komitmen untuk tidak mengimpor hasil laut ilegal perlu dilakukan oleh pelaku diplomasi ekonomi tingkat tinggi dalam suatu kesepakatan kerja sama ekonomi bilateral. Sertifikasi legal Indonesia bisa diakui pada tingkat global.
Diplomasi ekonomi di bidang konservasi perikanan ini juga harus dilakukan pada tataran organisasi multilateral di mana kebijakan global dalam menghadapi overfishing perlu disusun secara sistematis.
Indonesia telah menjadi pemimpin dalam perlindungan lingkungan kelautan, seperti World Coral Reef Conference dan Coral Reef Triangle Initiative, yang sekretariatnya berada di Indonesia. Namun konservasi lingkungan hidup kelautan ini sering tidak dibahas secara mendalam di forum global perubahan iklim. Sebagai negara kepulauan terbesar di dunia, Indonesia perlu mempengaruhi agenda perubahan iklim untuk tidak hanya mencakup masalah konservasi hutan dan lingkungan hidup daratan, tapi juga lingkungan hidup kelautan.
Ekspor biofuel Indonesia akhir-akhir ini mengalami banyak tantangan terutama dikaitkan dengan debat di antara food vs fuel yang berasal dari minyak nabati. Hal ini memang perlu disikapi tersendiri dalam konteks pengelolaan pertanian, tapi teknologi baru telah membuka potensi rumput laut sebagai biofuel. Kerja sama ekonomi dan pembangunan dengan pasar penyerap biofuel dapat dikembangkan tidak hanya untuk menciptakan produk dan mata pencarian baru bagi rakyat Indonesia, tapi juga memenuhi tanggung jawab global Indonesia dalam pengurangan emisi gas rumah kaca.
Diplomasi ekonomi juga diperlukan dalam mempengaruhi pembuatan aturan dunia tentang polusi kegiatan industri di laut, sehingga kasus pencemaran oleh anjungan pengeboran minyak lintas batas ataupun di dalam wilayah Indonesia yang berdampak ekologis dan ekonomis secara negatif dapat ditangani secara komprehensif.
Indonesia perlu memanfaatkan lokasi strategisnya sebagai alur lintas navigasi global dengan membangun jaringan logistik yang menghubungkan pelabuhan Indonesia dengan pelabuhan di berbagai pasar dunia. Di pelabuhan Uni Eropa, seperti Antwerpen, Rotterdam, dan Hamburg, Indonesia perlu mendorong investasi perusahaan Indonesia atau badan usaha milik negara di bidang pergudangan dan logistik. Apabila investasi logistik ini dikembangkan di berbagai titik strategis pasar dunia di Asia, Eropa, Amerika Utara dan Selatan, serta Afrika, berbagai produk nasional Indonesia, baik yang bersifat komoditas maupun manufaktur, dapat dikirimkan langsung dari pelabuhan Indonesia.
Sebagai negara yang telah mampu membuat tanker, Indonesia juga perlu memasarkan produk industri strategis kelautannya ke berbagai pasar dunia sebagai bagian dari diplomasi komersial. Hal ini telah lazim dilakukan negara-negara maju dalam promosi penjualan alat utama sistem persenjataan.
Di tingkat global, UNCLOS 1982 memberi Indonesia keuntungan untuk melakukan eksploitasi dan eksplorasi di luar wilayah kedaulatan dan hak berdaulatnya, baik yang terletak di dekat Indonesia maupun jauh dari kawasan Asia Tenggara. Indonesia telah berhasil memperluas wilayah hak berdaulat di landas kontinen di luar 200 mil laut di sebelah barat Sumatera dan tengah melakukan kajian untuk dua wilayah lain, yakni di selatan Sumba dan di utara Papua. Namun Indonesia harus mampu memperluas upaya ini sehingga mencakup seluruh wilayah sebelah barat Pulau Sumatera dan wilayah-wilayah lain yang berada di luar 200 mil laut. Sumber daya alam yang ada tentunya sangat tinggi mengingat teknologi eksplorasi dan eksploitasi alam di masa depan masih terbuka luas sekali.
Selain itu, Indonesia harus mempromosikan investasi di kawasan The Area, yang berada di laut lepas dan dikelola lembaga International Seabed Authority. Kawasan ini penuh dengan mineral masa depan. Sejumlah negara berkembang, seperti Kuba, Tonga, dan Fiji, menjadi kontraktor investasi di kawasan ini.
UNCLOS 1982, sebagai Konstitusi Samudra, sering hanya diasosiasikan dengan hal-hal yang bersifat politis, seperti sengketa perbatasan laut, pengelolaan keselamatan pelayaran, dan operasi melawan perompak. Fakta hukumnya membuktikan bahwa masalah ekonomi, perdagangan, dan investasi juga telah diatur secara lengkap. Karena itu, penerapan semua elemen UNCLOS 1982 dengan menggunakan berbagai elemen diplomasi, termasuk diplomasi ekonomi dan komersial, harus menjadi bagian dari strategi politik luar negeri Indonesia. l
*) Alumnus Harvard Law School 92, Presiden Konferensi Konvensi Hukum Laut Perserikatan Bangsa-Bangsa ke-20
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo