Hampir sebulan tanah di Agam, Sumatera Barat, longsor. Jenis tanah tufa yang amat labil membuat daerah itu harus ditata penggunaannya. SUARA deru pesawat terbang kini meramaikan Kelurahan Paritpanjang, Kecamatan Lubukbasung, Kabupaten Agam, Sumatera Barat, setiap hari. Anehnya, bunyi itu bukan datang dari udara, tapi dari bawah tanah. Dan setiap kali deru itu terdengar, masyarakat langsung waswas. Sejak akhir Maret lalu, lahan mereka terus-menerus terban (runtuh) dan menimbulkan suara gemuruh tadi. Rentetan longsoran tanah itu bermula dari terbannya Bukit Sangkak Puyuh. Dini hari, 29 Maret lalu itu, Ketua RW Kamardi Sutan Rajo Mudo bersama beberapa warga lain terbangun karena riuhnya suara. Namun, mereka hanya bisa, menonton bukit yang tinggi 110 meter itu runtuh. Bongkahan tanah seukuran rumah meluncur deras ke sawah dan dua rumah yang sudah dikosongkan di Lembah Selayang -- terban ini memang sudah diduga sebelumnya. Lumpur bercampur batu pun menutup aliran Sungai Gemuruh dan Sungai Talang. Memang, musibah ini tidak segera diperhatikan karena hanya sekitar 6 ha sawah yang tertimbun dan tidak ada korban manusia. Tanah terban di Sumatera Barat memang merupakan peristiwa "biasa". Misalnya, pada 1977 terjadi longsor di Desa Pasirlawas, Kabupaten Tanahdatar, dan dua tahun kemudian di pula di pinggir Danau Maninjau. Malah, longsornya Bukit Tui di Kodya Padang Panjang tahun 1986 sampai merenggut 156 nyawa penduduk dan membuat pendatang asal kota itu di Jakarta membuka dompet kemanusiaan. Dua tahun lalu, bibir Ngarai Sianok yang tersohor di Bukittinggi juga mengalami hal serupa. Berita terbannya Bukit Sangkak Puyuh ini baru terdengar oleh pers ketika Bupati Agam Gustiar Agus melapor pada Wakil Gubernur Sumatera Barat, Sabtu dua minggu lalu. Bupati agaknya merasa perlu melaporkan musibah ini karena terbannya tanah tidak hanya sekali. Sampai minggu lalu, penduduk dengan ngeri melihat pinggir bukit terus berjatuhan sehingga membentuk ngarai baru yang terus meluas. Kini, diperkirakan ngarai itu sudah mencapai luas 8 ha. Di dasar ngarai itu juga muncul sungai kecil dadakan yang terus menghanyutkan pasir dari bukit. Sampai saat ini diperkirakan sudah 100 ha sawah dan dua rumah semipermanen tertimbun. Beberapa rumah lainnya segera dibongkar sendiri oleh pemiliknya sebelum tertimbun tanah. Sedang aliran sungai yang terbendung lumpur menggenangi 116 ha sawah penduduk di sekitarnya. Menurut Kepala Kanwil PU Sumatera Barat Sabri Zakaria, yang bersama Wagub Sum-Bar langsung meninjau lokasi Senin minggu lalu, kerugian diperkirakan mencapai satu milyar rupiah. Kalau hujan lebat terus turun, kerugian bisa lebih besar karena hujan ini dapat menggelontorkan lahar dingin yang bisa menghantam permukiman penduduk. Kalau ini terjadi, 10 ribu penduduk akan kehilangan rumah dan 1.000 ha sawah rusak berat. Hingga akhir pekan lalu, tidak terjadi longsor lagi, mungkin karena hujan sudah terhenti. Entah bila hujan mengucur lagi. Maka, berbekal nasi bungkus, penduduk dengan peralatan ala kadarnya pun bergotong-royong mencoba mengalirkan kembali dua sungai di kelurahan itu. Selasa minggu lalu, Dinas PU Sum-Bar membantu dengan peralatan berat. Pekerjaan bertani untuk sementara berhenti. Sawah tidak mungkin digarap karena tumpukan tanah lembek, pasir, dan batu. Pohon-pohon yang tumbang mencapai tinggi 2 sampai 3 meter. Menurut guru besar geologi ITB J.A. Katili, terjadinya terban itu karena tanah setempat berjenis tufa, yang terbentuk dari kaldera Gunung Maninjau purba. "Sifatnya gembur. Jadi, kalau hujan besar, ngarai itu akan longsor. Tanpa hujan pun terjadi longsor sedikit-sedikit," ujarnya. Apalagi curah hujan pada saat longsor mencapai 128 mm/hari, jauh di atas angka normal. Satu-satunya pencegahan adalah dengan tidak membangun di tepi ngarai. Juga, harus dibuat rencana tata ruang yang baik karena di Sum-Bar ada daerah-daerah yang tidak boleh ditinggali, yaitu di ngarai-ngarai dengan tanah tufa, di antaranya Agam dan Bukittinggi. Apalagi, kata Katili, di bawah daerah itu ada patahan Semangko. Selama patahan ini tidak bergerak memang tidak ada akibat yang terasakan. Namun, kalau patahan bergerak di daerah yang bertanah tufa, bisa terjadi longsor besar-besaran. Kondisi ini bukannya tidak diketahui oleh tim peneliti ITB ketika akan membuka proyek pencetakan sawah baru pada 1980. Tim tersebut menyarankan proyek itu dibatalkan. Tapi, mungkin karena terdesak kebutuhan perut, penduduk membuka sawah sendiri lima tahun kemudian. Bahkan, atas desakan penduduk, pemda membangun sebuah dam irigasi. Kondisi ini, ditambah penggundulan hutan terus-menerus untuk kebun kopi, kayu manis, dan cengkeh, membuat Bukit Sangkak Puyuh mulai terban. Untuk menyelamatkan bukit yang artinya sangkar puyuh itu menurut Kakanwil PU Sum-Bar, dibutuhkan biaya sampai Rp 1,5 milyar. Caranya, dengan memindahkan saluran irigasi dan membuat dam di dua sungai yang ada. Dan yang penting, penduduk harus dipindahkan dan bukit itu dihijaukan kembali. Namun, tampaknya, sulit bagi penduduk meninggalkan kampuang halamannya. Sudah sekitar 58 keluarga diungsikan, tapi beberapa sudah kembali lagi ke rumahnya. Yang kehilangan sawah kini berdagang kecil-kecilan. Mungkin harus jatuh korban dulu baru mereka mau menyingkir. Diah Purnomowati dan Fachrul Rasyid H.F. (Padang)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini