Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Gagal 1981. tak ada harapan 1984

Kegagalan tim piala uber indonesia di jepang. jepang dianggap bernasib baik. kekalahan tim indonesia kali ini memang menyedihkan, karena sesungguhnya mereka cukup siap. (or)

6 Juni 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

HUJAN turun sesaat setelah para pemain bulutangkis putri menyeka air mata mereka di pelabuhan Halim Perdanakusuma. Ada yang mengharukan, memang: meskipun gagal membawa Piala Uber dari Jepang, tak kurang dari dua Ketua KONI, D. Suprayogi dan atot Suwagyo -- di samping Wakil Sekjen Harsuki dan serombongan wartawan -- datang menyambut mereka. "Wah, kita memang betul-betul kehilangan peluang, emas," ucap Suprayogi seperti kepada diri sendiri. Tapi ketika para pembina, Stanley Gouw dan Tan Joe Hok muncul mendahului para pemain dan mengatakan "Maaf, kami gagal," ia cuma menggeleng-geleng kepala. Kekalahan tim Indonesia kali ini memang menyedihkan, karena sesungguhnya mereka cukup siap. Tekad Indonesia untuk merebut Piala Uber sudah dirintis sejak Oktober tahun lalu. Dan pada mulanya pemandangan nampak cerah. Indonesia, dengan telah mengalahkan 9-0 Australia dan India pada babak penyisihan di Jakarta Oktober 1980. Kesempatan pemain putri untuk try out juga cukup. Mereka ikut kejuaraan Terbuka di Tokyo, di Swedia dan di Denmark. Terakhir di All England -- dengan pertanda buruk: baru di All England nyata benar Indonesia kalah siap dari Jepang, pemegang Piala Uber. "Kondisi fisik pemain putri kita di All England sudah baik, tapi belum berarti cukup untuk tingkat internasional," analisa Tan Joe Hok, yang bersama Stanley Gouw, Ferry Sonneville, Eddy Yusuf, Pujianto dan Ridwan dipercayai membina tim Piala Uber. Betapa pun, persiapan cukup matang juga setelah itu. Meski waktu sangat singkat, 6 April sampai 13 Mei, mereka sempat menyusun program terarah: fisik di pagi hari, teknik sore hari. Juga ada penemuan baru: seminggu sebelum bertolak ke Tokyo, Christian Hadinata, yang ditunjuk sebagai kapten, menemukan pasangan handal yang tak terkalahkan: Verawaty Wiharjo dan Ruth Danlayanti. JUGA di dalam hati, mereka siap. Dalam kuesioner yang mereka jawab, enam dari ketujuh pemain pilihan mengatakan sudah siap tempur. Cuma satu yang mengatakan "ragu-ragu". Pelayanan medis dan teknis selama di pelatnas oleh ketujuh pemain itu juga dinilai baik. Cuma dua yang berpendapat masih kurang pelayanan psikologis dan logistik. Ringkasnya berangkat ke Jepang 17 Mei mereka sudah bulat tekad. Dan ternyata jalan tampak mulus di babak penyisihan inter-zone di Jepang itu. Verawaty dan kawan-kawannya melahap semua pemain Malaysia, 9-0. trategi baru Indonesia, khususnya dengan ganda Verawaty Wiharjo/Ruth Damayanti dan mengejutkan tim Inggris di semi-final. Pasangan juara dunia dan All England mereka, Nora Perry/Jane Welster ditaklukkan Vera/Ruth. Indonesia menotok Inggris dengan 5-4. Harapan meluap-luap. Pelatih RRC, Hou Xia Tsang yang datang meninjau di Tokyo itu, begitu pula pelatih Inggris, yakin Indonesia "bisa mengalahkan Jepang 6-3, minimal 5-4," cerita Tan Joe Hok. Pertarungan hari pertama seolah mengiyakan angka itu. Indonesia dan Jepang berbagi angka 2-2, semuanya direbut dengan rubber-set. "Jepangnya sampai grogi," kata Soemarsono, sang manajer tim. Tapi pada hari kedua yang menentukan, segalanya ambyar: Indonesia keburu ketinggalan 2-5. Akhirnya kalah 3-6. Dengan demikian untuk ke lima kali (1966, 1969, 1972, 1978 dan 1981) Jepang memegang piala lambang supremasi bulutangkis wanita itu. Cuma sekali Indonesia merebutnya dari Jepang, di tahun I975. Hari itu pertandingan berlangsung di Jakarta. Ini menguntungkan pihak Indonesia -- apalagi Jepang sebagai negeri yang terpojok setelah peristiwa 15 Januari 1974. Bekas pemain kenamaan putri Jepang, Hiroe Yuki dalam wawancara dengan RRI Ahad lalu hendak memberi kesan, bahwa faktor tempat memegang peranan penting. "Tahun ini kemenangan kami (Jepang) karena bermain di negeri sendiri," katanya. Pelatih Jepang, Nobutaka Ikeda, juga merendah, "Hanya tekad saja yang membuat kami menang. Verawaty itu kuat sekali," katanya. Tekad Jepang itu memang nampak. Mereka tak mencoba-coba anggap sepele. Hanya empat pemain (Saori Kondo, Yoshiko Yonekura, Atsuko Tokuda dan Mikiko Takada) yang diturunkan dari delapan pemain mereka. "Enam pemain kami punya kemampuan seimbang, tapi Kondo dan Yonekura lebih berpengalaman," tutur Hiroe Yuki. Hal itu bukan tidak disadari para pembina Indonesia. Taktik yang disusun Stanley Gouw: Ivanna harus menguras pemain utama Jepang, Saori Kondo. "Kalau bisa menahannya dengan rubber-set, lebih baik lagi kalau bisa merebut poin dari dia," instruksi Gouw. Dan Ivanna sempat menahan Kondo dengan rubber set (7-11, 12-10, 3-11), sehingga partai ganda Kondo/Takada benar-benar terperas melawan Vera/ Ruth (15-11, 12-15, 3-15). Tapi istirahat sehari tampaknya cukup memulihkan kesegaran Kondo untuk menaklukkan Verawaty langsung 11-6, 11-8. Verawaty hari itu tampaknya terlalu tegang. Baru pada set kedua ia ingat nasihat Tan Joe Hok di pelatnas. "Ulur waktu sebelum serve. Biar lawan jadi tegang menunggu." Toh karena keuletannya, Kondo bisa mengejar ketinggalan angka. Dan menang. Kegagalan Vera benar-benar lebih membakar lagi tekad Jepang. Tokuda mengalahkan Taty Sumirah. Harapan Indonesia untuk bisa menang 5-4 juga di-smash. Partai terakhir Imelda/Tuty tidak diperhitungkan akan mengalahkan Kondo/Takada. Dan ternyata kekalahan Indonesia di percepat oleh gagalnya Ivanna mengulang kemenangannya atas Yonekura di All England dua bulan lalu. Dalam pertandingan yang menegangkan itu, ia sudah menang di set pertama dan memimpin set kedua sampai angka mati 7. Tapi hasilnya .... "Saya merasa set kedua mestinya habis. Saya sudah berusaha sekuat mungkin," tapi toh kalah," kata gadis manis itu tersenyum meski matanya masih bengkak di Halim. Kenapa? Ivanna menjelaskan kelebihan lawannya: "Ulet. Mereka ulet." Christian menambahkan stamina pemain Jepang baik sekali dan perlawanan balasan mereka bagus. "Pemain kita perlu tiga kali smash untuk mematikan mereka, sedang mereka cukup sekali balas," katanya memberi contoh. Manajer Soemarsono berteori: faktor nasib baik mungkin juga ada di pihak Jepang. "Kalau dilihat dari hasil undian saja, faktor itu ada. Indonesia tiga kali main, sedang Jepang cuma dua kali. Sementara kita bertanding, Jepang istirahat dan bisa mengintip permainan kita," katanya. Bagaimanapun toh Soemarsono mengatakan, "Tak ada excuse mengapa kita kalah. Kalau sudah kalah, ya kalah." Dan betapa beratnya. Sebab meski kans masih ada untuk tim putri Indonesia menghadapi World Games di Santa Clara (AS), Juli mendatang, harapan untuk merebut Piala Uber taun 1984 akan lebih redup. Korea Selatan dan RRC sudah akan jadi saingan baru setelah badan dunia bulutangkis yang menjadi wadahnya (WBF) bersatu kembali dengan IBF (Federasi Bulutangkis Internasional) pekan lalu juga di Tokyo . Verawaty juga melihat hal itu. Pemain yang enam kali diturunkan dan cuma sekali kalah itu berkata, "Memang akan lebih berat di Uber Cup berikut." Tapi tanda kemenangannya juga memang tinggi: "Jika berhasil, kita betul-betul full juara dunia," katanya. Siap kah Vera? Untuk ikut kejuaraan di World Games mendatang ia masih sanggup. Tan Joe Hok pun yakin Vera akan menjadi juara dunia jika Vera hanya main single. Namun Vera, yang sudah dua tahun jadi Nyonya Fadjrin, tak yakin apakah masih mampu ikut turnamen Uber Cup 1984. Imelda Wigoeno, Taty Sumirah dan Theresia Widiastuti bahkan mengakui "tak mungkin lagi diturunkan tiga tahun mendatang." Umur mereka sudah akan menghambat. Sementara itu, sedihnya, menurut Christian Hadinata, stok pemain putri cuma "itu-itu juga". Mungkin karena itu tim manajer, Soemarsono, yang juga Ketua Bidang Pembinaan PB PBSI, ingjn memulai sesuatu yang baru. Rencananya: "Kita harus mencari pemain putri yang kekar-kekar sekarang." Sekarang -- sebelum tiga tahun lagi yang tak lama.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus