Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Dengan Korvet Kita Jaya...

Rencana TNI-AL membeli empat korvet Belanda tampaknya akan mulus. Belanda sendiri memang sedang butuh duit.

22 Februari 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEKUKUH karang di tengah terjangan gelombang, TNI Angkatan Laut bergeming melanjutkan rencana pembelian empat korvet Belanda. Bahkan saran Menteri Koordinator Perekonomian Dorodjatun Kuncoro-Jakti sebulan lalu agar instansi ini meninjau kembali rencana tersebut ditanggapi dengan ucapan yang terkesan tajam.

"Kalau Menko Perekonomian minta itu ditinjau, ya, dia yang tinjau," kata Kepala Staf TNI-AL Laksamana Bernard Kent Sondakh ketika itu. Sondakh lalu menegaskan, rencana tersebut tidak akan ditinjaunya kembali. Pertama, karena kontrak dengan galangan kapal Belanda, Royal Schelde, sudah diteken. Kedua, kapal-kapal jenis ini sangat dibutuhkan TNI-AL. Bahkan, menurut Sondakh, penambahan ini sebenarnya belum signifikan dengan kebutuhan nyata tentara laut Indonesia itu.

Rencana pembelian empat korvet tersebut mungkin akan tanpa ribut-ribut kalau saja media Belanda berdiam diri. Setelah diungkap oleh program aktualitas televisi Nova, isu itu ditindaklanjuti ANP, Akhir November 2003. Menurut kantor berita Belanda itu, pembelian kapal-kapal bernilai total US$ 1 miliar ini sebenarnya disugesti oleh pihak Angkatan Laut Kerajaan Belanda. Segera setelah kunjungan KSAL Sondakh ke sana saat pameran Delfzijl 2003, Juli 2003, KSAL Kerajaan Belanda, Admiral Klaver, menawarkan beberapa korvet dengan persyaratan ringan. Puncaknya, dalam surat 11 September 2003, Klaver "dengan tulus hati" menyarankan dan menawarkan dukungan antusias AL Belanda kepada TNI-AL untuk pembeliannya. Setelah negosiasi berkali-kali, belakangan nilai tawaran untuk keempat korvet itu bahkan berkurang hingga tinggal US$ 668 juta.

Surat itulah yang menuai kritik di parlemen Negeri Kincir Angin. Krista van Velzen dari Partai Sosialis menilai transaksi tersebut tidak tepat. Ia khawatir sarana angkutan laut itu akan dipakai TNI-AL untuk memberangus Gerakan Aceh Merdeka—yang menurut dia saat ini saja sudah banyak memakan korban kalangan sipil. Velzen juga mempertanyakan campur tangan Admiral Klaver dalam tawar-menawarnya.

Namun serangan tersebut dipatahkan kubu pemerintah. Menurut Hans van Baalen dari Partai Rakyat untuk Kebebasan dan Demokrasi, kapal-kapal jenis itu tidak cocok untuk operasi yang dikhawatirkan Velzen. Lagi pula Indonesia belum masuk daftar hitam negara-negara Uni Eropa, sehingga jual-belinya sah-sah saja. Keputusan dan campur tangan langsung Klaver juga dianggapnya normal.

Di Indonesia sendiri, rencana Sondakh sempat diributkan. Pasalnya, sebagai pengguna, pihak TNI-AL langsung memotong jalur. Berbeda dengan cara pembelian alat-alat dan sistem persenjataan sebelumnya, mereka langsung berhubungan dengan produsen, Royal Schelde. Tanpa gembar-gembor, bulan lalu KSAL menandatangani kontrak pembelian untuk dua korvet di Markas Besar TNI, Cilangkap, Jakarta. Menurut Sondakh, untuk dua kapal sisa, pihaknya menunggu persetujuan pemerintah. "Kalau negara ada duit, ya, dilaksanakan," kata dia.

Di luaran boleh ribut-ribut, tapi di Senayan para wakil rakyat menyambut baik gebrakan Sondakh. Menurut anggota komisi anggaran dari Komisi Pertahanan dan Luar Negeri DPR, Djoko Susilo, cara itu justru banyak memotong biaya yang biasanya dikutip para calo. "Biaya makelar saja biasanya tidak kurang dari sepuluh persen," kata Djoko. Ia juga menyatakan, pembelian korvet sudah merupakan keharusan di tengah makin uzurnya kapal-kapal TNI-AL. "Tujuh dari delapan anggota komisi anggaran di sini setuju," ujar Djoko. Hanya satu anggota, Suparlan Kemas, yang menolaknya. "Mungkin beliau lebih setuju membeli kapal dari Cina," kata Djoko, seolah menyindir mutu buatan Negara Tembok Besar.

Maka, tampaknya, rencana pembelian kapal-kapal perang itu akan berjalan mulus. Selain di dalam negeri ada dukungan penuh dari DPR, parlemen Belanda pun sukar menampik rencana tersebut. Mengapa? Pertama, dana hasil penjualan akan sangat membantu perekonomian Belanda, yang saat ini tengah dicekik resesi. Lalu suara-suara yang menolak pun tidak akan senyaring pendukung pemerintah yang tergabung dalam koalisi tiga partai besar—Partai Kristen Demokrat, Partai Rakyat untuk Kebebasan, dan Partai Demokrat.

Korvet-korvet itu pun tampaknya akan berlayar tenang menuju perairan Nusantara. Jales veva jaya mahe....

Darmawan Sepriyossa, Istiqomatul Hayati (TNR)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus