TAK kurang dari 13 wanita pernah memasuki hidupnya. Tapi nama
mereka hanya sebagian kecil yang masih diingatnya. Yang tak
mungkin ia lupakan, wanita-wanita itu telah memberinya 13 orang
anak. Dan anak-anak itu telah membuahkan 101 cucu baginya,
meskipun hanya sebagian kecil yang dikenalnya.
Ke-13 wanita tadi tak seluruhnya dinikahinya. Beberapa orang
hanya dijadikannya teman hidup untuk beberapa bulan, ada juga
yang sampai bertahun-tahun. Tapi Wati adalah satu-satunya wanita
yang tetap mendampingi laki-laki yang kini bukan lagi sebagai
penguber wanita, tapi hanya sebagai pengebor sumur.
Melalui perjalanan hidup yang cukup berliku, dalam usia 82
tahun, kini Udi toh membanggakan dirinya sebagai pembuat sumur
bor. Ia menyebut beberapa nama hotel terkenal di Jakarta yang
pernah ia buatkan sumur sebagai sumber air untuk tamu-tamu di
hotel itu. Belum lagi untuk perumahan dan kantor-kantor. Bahkan
satu di antara hotel tadi sampai sekarang tetap mengontrak Udi
untuk membuat sumur-sumur bor baru. "Dan kalau hotel-hotel itu
kesulitan air, saya selalu dipanggil," ungkap Udi.
Ia tak merasa dirinya lebih rendah dari warga Jakarta lain
karena memilih profesi sebagai tukang bor sumur. "Memang ada
orang yang menganggap pekerjaan saya hina," kata Udi, "tapi
lihat duitnya, dong." Jumlah pendapatan yang disebutkannya
memang tak terlalu besar: Rp 35.000 untuk sumur pompa tangan dan
Rp 125 untuk sumur pompa listrik -- tergantung pada kedalaman
dan lebar sumur yang digali.
Nyonya Belanda
Namun jumlah itu rupanya sudah cukup lumayan bagi Udi. Sebab
tiga orang pembantunya tak lain dari menantu-menantunya sendiri.
Sedangkan peralatan cukup sebuah palu godam, linggis dan
beberapa pipa baja. Waktu yang dipakai juga tak terlalu banyak.
Untuk sebuah hotel bertaraf internasional, misalnya, dari mulai
menggali sampai air mengucur di kamar-kamar, diperlukan waktu
seminggu sampai 10 hari.
Karena Jakarta belum mampu memberi air ledeng kepada sebagian
besar warganya, hampir tiap minggu Udi dan para menantunya harus
melayani order pembuatan sumur -- selain sebagai "konsultan" air
tetap di beberapa hotel. Dan air pun ternyata tak sulit didapat.
"Saya yakin, di bawah tanah pasti ada air," kata Udi dengan
dialek BetawiSunda. Karena itu sumur yang dibornya selalu
mengucurkan air, walaupun dengan kedalaman ratusan meter.
Di masa remaja, Udi sendiri tak pernah membayangkan hari tuanya
akan menjadi penggali sumur. Anak kedua dari 12 bersaudara
kelahiran Mardikalio, Bandung ini, memulai hidupnya sebagai
kondektur kereta-api. Ini terjadi pada tahun 1919, beberapa saat
setelah buruh SS (perusahaan kereta-api Belanda) melancarkan
pemogokan.
Tapi pekerjaan itu tak membuatnya betah. Sebulan mondar-mandir
di atas kereta-api, ia berhenti untuk bekerja pada sebuah
percetakan satu-satunya di Kota Bandung waktu itu. Ini pun tak
lama. Ia diberhentikan dengan alasan "kurang bagus berbahasa
Belanda." Ia pun menganggur. Namun, rupanya, di saat-saat
penganggurannya itulah ia mulai mengenal kelaki-lakiannya.
Ia diterima oleh satu keluarga Belanda untuk bekerja sebagai
tukang kebun. Nyonya rumah yang cantik itu ternyata menaruh hati
pada pemuda Udi. "Saya diajak-ajak begituan, ya mau, apalagi dia
cantik," kata Udi sambil tertawa-tawa. Hubungan mereka itu
diketahui suami si nyonya, "tapi dia biarkan saja."
Tubuh Udi ketika itu rupanya mengiurkan banyak wanita. Sebab
dia juga dikenal sebagai penggulat dan pernah meraih juara
pertama melawan pegulat-pegulat Belanda se Bandung. Dengan
tinggi tubuh 1,65 meter, waktu itu berat badannya 85 kg, penuh
dengan otot kencang. Si nyonya Belanda menurut Udi, selalu
menjaga kondisi tubuh pegulat itu -- semata-mata agar laki-laki
itu selalu fit bermain cinta. "Saya pernah main seks 17 kali
dalam satu malam," tutur Udi pula dengan bangga. Karena itu,
tambahnya, "sang nyonya sudah lengket benar dengan saya. "
Selain dengan istri majikannya, Udi melakukan petualangan cinta
dengan berbagai wanita lainnya.
Setelah 8 tahun, Udi diusir nyonya Belanda tadi. "Gara gara saya
kawin dengan Wakiah," ungkap Udi lagi. Waktu itu, tahun 1929 Udi
telah berusia 30 tahun dan Wakiah istri pertamanya, 16 tahun.
Dari wanita ini, Udi kemudian mendapat tujuh orang anak.
Dengan modal tubuh yang kukuh laki-laki yang pernah mencapai
kelas 6 sekolah ongko loro itu, agaknya telah menjadi petualang
cinta. Dengan bangga, tapi sekali-sekali diselingi "saya
sekarang sudah tobat," ia mengungkapkan kisah pertemuan dan
pergaulannya dengan berbagai wanita. Mulai dari perawan belasan
tahun, sampai istri orang, berhasil disuntingnya untuk dijadikan
teman hidup selama beberapa bulan atau beberapa tahun. Dan
Wakiah ternyata banyak memberi bantuan untuk mendapatkan
wanita-wanita itu. Udi tak mampu lagi mengingat nama seluruh
wanita itu. Dari 13 wanita yang pernah diburunya, hanya Wakiah
dan Wati yang dinikahinya.
Wati, yang mendampingi Udi hingga sekarang, pada mulanya adalah
istri seorang kepala desa di wilayah Padalarang. Sebagai istri
penguasa desa, tentulah Wati wanita paling top di daerahnya
waktu itu. Karena itu tak heran, jika sekali bertemu pandang,
Udi jatuh hati setengah mati. Saat itu juga ia menawarkan
cintanya. Wanita itu mula-mula mengejek. Udi yang penasaran,
dengan bantuan Wakiah, terus menguber. "Saya ikuti terus, sampai
di Bandung, saya ajak nonton bioskop, eh mau," tutur Udi.
Karena Wati punya suami, pernikahan sulit dilakukan.
Satu-satunya jalan, membawanya lari untuk nikah di Jakarta. "Dan
karena tahun 1950 itu keadaan masih belum normal benar, kami
dapat secara sah nikah di Jakarta, tambah Udi. Menurut dia,
sampai sekarang bekas suami Wati tak pernah mencarinya. Wakiah
sendiri sampai sekarang tinggal di Bandung bersama anak-anaknya.
Di sebuah rumah sederhana, tanpa listrik, di bilangan Cipete,
Jakarta Selatan, hingga kini Wati tetap mendampingi Udi. Rumah
berukuran 10 x 11 meter itu seluruhnya menampung 25 orang: Udi
dan Wati, empat anak mereka (tiga di antaranya sudah bersuami
dan bekerja membantu Udi), dan sisanya adalah cucu-cucunya,
ditambah seorang keturunan Cina yang dipungut Udi karena
telantar. Anak Udi dari Wati yang paling kecil adalah wanita
berusia 12 tahun.
Di rumah itu, selain beberapa perabotan sederhana, terdapat
sebuah pesawat televisi hitam putih 17 inci. Malam hari Udi dan
Wati banyak menghabiskan waktu di depan pesawat itu. Tapi
televisi itu juga slalu mengingatkan laki-laki yang tetap
bertubuh gempal itu saat-saat ia tampil di acara Kuis Aneka
pertengahan April 1981. Dalam acara itu ia memakai stelan
safari, sepasang pulpen Shafer dan sepatu mengkilat. Pena itu
dipinjami Soedarsono, seorang karyawan bank asing yang
membawanya ke penyelenggara kuis.
Penampilannya di televisi itu mengecoh para panelis. Tampangnya
memang mengesankan seolah-olah ia baru berusia 50 tahun. Ketika
para panelis menebak Udi sebagai pengasah pisau, ia dinyatakan
menang. Ia menolak ketika Kris Biantoro, pembawa acara Kuis
Aneka, menawarinya hadiah uang Rp 60.000. Ia memilih nomor dan
mendapat hadiah panci susun.
Udi mulai mengenal bor dan pipa, ketika ia bekerja di pabrik gas
di Bandung (1929/1950) dan di Jakarta (1950/1952). Di sini ia
tahu bagaimana cara mengebor tanah untuk memasang pipa-pipa gas.
Sehingga waktu ia mengajukan permintaan pensiun (1952), Udi
merasa sudah cukup mampu memakai kedua alat itu untuk mengebor
tanah mencari sumber air.
Ia sekarang berusaha melupakan masa-masa petualangan cintanya di
masa muda. Sebagai muslim ia kini tak pernah lalai
bersembahyang. Bahkan peci hitam tak pernah kepas dari
kepalanya. "Sekarang, saya tidak setuju orang melakukan hubungan
seks tanpa nikah'," katanya dengan nada berkhotbah. Meskipun,
umbahnya, "wanitaanita sekarang tampaknya gampang-gampang,
mungkin karena banyak -- dulu sulit mendapat wanita, kalau tak
tahu rahasianya."
Jika suatu saat kelak ia tak mampu bergumul dengan tanah dan
mengayunkan godam, Udi mengaku akan numpang hidup pada
anak-anaknya, sambil mengasuh cucu-cucunya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini