SIDANG Paripurna Pengurus (SPP) PSSI tanggal 6-8 Oktober yang
lalu berlangsung tenang-tenang saja. Kebijaksanaan Ketua Umum
Ali Sadikin dalam 1 tahun kepengurusan tak banyak mendapat
tentangan. Malah di luar soal yang rutin, ke-27 Komda yang hadir
turut mendukung Ali Sadikin dalam menangani beberapa masalah
pokok.
Penataan kembali badan pengurus PSSI berlangsung lancar. Hans
Pandelaki menduduki kembali kursi Sekretaris Umum menggantikan
Maulwi Saelan yang diberi tugas baru mengurusi bidang kompetisi
dan pertandingan PSSI. Sementara Frans Hutasoit yang tadinya
menjadi Ketua Bidang Kompetisi dan Pertandinga, kini beralih
memikul tanggungjawab pembinaan Tim Nasional, menggantikan Acub
Zainal yang telah mengundurkan diri.
Di luar dugaan, Ali Sadikin yang semula ingin memegang langsung
Bidang Pembinaan Tim Nasional sampai SEA Games tahun depan di
Jakarta, kini menyerahkan jabatan itu kepada Hutasoit.
Tindakan ini tak bisa lain kecuali untuk mengkoreksi diri atas
"kegagalan" PSSI di lapangan hijau. Meskipun tak kurang pula
sementara peninjau menduga bahwa perubahan ini merupakan langkah
pertama untuk menarik Syarnubi Said menggabungkan diri dalam
unit pembinaan Tim Nasional. Jadi persis seperti yang pernah
disarankan Kosasih Purwanegara dalam sistim pengelolaan tunggal
(TEMPO 7 Oktober 1978).
Dalam soal suap, sidang memberi dukungan penuh pada Ketua Umum
untuk memberantas sumber penyogokan secara tuntas. Untuk itu Ali
Sadikin mengajak semua lapisan masyarakat untuk bersama-sama
memperjuangkan lahirnya Undang-undang Pokok Olahraga lewat KONI
dan DPR.
Mengenai para pemain yang terkena suap diumumkan secara resmi
berikut hukumannya. (lihat: Ronny Pasla Tak Di Sana Lagi).
Hubungan Dengan Klub
Hubungan PSSI dengan klub-klub di luar perserikatan mendapat
porsi istimewa oleh SPP. Ketua Bidang Organisasi, Suparyo
Poncowinoto, berhasil menggalang persetujuan hadirin untuk
merintis lahirnya Galatama (profesional a la Indonesia),
Galakarya (kegiatan sepakbola perusahaan/kantor) Galanita
(sepakbola wanita), dan Galasiswa (sepakbola mahasiswa).
Khusus mengenai Galatama, dasar hukumnya diangkat dari Anggaran
Dasar PSSI Pasal 8 ayat a dan b. Artinya klub-klub seperti
Jayakarta, Warna Agung, Pardedetex, Tunas Jaya, Arseto, BBSA,
Improser, Propelat dan lain sebagainya, akan diperlakukan
sebagai anggota penyokong yang boleh saja berbentuk perhimpunan,
lembaga, badan, organisasi atau perorangan, yang secara sukarela
ingin menyumbangkan secara moril maupun materiil untuk kebaikan
PSSI.
Dasar hukum Liga (Lembaga) Sepakbola Utamd ini tampaknya sangat
dipaksakan. Namun pihak-pihak yang bersangkutan dapat memahami,
bahwasanya jalan keluar dari kungkungan perserikatan (yang lahir
pada zaman kolonial dulu) hanya dapat ditempuh dengan siasat
tersebut.
Lahirnya Galatama ini memberi landasan baru bagi pembinaan tim
nasional. Dan juga udara segar bagi kehidupan klub-klub yang
ingin terjun dalam bisnis sepakbola. Di samping PSSI dapat
langsung berhubungan dan mengatur klub-klub tersebut tanpa
"pungli" perserikatan, ia sekaligus dapat pula memanfaatkan
kontribusi dalam bentuk materiil maupun pemain (yang
"dititipkan" di klub-klub Galatama).
Kebijaksanaan tersebut secara prinsip berarti mengakui hak
pemain yang ingin menjadikan sepakbola sebagai profesinya. Dan
strategis memberi jaminan hari depan, sehingga tidak terulang
kembali peristiwa penyuapan Ronny dkk. Itulah harapan yang
terkandung di lubuk hati penggemar sepakbola.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini