Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Kalah di dalam dan di luar setelah banjir gol

Kekalahan pssi utama di kejuaraan pra piala dunia grup i asia-oceania. pelatih harry tjong disebut-sebut sebagai biang keladi kegagalan. komentar beberapa tokoh sepak bola mengenai kekalahan. (or)

6 Juni 1981 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SUASANA di Suva Courtessy Inn, kubu tim PSSI Utama selama empat hari di Fiji, Minggu pagi lalu tampak agak "tegang". Kapten Zulham Effendy, dikenal dekat dengan wartawan, kali ini tak banyak bicara. Apa pasal? Diam-diam Zulham ternyata telah menyiapkan pola permainan "baru" bagi timnya. Itu terlihat jelas waktu mereka menggulirkan bola ke daerah pertahanan kesebelasan Fiji. Tak ada lagi tombak kembar dari sistem 4-4-2 sebagaimana diinstruksikan pelatih Harry Tjong dalam tiga pertandingan Pra Piala Dunia Grup I Asia-Oceania 1981 terdahulu. Yang mereka mainkan kali ini adalah pola 4-3-3. "Saya yang minta teman-teman untuk mengubah formasi," kata Zulham seusai pertandingan. "Mereka setuju." Perubahan pola itu, menurut Zulham, untuk meningkatkan daya dobrak tim. "Bukankah. dengan formasi 4-4-2 yang selama ini dilakukan kita belum pernah mencetak gol?" sela Rully Nere. Tjong tetap tak dapat menerima perubahan itu. Di kamar pakaian, waktu jedah, ia mengecam keras anak asuhannya yang telah melanggar instruksinya. Antara lain dikritiknya Rully jadi pemain sayap, hanya karena itu bukanlah tipenya. Waktu dinasihati, para pemain mengangguk tanda mengerti. Tapi di lapangan mereka kembali menggunakan sistem 4-3-3. "Mereka telah mulai membangkang," kata Tjong kepada wartawan Merdeka Zuchry Hussein. Pertandingan PSSI Utama melawan Fiji berakhir tanpa gol. Tapi itu merupakan prestasi "terbaik" tim Indonesia dari empat pertandingannya. "Kalau ada Ronny (Pattinasarany), kita pasti menang," kata manajer tim Syarnubi Said. "Lawan begitu jelek. Tapi pemain kita tak mampu memanfaatkannya." Ronny bersama Bambang Nurdiansyah terkena kartu merah waktu melawan Selandia Baru di Auckland, sehingga tidak diperkenankan memperkuat tim untuk dua kali pertandingan lanjutan. Dalam tiga penampilannya terdahulu -- melawan Selandia Baru (0-2) di Jakarta (11 Mei) dan di Auckland (0-5, 23 Mei), dan dengan Australia (0-2) di Melbourne (20 Mei) -- PSSI Utama tak berdaya sama sekali. Kalah terus. "Semua itu kesalahan Tjong. Ia terlalu ngotot pada suatu pola tanpa memperhatikan faktor pemainnya," komentar bekas pelatih nasional drg. Endang Witarsa. Tjong tak lari dari tanggungjawab. Ia akan meletakkan jabatan sebagai pelatih kepala tim nasional. "Banyak pelatih lain yang lebih baik dari saya," ujar Tjong. Ia menangani PSSI Utama bersama Sugih Hendarto dan Sartono sejak Juni 1980. Kegagalan beruntun ini mungkin membuat pengurus PSSI makin berpengalaman membina tim nasional. "Berbagai pola telah kita terapkan. Juga pelatnas jangka panjang maupun pendek. Toh masih gagal terus," kata bekas Ketua Umum PSSI Maladi. "Sekarang tampaknya kita harus kembali pada kepribadian lama: main cepat dan operan pendek. Itulah ciri khas kita selama ini." Tim PSSI Utama yang tampil di Seoul memang agak berbeda dengan yang ke Pra Piala Dunia Grup I Asia Oceania. Waktu terjun di Seoul, tim itu masih diperkuat oleh Stephanus Sirey, dan Rully belum pula cedera. Sekarang dipasang Wahyu Tanoto, Kasyadi, Badiaraja Manurung -- semuanya belum berpengalaman internasional. "Kalau klub memberi saya materi yang baik, hasilnya tidak akan separah sekarang," kau Tjong. Untuk memperkuat PSSI Utama, Tjong antara lain mengincar Hadi Ismanto, Syamsul Arifin, Dullah Rahim, Abdi Tunggal -- semuanya pemain depan. Tapi tak seorang pun yang memenuhi panggilan. Alasan mereka mulai dari soal keluarga sampai masalah cedera. "Mungkin kepengurusan sekarang sedang apes," kata Ketua Presidium PSSI Soeparjo Pontjowinoto. Merosotnya mutu tim nasional sekarang -- menurut tokoh PSSI lainnya, Kosasih Purwanegara SH -- disebabkan terlalu banyak tangan yang mencampuri pembentukan tim. Antara lain disebutnya lembaga sadan Tim Nasional yang punya sepuluh anggota dan semuanya menentukan. "Di zaman Maladi (Ketua Umum PSSI periode 1950-59) semua keputusan dalam pemilihan pemain diserahkan kepada pelatih," katanya. Tuduhan itu dibantah Soeparjo. "Kami tidak pernah membatasi hak seorang pelatih," katanya kepada Najib Salim dari TEMPO."Kepada Tjong bahkan kebebasan itu tidak hanya kami berikan 100%, tapi 1.000%." Tjong cuma tersenyum sinis mendengarnya. Tapi benarkah begitu? "No comment, " jawabnya. Di PSSI Utama saat ini, menurut "bekas" kapten Ronny Pattinasarany, banyak pemain yang tak layak tim nasional. Ia menolak membeberkan nama mereka. Tapi inilah komentar Ketua Jaka Utama Ir. Marzuli Warganegara: "Di tempat kami Bambang Sunarto itu cuma cadangan. Dibanding Sucipto kemampuannya sebagai penyerang tak ada apa-apanya." Sucipto menurut Marzuli, adalah penyerang yang cocok untuk pola 4-4-2 dari Tjong. Bambang Sunarto mendapat tempat di PSSI Utama diduga lantaran ia pernah dilatih di Brazil selama enam bulan di tahun 1979 -- proyek PSSI Binatama yang menelan biaya Rp 200 juta, sumbangan Rujito dari Yayasan Tunas Raga. Tak terpilihnya Sucipto, kata Marzuli, disebabkan tim pemandu bakat PSSI kurang jeli melihat pemain. "Kini terlalu gampang orang menjadi pemain nasional," kata Junaedi Abdillah, pemain nasional yang memperkuat tim Pra- Olympiade 1976. "Dulu saya merangkak bertahun-tahun." Banyak pemain yang mendapat kostum PSSI dinilainya belum menguasai dasar teknik persepakbolaan. "Dengan materi macam itu, seribu (Luis Cesar) Menotti pun tak akan berhasil. Apalagi Tjong," sela pelatih Tunas Inti Sinyo Aliandu. Menotti adalah pelatih tim nasional Argentina dalam memboyong Piala Dunia 1978 dan Piala Coca Cola untuk turnamen junior di Tokyo, 1979. Kelemahan PSSI Utama tampak sudah tumpang tindih. Selain materi pemain jelek, waktu untuk mempersiapkan tim juga terbatas. Badiaraja Manurung dari Mercu Buana, misalnya, baru masuk pelatnas seminggu sebelum pertandingan melawan Selandia Baru di Jakarta. Pemanggilan mendadak seperti itu membuat pemain tersebut sukar berkomunikasi di lapangan. "Bagaimana mungkin menjalin kerjasama tim," lanjut Junaedi. "Yengertian itu hanya mungkin tumbuh jika dibina lama." la menyarankan paling sedikit dibutuhkan waktu tiga bulan di pelatnas jika menghadapi suatu turnamen. KEKALAHAN beruntun PSSI Utama telah membuat Ramang, macan bola tahun 50-an dari Ujungpandang, tak habis pikir. "Pelatih sudah ditatar, jaminan pemain baik, tapi kenapa tak maju-maju juga," katanya. "Padahal di zaman kami dulu, apa. Tak ada fasilitas. Bahkan masih diwajibkan memberi iuran untuk klub." Ramang seperti juga Suwardi Arland tidak mempersoalkan pola yang dipakai. "Pola itu hanya dipakai sebagai dasar bertolak waktu memulai pertandingan," sela Suwardi, rekan seangkatan Ramang. "Selebihnya ditentukan oleh otak dan karakter pemain itu sendiri." Di tahun 50-an. Suwardi harus mengikuti jenjang yang panjang untuk menjadi pemain top. Di klub saja waktu itu, katanya, seseorang harus menempuh tujuh kelas. "Dulu kami tidak gampang menjadi pemain bond. Apalagi namanya pemain nasional." Di masa kejayaan tim nasional, 25 tahun lalu, memang hampir semua pemain punya karakter, juga gaya sendiri. Tiap daerah berbeda "Dengan melihat gaya permainannya saja sudah tahu dari mana pemain itu berasal," kenang manajer tim Indonesia Muda, Dimas Wahab. "Sekarang itu sudah tak ada lagi." Pelatih asal Belanda, Wiel Coerver, yang menangani PSSI lima tahun silam membangkitkan rasa "keakuan" pemain, tapi ia menyeragamkan pola latihan yang disebarkan oleh anak didiknya baik di amatir maupun di Galatama. Tjong adalah salah seorang di antara mereka. Bekas pemain nasional Ramli Yatim dari Medan mengatakan disiplin latihan sekarang sudah tak sekeras dulu. "Dulu setengah jam sebelum latihan pemain sudah ada di lapangan." Dulu dipakai, menurut Ramli, sistem 4-2-4 untuk menyerang dan 4-3-3 dalam bertahan. Untuk menerapkan pola itu selain dibutuhkan kekompakan juga dituntut kecerdasan pemain. Tapi, "sudah tiga tahun belakangan ini saya tak melihat pemain nasional yang berinteligensi tinggi," sela pelatih PSMS Yuswardi. Maksudnya ialah yang mampu mengembangkan sistem di lapangan sebagaimana diinginkan pelatih." Di Medan, cerita Yuswardi, pemain yang kurang inteligensi ini dijuluki pemain "adidas", punya IQ (Inteligence Quotien) rendah. Iswadi, kini menjadi pelatih PSSI Pratama, dalam hal ini berkata, "Ramang itu dulu pendidikannya rendah. Tapi IQ-nya sebagai pemain bola tinggi, bahkan lebih tinggi dari pemain sekarang." Ramang tak mengecap bangku pendidikan formal. Sebelum menjadi pemain nasional, ia dikenal sebagai penarik beca. Menurut Bardosono, Ketua PSSI periode 1974-77, penyebab kemerosotan adalah mereka yang duduk di kursi pimpinan PSSI sekarang. "Tak ada pengurus yang berwibawa," katanya. Ia mengibaratkan PSSI, setelah Ali Sadikin mundur, diasuh oleh "ibu tiri". Karena tak seorang lagi pun di antara pengurus yang dipilih oleh Kongres PSSI. Sehingga kurang pendekatan mereka terhadap klub, kata Bardosono. "Buktinya pemain yang dipanggil menolak. Di zaman saya bahkan berbondong-bondong klub mengirimkan pemainnya." Masalah yang merongrong tim nasional sepuluh tahun terakhir, kata Dimas, tak terlepas dari kesalahan di zaman kepengurusan Kosasih. "Beliau waktu itu tak menyiapkan tim untuk masa depan. Hingga Ali Sadikin (naik nobat 1977 dan mengundurkan diri tiga tahun kemudian) dan pengurus sekarang kebagian jeleknya." Waktu kepengurusan Kosasih, ia menerima warisan pemain seperti Judo Hadianto, Sutjipto Suntoro, Max Timisela, Iswadi, Jacob Sihasale, dan lain-lain. Tim nasional menjelang akhir kepengurusan Kosasih menjuarai turnamen Piala Anniversary 1972 di Jakarta. Di zaman Maladi dan Abdul Wahab sebelumnya, sekalipun pengurus tak menonjol, prestasi tim lebih hebat lagi. Tim Indonesia sempat mengagetkan dunia dengan menahan Uni Soviet 0-0 (walau dalam pertandingan ulangan kalah 4-0) di Olympiade Melbourne, 1956. KEBERHASlLAN suatu kepengurusan tidak bisa hanya dilihat dari kuat atau tidaknya tim nasional," kata Kepala Litbang PSSI Drs. Rais. Ia menambahkan bahwa kesuksesan kesebelasan nasional merupakan hasil akhir dari rangkaian pembinaan menyeluruh, mulai dari kelancaran kompetisi di perserikatan maupun Galatama sampai penyediaan pelatih untuk klub, dan tetek bengek lainnya "Bagaimana mungkm kita punya tim yang kuat, jika standar pelatih masih belum sama. " Dibandingkan periode sebelumnya, menurut Rais, kompetisi yang berjalan baik baru mungkm dalam masa kepengurusan Ali Sadikin. "Hasilnya tentu saja belum bisa dinikmati sekarang. Paling tidak baru tiga atau lima tahun mendatang," sela Soeparjo. Ia mengharapkan pengertian masyarakat untuk tidak menuntut terlalu muluk dari kepengurusan sekarang. Bagaimana dengan sasaran medali emas sepakbola di SEA Games XI di Manila? Inti tim nasional yang dipersiapkan tampaknya masih tetap dari PSSI Utama sekarang. Dengan perombakan di sana-sini. Yang pasti adalah pelatihnya berubah. Telah dikontrak pelatih Bernd Fischer dari Jerman Barat yang mengambil alih tugas Tjong. Fischer mulai bertugas 1 Juli. "PSSI Utama harus dirombak total," komentar kolomnis Kadir Yusuf. "Belum tentu pemain yang sekarang cocok dengan selera Fischer." Dimas juga berpendapat demikian. Sinyo Aliandu meragukan kemampuan Fischer menghadirkan kesebelasan nasional yang kuat. "Saya memang tidak banyak mengetahui reputasinya," katanya. "Tapi dari beberapa penampilannya saya menjumpai hal yang kurang simpatik." la menyebut antara lain kehadiran Fischer yang cuma 15 menit dalam pertandingan PSSI Pratama dan Warna Agung di stadion utama Senayan Hingga tak mungkin ia dapat melihat pemain berbakat. "Saya khawatir PSSI akan menghadapi keadaan seperti waktu PSSI Binatama dikirim ke Brazil dan dilatih oleh Alves Miraglia yang ternyata tak ada apa-apanya." Tak hanya Sinyo yang khawatir. Coerver kabarnya juga meragukan kemampuan Fischer. Orang Jerman ini memang tak termasuk dalam daftar pelatih beken. Fischer diketahui PSSI pernah jadi pelatih kepala di klub VIR Wormatia Worms, sebuah perkumpulan di Divisi II Jerman Barat. Konon ia pernah melatih di Bermuda dan Barbados selama sembilan tahun, tapi tak jelas klub yang diasuhnya. Fischer yang dikontrak selama dua tahun, dengan bayaran Rp 3 juta sebulan, didatangkan berkat bantuan Yayasan Tunas Raga dan KONI Pusat. "Dilihat sepintas lalu pengetahuannya bolehlah," kata Humas PSSI Uteh Riza Yahya. Pengurus PSSI kabarnya terkesan oleh penilaian Fischer atas kelemahan PSSI Utama setelah melihat pertandingannya melawan Selandia Baru. Menurut Fischer, tim PSSI Utama kurang trampil dalam penyelesaian akhir, tidak berusaha melakukan penetrasi lewat pemain sayap, dan terlalu banyak membuang waktu di lapangan tengah. "Kalau itu sih kita juga tahu," kata Ronny. "Kita semua pokoknya kecewa dengan kekalahan PSSI Utama," kata Bardosono. "Tapi sepantasnya kita tidak saling menyalahkan. Mari bersama mencari jalan keluarnya." Dengan Fischer? Siapa tahu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus