TAMAN Bonsai, di sebuah sudut halaman belakang rumah A Tjai di
Jalan Pluit Samudera 17, merupakan perbukitan hijau mini yang
indah. Itu saja sudah cukup menggambarkan betapa kemewahan seisi
rumah.
Jangan tanya berapa harganya. Yang dihadiahkan kepada para
pejabat saja bisa berharga Rp 100 juta sampai lebih dari Rp 200
juta. Berjenis-jenis mobil lux yang dimilikinya: mulai dari
Range Rover (lengkap dengan peralatan modernnya), Mercy, Jaguar
sampai BMW. Belum lagi kekayaan yang tertanam di Proyek Pluit:
bangunan dan prasarana kelas I di Pluit Baru, Muara Angke dan
Muara Karang.
Berapa banyak harta kekayaan A Tjai alias Endang Wijaya alias
Yap Eng Kui, 46 tahun, yang kini duduk di Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat menghadapi tuduhan subversi dan korupsi? Gani
Djemat dalam eksepsi 14 Oktober lalu -- sebelum dicabut surat
kuasanya, 17 Oktober -- menyatakan: Seluruh kekayaan A Tjai,
kira-kira Rp 28 milyar. Ini sebenarnya cukup untuk menutup
kerugian negara, yang menurut jaksa mencapai jumlah lebih dari
Rp 23 milyar itu. Kalau tak percaya, begitu Djemat, boleh
didatangkan ahli taksir bertaraf internasional untuk
menghitungnya.
Pernyataan Djemat ini tentunya bukan untuk memamerkan kekayaan
kliennya. Kemacetan kredit, kata pengacara ini, adalah soal
perdata. Artinya boleh diurus oleh BUPN (Badan Urusan Piutang
Negara) saja. Artinya lagi, jika kerugian berhasil ditutup
dengan harta kekayaan A Tjai, setidaknya tuduhan boleh lepas
dari soal subversi. Begitu maunya pembela. "Saya sudah mendapat
ijin dari A Tjai sendiri maupun keluarganya untuk menawarkan
perhitungan assets itu," kata Gani Djemat pula.
Tapi ternyata bagi majelis hakim yang dipimpin oleh H.M.
Soemadijono SH, hal itu tak perlu. "Tak ada relevansinya." Jaksa
bilang, "tidak peduli kekayaan Endang Wijaya itu Rp 28 milyar,
Rp 100 milyar atau 1 sen, kalau didapat dari kejahatan dapat
dirampas untuk negara."
"Kejaksaan tidak menagih hutang," lanjut Jaksa Anas Bhisma SH.
Dalam kasus Pluit ini, menurut jaksa, yang ditinjau ialah "cara
tertuduh mendapatdan menggunakan kreditnya." Secara jahat atau
tidak.
Gani Djemat tak dapat melanjutkan perdebatan tentang harta
kekayaan A Tjai dengan kerugian negara. Sebab, tiga hari setelah
membacakan eksepsinya, kuasanya telah dicabut. Surat pencabutan
diketik rapi, dengan mesin ketik IBM di atas meterai, tanpa
menyebutkan alasan yang jelas. Menurut Djemat, lazimnya,
pencabutan surat kuasa didasarkan atas dua hal: pembela minta
bayaran terlalu tinggi atau karena tidak becus berperkara. "Saya
tidak minta bayaran sepeserpun untuk berdiri di pengadilan,"
kata pengacara ini. Sedangkan becus tak becus, dia sudah lama
menjadi pengacara tetap A Tjai, sejak Juni 1976. Jadi? "Saya
tidak ada komentar!"
Tinggallah dua pembela di samping A Tjai. Dua-duanya bekas Jaksa
Tinggi. Budi Sutrisno SH dari Jawa Tengah dan Azwar Karim dari
DKI Jakarta. Dengan pembela ini, soal perhitungan kekayaan - A
Tjai tak jadi persoalan. Hakim pun terus melanjutkan
pemeriksaan.
Jaksa Penuntut Umum telah minta kepada majelis agar mengajukan
82 orang saksi. Nama-nama penting lain, seperti bekas Walikota
Jakarta Utara dan Ketua BPO Pluit, Dwinanto Prodjosupadmo,
diminta oleh jaksa agar ditampilkan.
Berikutnya, masih dalam nomor urut utama, diharapkan hadir
sebagai saksi Wagub DKI, ir Prajogo Padmowihardjo, pejabat DKI
dan BPO lain. Juga bekas Dir-Ut BBD (Bank Bumi Daya) R.A.B.
Massie, bekas Direktur Kredit, Natalegawa, berikut beberapa
pejabat BBD lainnya. Tak ketinggalan beberapa pejabat pajak,
seperti drs. Hussein Kartasasmita (bekas Sekretaris Ditjen
Pajak) dan beberapa pejabat pajak di tingkat DKI Jakarta.
Dwinanto, misalnya, Letkol (Laut) yang menyandang berbagai
bintang jasa, diharapkan tampil untuk memberi kesaksian tentang
apa dan bagaimana fasilitas BPO diberikan kepada A Tjai. Bekas
Walikota ini juga menganggap, sampai tahun 1970, belum kelihatan
ada investor yang berani terjun ke Pluit. A Tjai muncul.
Fasilitas pun diberikan berdasarkan perjanjian kontrak untuk
membangun 2500 rumah mewah. Baru, setelah kasus Pluit
terbongkar, ia menyatakan "baru mengetahui" kalau segala surat
keterangannya digunakan, atau disalahgunakan, untuk memperoleh
kredit dari BBD. Tapi tak pernah dapat tegoran dari atasannya,
ir Prajogo maupun Bang Ali.
Yang mengherankannya, semua surat keterangannya ternyata oleh
bank dapat diterima sebagai jaminan kredit - setidaknya penguat
-- bagi A Tjai. Padahal menurut mestinya bukankah BBD harusnya
lebih membutuhkan sertifikat tanah daripada mengandalkan surat
keterangannya?
Betapapun Dwinanto merasa telah "terlalu mempercayai bawahannya"
yang menyodorkan berbagai surat untuk ditekennya. Dia
dijebloskan dalam kesulitan untuk mempertanggungjawabkan semua
surat yang pernah ditekennya. Kecerobohannya, telah mempercayai
A Tjai, tanpa mencek bonafiditasnya. Apalagi, sedikit-sedikit,
A Tjai selalu bilang sudah lapor pada Ali Sadikin.
Bagaimana dengan pemberian-pemberian dari A Tjai? Tak
dibantahnya. Tapi, disebutkan, itu semua tidak dalam rangka
memperlancar kontrak. Rumah di Pluit, mula-mula, akan
dihadiahkan A Tjai kepadanya. Tapi ditolak. Akhirnya diterima
sebagai pinjaman. "Mobil-mobil telah saya kembalikan kepada yang
berwajib," katanya.
Wakil Gubernur, ir Prajogo, diharapkan akan memberi kesaksian
sekitar pnandatanganan kontrak pemerintah dengan A Tjai. Ada
beberapa kontrak yang ditekennya. Ada beberapa tak diketahuinya.
Dia baru tahu ada manipulasi oleh A Tjai, setelah terbit berita
di koran. Sulit untuk dibantah, bahwa ia telah menerima beberapa
hadiah dari A Tjai. Itu disesalkannya -- dan merupakan
pengalaman pahit seumur hidupnya.
Kesaksian Natalegawa, bekas Direktur Kredit BBD, bakal tak
kurang menariknya dari yang lain. Dia tidak mendapat laporan
bawahan, seberapa jauh mutu jaminan yang digunakan A Tjai untuk
memperoleh berbagai kredit BBD. Sejauh yang dilaporkan, katanya,
"tidak ada hal-hal yang membahayakan."
Barulah setelah diteliti, ternyata, jaminan OV (ijin penggunaan
tanah BPO yang dibawa A Tjai dari Dwinanto, tidak bernomor dan
bertanggal. Tak urung hal itu harus diakuinya sebagai
kecerobohan BBD. Karena sebelumnya pejabat BBD sangat
mempercayai A Tjai. Orang ini banyak mendapat jaminan-jaminan
lisan dari para penggede. Bahkan, dalam kesempatan meresmikan
Pluit II, Bang Ali setengahnya berdiri di belakang A Tjai.
Pidatonya, yang mengecam kelambatan kredit BBD kepada PT Jawa
Building, sangat berkesan.
Sebuah sumber TEMPO sementara itu menyatakan, Natalegawa memang
sangat membantu A Tjai. Untuk menggolkan kredit A Tjai dari PT
ASEAM (badan ini dananya dari pemerintah dan swasta asing), kata
sumber TEMPO itu, Natalegawa sampai mau berpidato di Paris
meyakinkan pihak asing.
Kredit BBD macet. Direksi baru BBD, 1976, pernah memanggil A
Tjai untuk segera membereskan semua yang berkenaan dengan
hutangnya. BBD memberi waktu 5 tahun. A Tjai menawar sampai 7
tahun. BBD keberatan.
Sementara menghitung-hitung, Opstib merentang kegiatannya. A
Tjai pun terjaring dengan hutang yang membengkak.
Para hakim kini sedang menimbang-nimbang tuduhan di pundak A
Tjai. Tapi nama-nama pejabat lain, yang 'ternoda' bersama kasus
Pluit, tentunya harus dicuci juga -- biar jelas salah tidaknya.
Sementara itu yang terasa agak lowong ialah tidak dimintanya
Ali Sadikin sebagai saksi. Padahal bekas gubernur ini menyatakan
bersedia untuk didengar kesaksiannya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini