HUJAN turun sesaat setelah para pemain bulutangkis putri menyeka
air mata mereka di pelabuhan Halim Perdanakusuma. Ada yang
mengharukan, memang: meskipun gagal membawa Piala Uber dari
Jepang, tak kurang dari dua Ketua KONI, D. Suprayogi dan atot
Suwagyo -- di samping Wakil Sekjen Harsuki dan serombongan
wartawan -- datang menyambut mereka.
"Wah, kita memang betul-betul kehilangan peluang, emas," ucap
Suprayogi seperti kepada diri sendiri. Tapi ketika para
pembina, Stanley Gouw dan Tan Joe Hok muncul mendahului para
pemain dan mengatakan "Maaf, kami gagal," ia cuma
menggeleng-geleng kepala.
Kekalahan tim Indonesia kali ini memang menyedihkan, karena
sesungguhnya mereka cukup siap. Tekad Indonesia untuk merebut
Piala Uber sudah dirintis sejak Oktober tahun lalu.
Dan pada mulanya pemandangan nampak cerah. Indonesia, dengan
telah mengalahkan 9-0 Australia dan India pada babak penyisihan
di Jakarta Oktober 1980. Kesempatan pemain putri untuk try out
juga cukup. Mereka ikut kejuaraan Terbuka di Tokyo, di Swedia
dan di Denmark. Terakhir di All England -- dengan pertanda
buruk: baru di All England nyata benar Indonesia kalah siap dari
Jepang, pemegang Piala Uber.
"Kondisi fisik pemain putri kita di All England sudah baik, tapi
belum berarti cukup untuk tingkat internasional," analisa Tan
Joe Hok, yang bersama Stanley Gouw, Ferry Sonneville, Eddy
Yusuf, Pujianto dan Ridwan dipercayai membina tim Piala Uber.
Betapa pun, persiapan cukup matang juga setelah itu. Meski waktu
sangat singkat, 6 April sampai 13 Mei, mereka sempat menyusun
program terarah: fisik di pagi hari, teknik sore hari. Juga ada
penemuan baru: seminggu sebelum bertolak ke Tokyo, Christian
Hadinata, yang ditunjuk sebagai kapten, menemukan pasangan
handal yang tak terkalahkan: Verawaty Wiharjo dan Ruth
Danlayanti.
JUGA di dalam hati, mereka siap. Dalam kuesioner yang mereka
jawab, enam dari ketujuh pemain pilihan mengatakan sudah siap
tempur. Cuma satu yang mengatakan "ragu-ragu". Pelayanan medis
dan teknis selama di pelatnas oleh ketujuh pemain itu juga
dinilai baik. Cuma dua yang berpendapat masih kurang pelayanan
psikologis dan logistik. Ringkasnya berangkat ke Jepang 17 Mei
mereka sudah bulat tekad.
Dan ternyata jalan tampak mulus di babak penyisihan inter-zone
di Jepang itu. Verawaty dan kawan-kawannya melahap semua pemain
Malaysia, 9-0. trategi baru Indonesia, khususnya dengan ganda
Verawaty Wiharjo/Ruth Damayanti dan mengejutkan tim Inggris di
semi-final. Pasangan juara dunia dan All England mereka, Nora
Perry/Jane Welster ditaklukkan Vera/Ruth. Indonesia menotok
Inggris dengan 5-4.
Harapan meluap-luap. Pelatih RRC, Hou Xia Tsang yang datang
meninjau di Tokyo itu, begitu pula pelatih Inggris, yakin
Indonesia "bisa mengalahkan Jepang 6-3, minimal 5-4," cerita
Tan Joe Hok.
Pertarungan hari pertama seolah mengiyakan angka itu. Indonesia
dan Jepang berbagi angka 2-2, semuanya direbut dengan
rubber-set. "Jepangnya sampai grogi," kata Soemarsono, sang
manajer tim.
Tapi pada hari kedua yang menentukan, segalanya ambyar:
Indonesia keburu ketinggalan 2-5. Akhirnya kalah 3-6.
Dengan demikian untuk ke lima kali (1966, 1969, 1972, 1978 dan
1981) Jepang memegang piala lambang supremasi bulutangkis wanita
itu. Cuma sekali Indonesia merebutnya dari Jepang, di tahun
I975. Hari itu pertandingan berlangsung di Jakarta. Ini
menguntungkan pihak Indonesia -- apalagi Jepang sebagai negeri
yang terpojok setelah peristiwa 15 Januari 1974.
Bekas pemain kenamaan putri Jepang, Hiroe Yuki dalam wawancara
dengan RRI Ahad lalu hendak memberi kesan, bahwa faktor tempat
memegang peranan penting. "Tahun ini kemenangan kami (Jepang)
karena bermain di negeri sendiri," katanya. Pelatih Jepang,
Nobutaka Ikeda, juga merendah, "Hanya tekad saja yang membuat
kami menang. Verawaty itu kuat sekali," katanya.
Tekad Jepang itu memang nampak. Mereka tak mencoba-coba anggap
sepele. Hanya empat pemain (Saori Kondo, Yoshiko Yonekura,
Atsuko Tokuda dan Mikiko Takada) yang diturunkan dari delapan
pemain mereka. "Enam pemain kami punya kemampuan seimbang, tapi
Kondo dan Yonekura lebih berpengalaman," tutur Hiroe Yuki.
Hal itu bukan tidak disadari para pembina Indonesia. Taktik yang
disusun Stanley Gouw: Ivanna harus menguras pemain utama Jepang,
Saori Kondo. "Kalau bisa menahannya dengan rubber-set, lebih
baik lagi kalau bisa merebut poin dari dia," instruksi Gouw.
Dan Ivanna sempat menahan Kondo dengan rubber set (7-11, 12-10,
3-11), sehingga partai ganda Kondo/Takada benar-benar terperas
melawan Vera/ Ruth (15-11, 12-15, 3-15). Tapi istirahat sehari
tampaknya cukup memulihkan kesegaran Kondo untuk menaklukkan
Verawaty langsung 11-6, 11-8.
Verawaty hari itu tampaknya terlalu tegang. Baru pada set kedua
ia ingat nasihat Tan Joe Hok di pelatnas. "Ulur waktu sebelum
serve. Biar lawan jadi tegang menunggu." Toh karena keuletannya,
Kondo bisa mengejar ketinggalan angka. Dan menang.
Kegagalan Vera benar-benar lebih membakar lagi tekad Jepang.
Tokuda mengalahkan Taty Sumirah. Harapan Indonesia untuk bisa
menang 5-4 juga di-smash. Partai terakhir Imelda/Tuty tidak
diperhitungkan akan mengalahkan Kondo/Takada.
Dan ternyata kekalahan Indonesia di percepat oleh gagalnya
Ivanna mengulang kemenangannya atas Yonekura di All England dua
bulan lalu. Dalam pertandingan yang menegangkan itu, ia sudah
menang di set pertama dan memimpin set kedua sampai angka mati
7. Tapi hasilnya ....
"Saya merasa set kedua mestinya habis. Saya sudah berusaha
sekuat mungkin," tapi toh kalah," kata gadis manis itu tersenyum
meski matanya masih bengkak di Halim. Kenapa? Ivanna menjelaskan
kelebihan lawannya: "Ulet. Mereka ulet." Christian menambahkan
stamina pemain Jepang baik sekali dan perlawanan balasan mereka
bagus. "Pemain kita perlu tiga kali smash untuk mematikan
mereka, sedang mereka cukup sekali balas," katanya memberi
contoh.
Manajer Soemarsono berteori: faktor nasib baik mungkin juga ada
di pihak Jepang. "Kalau dilihat dari hasil undian saja, faktor
itu ada. Indonesia tiga kali main, sedang Jepang cuma dua kali.
Sementara kita bertanding, Jepang istirahat dan bisa mengintip
permainan kita," katanya.
Bagaimanapun toh Soemarsono mengatakan, "Tak ada excuse mengapa
kita kalah. Kalau sudah kalah, ya kalah." Dan betapa beratnya.
Sebab meski kans masih ada untuk tim putri Indonesia menghadapi
World Games di Santa Clara (AS), Juli mendatang, harapan untuk
merebut Piala Uber taun 1984 akan lebih redup. Korea
Selatan dan RRC sudah akan jadi saingan baru setelah badan dunia
bulutangkis yang menjadi wadahnya (WBF) bersatu kembali dengan
IBF (Federasi Bulutangkis Internasional) pekan lalu juga di
Tokyo .
Verawaty juga melihat hal itu. Pemain yang enam kali diturunkan
dan cuma sekali kalah itu berkata, "Memang akan lebih berat di
Uber Cup berikut." Tapi tanda kemenangannya juga memang tinggi:
"Jika berhasil, kita betul-betul full juara dunia," katanya.
Siap kah Vera? Untuk ikut kejuaraan di World Games mendatang ia
masih sanggup. Tan Joe Hok pun yakin Vera akan menjadi juara
dunia jika Vera hanya main single.
Namun Vera, yang sudah dua tahun jadi Nyonya Fadjrin, tak yakin
apakah masih mampu ikut turnamen Uber Cup 1984. Imelda Wigoeno,
Taty Sumirah dan Theresia Widiastuti bahkan mengakui "tak
mungkin lagi diturunkan tiga tahun mendatang." Umur mereka sudah
akan menghambat.
Sementara itu, sedihnya, menurut Christian Hadinata, stok pemain
putri cuma "itu-itu juga". Mungkin karena itu tim manajer,
Soemarsono, yang juga Ketua Bidang Pembinaan PB PBSI, ingjn
memulai sesuatu yang baru. Rencananya: "Kita harus mencari
pemain putri yang kekar-kekar sekarang." Sekarang -- sebelum
tiga tahun lagi yang tak lama.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini