Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Jadi tentara, habis perkara

Jadi tentara bukan hanya sigap menghadapi lawan, tapi juga mampu menahan nafsu sendiri. tentara akan mengangkat martabat keluarga, menenangkan rt yang dihuni. akabri masih diperlukan walau tak ada perang.

6 Juni 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

APA kamu mau jadi insinyur? Tidak. Atau mau jadi dokter? Apaan itu dokter? Tidak. Publisistik barangkali? Apa-apaan itu? Tidak. Sebetulnya bapak kepingin kamu jadi sastrawan karena kata orang kemelut dunia hanya bisa dibereskan oleh sastrawan, bagaimana? Jangan main-main pak, orang tua yang baik itu bukanlah dia yang mau bikin anaknya kejeblos. Habis mau jadi apa? Testing Perintis sudah di ambang pintu, lho. Kamu tentu tahu peminat seperti semut padahal lubang cuma satu. Tidak mati kegencet saja sudah untung kamu. Negeri ini sudah cukup sulit, tak ada waktu buat orang cerewet. Begitulah kataku kepada sang putra yang baru lulus SMA. Atau kamu mau jadi makelar saja? Saya mau jadi tentara, pak. Kuulangi sekali lagi supaya jelas, saya kepingin jadi tentara, kepingin masuk Akabri. Apa kira-kira kamu sudah pikir-pikir dan punya alasan? tanyaku. Anakku tertawa terbahak-bahak begitu mendadak dan kerasnya sehingga kaget aku dibikinna. Apa bapak tidak pernah baca koran? Apa bapak tidak pernah nonton televisi? Apa bapak tidak punya mata dan telinga? Tak perlu lagi penjelasan, segalanya kuanggap sudah cuhup terang benderang. Jangkrik di liangnya pun sudah mafhum apa itu maksud dan manfaat masuk Akabri. Saya hanya minta bapak sediakan ongkos yang diperlukan. Itu saja tugas bapak, tidak lebih dan tidak kurang. Begini, anakku sayang. Potonganmu memang amatlah memadai sehingga terus terang bapak sendiri suka menggigil duduk di sampingmu. Pikiranmu sungguh cerah, perasaan halus, mudah terharu, suatu sifat yang diperlukan oleh seorang prajurit yang baik. Bapak dengar, tentara itu bukan sekedar mesti sigap menghadapi lawan, tapi sekaligus juga harus pandai melawan nafsu buruk yang muncul dari dalam dirinya. Apa betul begitu entahlah, tapi kaidah itu tampaknya tidak bermaksud jelek apalagi memancing keresahan. Kupakai istilah "keresahan" ini bukan karena apa, soalnya kusenang karena sedap kedengarannya. Baiklah, pak. Bapak sudah setuju, bukan? Memang mesti begitu, tidak ada pilihan lain. Dan keuntungan saya jika jadi tentara bagai pelangi yang tiap warnanya memperindah langit. Misalnya, tanyaku. Misalnya martabat keluarga kita akan terangkat. Dan bukan saja keluarga, melainkan segenap warga RT pun akan ikut kebagian. Bayangkan, pak. Ada perbedaan jauh antara RT yang tidak ada penghuni tentaranya dengan RT yang ada penghuni tentaranya. Apa soal-soal sederhana seperti ini tidak jelas? Lurah akan menenggang, bahkan maling pun akan berpikir dua tiga kali sebelum mengambah kaki. Sekarang begini, nak. Apa kamu pernah dengar nama Sun Tzu? Siapa itu Sun Tzu? Tukang roti panggang? Tidak ada urusan. Bukan, sama sekali bukan, makan roti pun barangkali dia tidak. Jika bapakmu orang bodoh ini tidak keliru, Sun Tzu itu empunya teori perang yang Clausewitz pun bagaikan kutu belaka. Orang kuno sih orang kuno, maklum di sekitar 551 sebelum Masehi, tapi perkara ilmu strategi, manuvre, pengetahuan medan, main intel-intelan, cara menyerang, logistik, kesemuanya itu dasarnya berangkat dari pikirannya. Apa kamu tidak merasa perlu pelajari dulu Sun Tzu ini sebelum masuk akademi tentara? Bapak ini ada-ada saja. Museum barangkali perlu, tapi kemiliteran praktis tidak. Apa bapak kira tentara itu hanya untuk urusan perang? Tanpa ada perang pun tentara itu diperlukan. Ada musuh atau tidak ada musuh tidaklah jadi masalah benar. Bukankah sekarang ini yang diperlukan adalah damai dan waspada? Jalan pikiran bapak tampaknya mesti disetel kembali karena ada yang kendur di sana-sini. Jangan-jangan ada sekrup yang salah pasang, ini maaf-maaf saja, pak. Tentara mutakhir memerlukan ilmu mutakhir. Kalau saya mesti terangkan sekecil-kecilnya, pastilah akan membikin kepala bapak pening. Habis baiknya bagaimana? Cukup bapak restui saya, kemudian sediakan ongkos yang tidak seberapa, sekali-sekali jenguk saya ke asrama agar supaya bapak bisa terlongo-longo, atau tunggu saya pulang cuti menurut tata aturan yang berlaku. Seorang putra dari akademi militer pulang menengok bapaknya -- percayalah -- sama halnya dengan seekor rusa masuk kampung sehingga akan mendatangkan sedikit kegemparan yang membawa keasyikan tersendiri. Ini sungguh.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus