Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Mahkamah Agung telah mengabulkan kasasi Akbar Tandjung, dan Ketua Umum Partai Golkar ini pun dinyatakan bebas. Sebuah keputusan yang telah menuai badai kontroversi, yang gegap-gempitanya tak hanya terbatas pada perdebatan antara jaksa dan tim pembela, tapi melebar ke luar gedung pengadilan, ke berbagai ruang pembicaraan di seluruh penjuru negeri. Semua pihak mengajukan argumen masing-masing dengan penuh semangat. Orang bilang rambut boleh sama hitam, tetapi pendapat beragam-ragam.
Keragaman yang perbedaannya ternyata kadang kala sangat tajam, yang bahkan mampu mengoyak kekompakan majelis kasasi. Setidaknya Hakim Agung Abdul Rahman Saleh secara terbuka telah menyampaikan pandangannya yang berseberangan dengan keputusan majelis yang dipimpin Paulus Effendie Lotulung itu. Hakim Agung Muchsin juga dikabarkan tak sepakat dengan keputusan yang diambil, namun memilih tak membacakan alasan pembangkangannya. Toga boleh sama hitam, tetapi pertimbangan rupanya tak harus seragam.
Yang telah terbukti seragam adalah pandangan tiga anggota majelis lain yang—entah kebetulan atau tidak—semuanya berasal dari jalur karier. Mereka tampaknya mewakili pemikiran hukum yang konvensional, yang elitis, lebih bersandar pada soal teknis hukum dan cenderung mengisolasi diri dari pertimbangan orang ramai. Sebuah pilihan teknokratis yang mudah dipertahankan dengan menggunakan dalil-dalil, karena itu dianggap jalan aman yang populer di kalangan birokrat.
Sementara itu, dua hakim agung yang lain, yang datang dari luar jalur karier, memandang hukum dengan visi yang lebih luas. Mereka merasa hakim bukanlah sekadar seorang tukang yang dilatih semata-mata untuk menyesuaikan berkas perkara dengan kata-kata yang terdapat pada pasal-pasal di dalam kitab hukum. Seorang hakim yang bijak adalah yang mampu memahami semangat yang melandasi lahirnya setiap undang-undang, karena itu berani memberikan interpretasi terhadap setiap pasal agar tetap sesuai dengan perkembangan rasa keadilan di masyarakat. Bahkan, jika perlu, melakukan terobosan baru. Sebuah sikap progresif yang melihat dalil-dalil hukum dalam konteksnya, karena itu kerap memicu lahirnya yurisprudensi baru. Suatu fenomena yang dikenal sebagai judicial activism.
Judicial activism biasanya muncul sebagai solusi di masa transisi, ketika produk undang-undang yang ada—yang dibuat sebelum terjadi pergeseran paradigma di masyarakat—berbenturan dengan nilai-nilai baru yang ingin dibangun. Sebab, sebuah produk hukum pada intinya adalah kesepakatan politik yang dibekukan. Karena itu, bila terjadi perubahan mendasar dalam pandangan politik sebuah bangsa, produk hukum masa lalunya pun perlu dicairkan agar dapat dibekukan kembali dalam format yang lebih sesuai.
Bila tidak dilakukan, tragedi pasti akan dilahirkan. Hampir 2.500 tahun yang lalu hal ini terjadi di Yunani. Socrates, seorang filsuf yang mengembangkan pemikiran baru yang terkesan mengolok-olok pandangan yang sedang berlaku, diadili dan dihukum mati. Para sahabatnya membujuk lelaki bersahaja ini agar melawan hukuman yang dianggap tak adil itu dengan melarikan diri dari Athena. Namun Socrates menolak. Ia memilih tetap menjalani hukumannya, meminum racun hemlock, karena menganggap keputusan pengadilan harus ditaati betapapun ia berkeyakinan vonis tersebut diambil berdasarkan pertimbangan yang keliru.
Tragedi Socrates ini, dalam kadar yang lebih ringan namun tetap terasa amat menjengkelkan, sedang mewabah di antara para aktivis pro-demokrasi di Indonesia. Keputusan Mahkamah Agung membebaskan Akbar Tandjung menjadi sumber utama penyebaran virus kekesalan tersebut. Kedongkolan yang muncul dari perasaan terjepit antara hasrat menghormati keputusan hukum dan gairah semangat reformasi dalam mengikis korupsi, kolusi, dan nepotisme di negeri ini.
Semangat reformasi dan produk hukum yang ada saat ini memang cukup jauh berseberangan. Maklum, umumnya dibuat di masa penjajahan Belanda dan di era represif Orde Baru. Itu sebabnya sukses-tidaknya gerakan reformasi di negeri ini amat bergantung pada dua hal strategis: kecepatan para wakil rakyat dalam menyusun undang-undang baru yang bermutu untuk mengganti yang lama, dan keberanian para hakim untuk melakukan judicial activism selama masih menggunakan produk hukum warisan era non-demokratis.
Sayangnya, bila prestasi para wakil rakyat belakangan ini dijadikan tolok ukur, jelaslah sudah bahwa dibutuhkan waktu yang cukup lama untuk mengganti berbagai produk hukum masa lalu dengan yang baru. Itu sebabnya suntikan keberanian melakukan judicial activism harus segera dilakukan kepada para hakim. Jika kebanyakan hakim karier yang ada tak punya cukup nyali untuk melakukannya, kita tak punya pilihan lain kecuali memperbanyak hakim-hakim non-karier—yang tak hanya berkompetensi teknis tinggi tapi juga bernyali besar—di semua lini.
Ini serius. Bila semua hal di atas tidak dilakukan, akan semakin banyak keputusan pengadilan yang bernuansa "Akbar tiada akhir" dan menyebabkan bangsa ini mengalami "derita tiada akhir".
Kita tentu berharap hal ini janganlah sampai terjadi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo