Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Hajat sunatan di balai erasmus

Di balai erasmus diselenggarakan pasar malam puisi tampil ws rendra, jan brokken dan joost zwagerman dari belanda, kristien h. dari belgia. ada juga jazz, & wayang kulit. biayanya sekitar rp 20 juta.

4 Mei 1991 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pasar Malam Puisi digelar Kedubes Belanda di Jakarta. Tak hanya puisi tetapi juga ada jazz, wayang kulit, dan ajojing. Seperti hajat sunatan, kata Elfa Secioria. DI Balai Erasmus, Jakarta, Sabtu malam pekan lalu diselenggarakan Pasar Malam Puisi. Apa itu? Lihat, di panggung berdiri penyair kondang Rendra. Ia mengenakan celana jin lecek dengan kemeja gelap. Sejumlah orang bertepuk tangan dan aktor ini menyunggingkan senyum. Begitu keplok reda, Rendra yang nampak lebih muda dari usianya kini, 55 tahun, berkata, " Tuan-Tuan dan Nyonya-Nyonya. Salam sejahtera. Nama saya Multatuli ...." Tepuk tangan pun bergemuruh. Rendra kemudian membacakan sajaknya yang paling populer belakangan ini: Demi Orang-Orang Rangkasbitung. "Ini cocok untuk suasana persahabatan antara Indonesia dan Belanda," ujarnya. Dan penonton yang membludak sampai nggelesot di depan panggung kadang terpingkal-pingkal lantaran sang penyair membacakan sajaknya dengan gaya Meneer Multatuli yang cadel. Karena ini "pasar puisi", jadi bukan hanya Rendra yang baca sajak. Ada penyair Jan Brokken dan Joost Zwagerman yang didatangkan oleh tuan rumah. Lalu Kedubes Belgia di Jakarta mendatangkan Kristien Hemmerechts -- pemenang Penghargaan Prosa Belgia -- dan Brigitte Raskin yang memenangkan Penghargaan Flemish Reader. Dari Indonesia sendiri, selain Rendra, tampil Arifin C. Noer, Leon Agusta, Putu Oka Sukanta, Beni Setia, dan Wiji Thukul. "Ini merupakan acara para pecinta seni. Ada pembacaan puisi, musik klasik, jazz wayang kulit, juga ada kantin, namanya saja pasar malam," kata A.J.W. (Puk) Van Der Linde, Ketua Penyelenggara. Kerepotan ini disponsori 13 perusahaan besar, antara lain KLM, Carlsberg, dan PT Unilever. Biaya yang dikeluarkan panitia sekitar Rp 20 juta, di luar tiket pesawat yang disediakan perusahaan penerbangan Belanda, KLM. Malam panjang di Balai Erasmus itu pun meriah. Ada dua panggung di halaman dan kantin di beberapa pojok bangunan. Acara itu dimulai sejak lepas magrib, tepatnya pukul enam petang. Dimulai dengan tampilnya para nayogo -- penabuh gamelan -- dari mahasiswa Jurusan Sastra Jawa Universitas Indonesia yang mengiringi dalang Ki Wiyono Undung Wasito. Wayang kulit satu jam dengan lakon Dasamuka Leno ini bisa dinikmati pengunjung sambil mengunyah bakmi kangkung atau masakan Mongolia atau minum bir yang dibeli di kantin pojok. Usai itu panggung dialihgunakan menjadi tempat para penyair membacakan puisi-puisinya. Di panggung yang lebih lebar tampil Elfa's Big Band yang melantunkan instrumentalia jazzy. Itu semuanya di halaman. Namun, penyair seperti Rendra dan Arifin C Noer diberi tempat di dalam gedung dan ini menguntungkan karena suasana halaman demikian hiruk-pikuknya. Tak mudah menikmati puisi dalam suasana seperti itu. "Inilah risikonya sebuah pasar," komentar Arifin C. Noer. Yang menarik dalam urusan dengan pembacaan puisi ini adalah tak sebuah puisi pun kena sensor. Maklum, gelanggang seni itu berada dalam kawasan yang dilindungi kekebalan diplomatik. Selain itu, tampaknya para penyair diberi kebebasan membaca apa saja Arifin sendiri mengaku tak punya persiapan apa-apa. "Saya malah tak tahu apa yang akan saya baca," kata Arifin beberapa jam sebelum naik pentas. Kemasan seni yang campur aduk ini memang maunya panitia. Pengunjung ditarik bayaran dengan tiket Rp 10.000. Pengunjung bebas memilih, mau menonton di dalam gedung atau lari ke halaman. "Baru kali ini ada pesta seni seperti ini. Makanya, saya tertarik ikut. Ini seperti hajat sunatan," komentar Elfa Secioria, pemimpin Elfa's Big Band. Apa yang diharapkan dari "hajat sunatan" ini? Dialog kebudayaan tak terjadi lantaran penyair asing membacakan karya dalam bahasanya sendiri -- tanpa ada terjemahan. "Tak sempat diterjemahkan karena waktunya mepet," kata Ada Marius, panitia bagian terjemahan. Itu yang membuat penonton beranjak pergi ketika penyair Belanda membacakan karyanya. Sementara itu, warga asing -- kebanyakan memang warga Belanda -- menunggu saat-saat menjelang akhir "pasar malam". Itulah pergelaran Ducth Marine Steel Band. Sepuluh musikus berambut cepak bermain bak seregu drumband. Pengunjung berajojing ketika rombongan pelaut Belanda itu menyuguhkan lagu Yesterday dengan manis dan lembut. Dan, goyang bertambah erotis ketika Lambada meluncur. Namun, penonton Indonesia sudah pada pulang. Sri Indrayati

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus