Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Pro-Kontra 'Presiden Muhammadiyah'

Pengurus Pusat Muhammadiyah mengumumkan dukungan terhadap pencalonan Amien Rais sebagai presiden. Bergoyangnya "payung spiritualitas".

22 Februari 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA yang mudah diprediksi pekan lalu: keputusan Mahkamah Agung mengabulkan kasasi Akbar Tandjung. Tapi adapula yang sebelumnya sulit diprediksi: dukungan Muhammadiyah atas pencalonan Amien Rais sebagai presiden pada pemilu tahun ini. Keputusan dukungan itu diumumkan seusai sidang pleno yang diperluas Pengurus Pusat Muhammadiyah di Yogyakarta—kota domisili Amien sebelum ia terjun ke gelanggang politik nasional di pusat kekuasaan. Tiga hal layak dipertanyakan di sini: apakah Muhammadiyah sudah terjun ke politik praktis, apakah dukungan itu signifikan bagi perolehan suara Amien Rais meraih kursi presiden, dan apa dampaknya bagi pembelajaran politik di Tanah Air. Muhammadiyah, kita tahu, dengan sejarah panjang dan klaim memiliki sekitar 20 juta anggota, seyogianyalah bukan perkumpulan sembarangan yang memutuskan sesuatu tanpa berpikir luas dan dalam. Ketua Pengurus Pusat Muhammadiyah, Ahmad Syafi'i Ma'arif, tetap menepis dugaan Muhammadiyah telah berpolitik praktis. Memilih dan mengajukan calon presiden memang merupakan hak politik setiap warga negara dan organisasi nonpemerintah di negeri ini. Tapi langkah itu tetap layak dipertanyakan bila menyangkut kepentingan yang lebih besar dan luas, yakni sebuah agenda nasional dengan implikasi yang berakibat kompleks dan panjang. Sebagai organisasi sosial yang patut dijadikan rujukan moral, Muhammadiyah sesungguhnya sudah mengambil langkah terpuji ketika, dalam Sidang Tanwir 2002 di Denpasar dan 2003 di Makassar, menetapkan kriteria calon presiden. Kriteria itu meliputi "reformis, bersih dari KKN, mampu menyelenggarakan pemerintahan yang baik, memiliki visi kebangsaan luas, tegas dan berwibawa dalam pergaulan internasional, serta mampu meningkatkan kesejahteraan rakyat dan memajukan kehidupan bangsa". Dengan sedikit saja mempercayai kearifan massa, sudah jelas belaka siapa yang dirujuk kriteria Muhammadiyah ini. Pencalonan dengan langsung menyebut nama justru seolah mengabaikan kearifan itu dan mempersulit penafikan bahwa organisasi yang selama ini dikenal dengan berbagai amal sosialnya itu sudah masuk ke politik praktis. Mungkin juga dukungan ini dirangsang sistem pemilihan langsung yang akan diberlakukan dalam Pemilu 2004. Tapi, kita tahu, massa Muhammadiyah tersebar di berbagai partai politik, dan tiap partai punya calon masing-masing. Pada Pemilu 1999, misalnya, Partai Amanat Nasional, yang banyak dihuni orang Muhammadiyah, hanya memperoleh sekitar 7,5 juta suara. Menyusul pengumuman dukungan itu, pro-kontra segera terdengar justru di kalangan Muhammadiyah sendiri. Kenyataan ini tak bisa ditanggapi enteng. Seorang tenaga pengajar di Universitas Muhammadiyah Surakarta, misalnya, mengaku akan melayangkan surat protes resmi. Tokoh Muhammadiyah yang lain, yang kebetulan bernaung di kubu Partai Golkar, khawatir Muhammadiyah kelak harus bertanggung jawab bila tokoh yang didukungnya ternyata gagal. Dari luar Muhammadiyah tak kurang pula nada prihatin. Adalah logis belaka jika warga Muhammadiyah mendukung kader terbaiknya. Tapi, merujuk pada kenyataan bahwa warga Muhammadiyah pada saat ini menyebar di berbagai partai politik, keputusan dukungan tersebut bisa membuat mereka tidak lagi merasakan Muhammadiyah sebagai "payung spiritualitas"—sebagaimana dirasakan selama ini. Jika terpulang kepada kemaslahatan umat, dengan mengutamakan proses pembelajaran politik yang jernih dan arif, banyak hal memang bisa diperdebatkan. Tapi, dengan tetap menghormati hak politik setiap warga negara dan komunitas, tentu tidak tertutup ruang untuk mencermati sebuah keputusan penting dengan merujukkannya pada kepentingan yang lebih luas dan berjangka panjang.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus