Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
KEGEMBIRAAN tumpah di Stadion Olimpiade Rades di Kota Tunis, Rabu malam pekan silam. Pesta-pora pecah di segala penjuru ibu kota Negara Tunisia itu. Sambil bernyanyi dan meneriakkan yel-yel, ribuan orang menyesaki jalan-jalan di sekitar stadion. Mereka menyambut sukses Tunisia ke babak final kejuaraan sepak bola Piala Afrika 2004.
Bagaimana warga Tunisia tak bangga. Tim kesayangannya itu meringkus tim favorit "Elang Super" Nigeria di semifinal lewat drama adu penalti. Francileudo Silva Dos Santos mereka elu-elukan bak putra mahkota.
Inilah ketiga kalinya Tunisia lolos ke babak final kejuaraan yang digelar dua tahun sekali itu, setelah pada 1965 dan 1996. Sayangnya, di dua kesempatan itu, tim berjulukan "Elang dari Carthage" ini tak pernah merasakan nikmatnya menjadi jawara. Sebab, ketika itu, Ghana dan Afrika Selatan menggagalkan langkah mereka ke tangga juara. Tahun ini harapan Tunisia kembali membuncah. Maklum, laskar elang itu kali ini diperkuat pemain-pemain muda yang andal.
Benua Afrika memang tak pernah kehabisan pemain hebat dan berbakat. Ketika bintang lama masih bersinar, bintang baru mulai berkibar—dan sinarannya tak kalah terang dari para pendahulunya. Salah satu pemain yang berkilau di ajang Piala Afrika 2004 adalah Francileudo Silva Dos Santos tadi. Penyerang gesit ini punya andil besar dalam meloloskan Tunisia ke partai puncak. Ia sudah melesakkan empat gol—salah satunya ke gawang Nigeria lewat titik penalti.
Ditilik dari namanya yang berbau Portugal, Dos Santos memang bukan warga asli Tunisia. Ia berdarah Brasil. Lelaki kelahiran Ze Doca, Brasil, 24 tahun silam itu resmi menjadi warga negara Tunisia pada 13 Desember 2003. Dos Santos tentu punya alasan kuat untuk beralih kewarganegaraan. Sejak tahun lalu, ia sudah dilamar tim nasional Tunisia untuk bermain di Piala Afrika 2004. Lamaran itu terlalu menggoda untuk dilewatkan begitu saja. Apalagi persaingan untuk masuk tim nasional di negerinya sendiri, Brasil, sangat ketat. "Aku sadar tak punya kesempatan bermain untuk Brasil. Lagi pula aku mencintai Tunisia," kata Dos Santos.
Tak cuma cinta yang menyeberang, tapi juga rasa terbuang dari kampung halaman. Dengan membawa perasaan terpinggirkan, Dos Santos melanglang buana ke Eropa. Ia sempat bergabung dengan klub Liga Belgia, Standard Liege, selama dua musim, 1996-1998. Tapi ia kecewa karena tak pernah dimainkan. Dos Santos kemudian memutuskan hijrah ke Afrika Utara. Tunisia menjadi pilihannya. Di calon tanah air keduanya ini, ia bergabung dengan klub lokal Star of the Sahel selama dua musim kompetisi, 1998-1999 dan 1999-2000.
Di klub itulah kebintangannya mulai tampak. Ia menjaringkan 32 gol dalam dua musim kompetisi. Penampilannya yang aduhai menarik perhatian pemandu bakat klub Sochaux, yang saat itu masih menghuni Divisi II Liga Prancis. Pada musim 2000-2001, Dos Santos pun boyongan ke Sochaux. Di klub barunya ini, kariernya terus menanjak. Ia ikut mengantar Sochaux berpromosi ke divisi I pada musim berikutnya. Pada musim kompetisi 2003-2004 ini, ia sudah mengemas 10 gol.
Aksi Dos Santos memang menawan. Di Piala Afrika 2004, ia sudah menarik perhatian ketika mencetak gol penentu kemenangan Tunisia saat membekuk Rwanda 2-1 dalam pertandingan perdana, 24 Januari silam. Tengok pula gerakan lincah dan gocekan mautnya ketika Tunisia menggasak Kongo 3-0 di pertandingan berikutnya. Dua golnya menggasak gawang yang dijaga Papy-Shumu Lukata itu.
Tak dapat dimungkiri, Dos Santos juga punya andil besar ketika Tunisia menyingkirkan Nigeria di semifinal. Gagal menjaringkan gol di waktu normal, Dos Santos menebusnya lewat tendangan cantik di babak adu penalti. Lewat aksinya yang menawan, Dos Santos membuktikan diri pantas membela tim Samba.
Dalam gemerlap Piala Afrika 2004, Dos Santos tak bersinar sendirian. Ada bintang muda yang mengundang perhatian karena kiprahnya yang istimewa. Dialah penyerang Maroko, Youssef Hadji, 24 tahun. Pemain yang merumput di Liga Prancis bersama klub Bastia itu tampil gemilang ketika juara 1976 Maroko membungkam tim penuh harapan Mali 4-0 di semifinal. Sama dengan Dos Santos, adik mantan bintang Maroko Mustapha Hadji itu sudah mengemas tiga gol, termasuk satu gol ke gawang Mali.
Youssef menampilkan aksi menawan ketika Maroko mengalahkan Nigeria 1-0 dalam pertandingan penyisihan grup. Masuk sebagai pemain pengganti, ia tak menyia-nyiakan peluang emas yang diberikan pelatih Badou Ezaki. Ia memperlihatkan kematangan teknik. Berdiri membelakangi gawang, ia menerima umpan panjang yang akurat dari Abdelkrim Kissi. Dengan gerakan cepat ia memutar badannya sembari melepaskan tendangan keras ke arah gawang. Pst...! Kiper Nigeria, Vincent Enyeama, tak berkutik dibuatnya.
Youssef adalah bagian dari pasukan muda "Singa Atlas" yang disiapkan pelatih Ezaki. Anggota askar elang muda ini tampak gesit, lincah, dan haus gol. Pemain-pemain muda Maroko memang menjanjikan. Youssef, misalnya, memiliki modal yang dibutuhkan tim masa depan Maroko: muda, cepat, dan berdaya gempur tinggi. Ia dinilai punya kelebihan dibandingkan dengan sang kakak, Mustapha Hadji, yang tampil menjadi bintang di Piala Dunia 1994 di Amerika Serikat dan 1998 di Prancis.
Dengan modal itu, Youssef punya peluang menjadi bintang seperti sang abang. Posturnya jangkung, 183 sentimeter, dan teknik olah bolanya matang. Tak aneh bila ia sangat ditakuti barisan belakang Nigeria, favorit kejuaraan tahun ini, yang sudah merasakan ketajaman tendangan mautnya.
Dos Santos dan Youssef, yang bertemu di partai final Sabtu pekan silam, adalah pemain generasi baru dari Benua Hitam. Selain mereka, masih ada beberapa pemain yang aksinya juga menonjol, seperti striker Nigeria John Utaka, yang merumput di klub Lens (Prancis), penyerang Tottenham Hotspur (Inggris) Frederic Kanoute (Mali), dan Youssef Mokhtari (Maroko), yang bermain di Brughauzehn (Jerman). Aksi mereka telah membius jutaan penggemar sepak bola, tak hanya di Afrika, tapi juga di benua lain. Mereka telah menenggelamkan nama-nama besar yang mengorbit dalam kejuaraan sebelumnya di Mali dua tahun silam, seperti El Hadji Diouf (Senegal/Liverpool), Lomana Lua-Lua (Kongo/Newcastle), Lauren (Kamerun/Arsenal), atau Joseph Yobo (Nigeria/Everton). Mereka sudah merasakan nikmatnya bermain di klub-klub besar Liga Inggris.
Bintang-bintang baru telah lahir. Seperti para pendahulunya, setelah ini, mereka bakal menjadi rebutan klub-klub besar Eropa. Gemerencing uang pun mulai terdengar, meski masih sayup-sayup. Cring, cring....
Sapto Yunus
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo