Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Hancurnya pasukan baju kuning

Kesebelasan nasional brasil yang tergabung dalam cfb di ambang perpecahan. dikejuaraan piala amerika, copa de america, brasil tersingkir di babak penyisihan. prestasinya menurun dipelbagai kejuaraan.

25 Juli 1987 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEANGKUHAN Brasil sebagai negeri kiblat sepak bola runtuhlah sudah. Di kejuaraan Piala Amerika (Copa de America), di Argentina, yang berakhir pertengahan bulan ini, pasukan baju kuning dengan celana biru itu tersingkir di babak penyisihan, setelah dipermalukan Cili dengan 4-0. "Memalukan," ejek Zico, 34 tahun, bintang Brasil yang tak dipasang dalam kejuaraan ini. Uruguay kemudian menjuarai turnamen tersebut untuk kesembilan kalinya, setelah di final mengalahkan Cili 1-0. Aib Brasil rupanya masih berlanjut. Dalam perebutan Piala Dunia yunior di bawah 16 tahun, di Montreal, Kanada, Jumat pekan lalu, Brasil -- juara 1983 dan 1985 -- tampil lebih memilukan. Kalah 0-1 dari kesebelasan Australia, anak-anak Negeri Samba itu bukan saja tersisih, tapi malah menjadi juru kunci grup C, di bawah Australia, Prancis, dan Arab Saudi. Selama ini, suiit rasanya membicarakan sepak bola dunia tanpa menyebut Brasil. Bagi 130-an juta penduduk negeri di Amerika Selatan itu, bola bukan lagi sekadar olah raga, tapi bagian dari kehidupan. Di ibu kotanya, Rio de Janeiro, terdapat stadion sepak bola terbesar di dunia, Maracana, yang berkapasitas 220.000 penonton, hampir dua kali Stadion Senayan, Jakarta. Brasil pula satu-satunya negara yang tak pernah absen ke babak final Piala Dunia karena selalu lolos dari babak pendahuluan -- sejak kejuaraan itu dimulai 57 tahun yang lampau. Hasilnya: tiga kali jadi juara (1958, 1962, dan 1970). Sebuah rekor yang cuma disamai oleh Italia. Di kejuaraan Copa de America ini pun, Brasil -- pemegang gelar juara tiga kali difavoritkan sebagai salah satu calon juara, selain Argentina, kampiun Piala Dunia Meksiko, 1986. Maka, begitu tersisih, kalangan sepak bola di negeri itu pun kalang-kabut seakan Cina kebakaran janggut. "Perombakan total dibutuhkan di negeri kita," kata Julio Lopes, pimpinan rombongan tim Brasil, sehabis menyaksikan kekalahan pasukannya. Carlos Alberto Silva, pelatih yang menggantikan Tele Santana, setelah Piala Dunia Meksiko, beserta semua pembantunya, menurut Lopes, akan dipecat. Tapi Wakil Presiden CFB (Confederacao Brasileira de Desportos, alias PSSI-nya Brasil), Nabi Abi Chedid, menganggap kesalahan terletak pada sejumlah pemain. Mungkin yang dimaksud adalah menurunnya rasa patriotisme para pemain, seperti diungkapkan Gerson Nunes, salah seorang pemain tim Piala Dunia Brasil ketika menjadi juara di Meksiko, 1970. "Di masa saya, kami tak pernah membicarakan bonus sebelum bertanding. Sekarang, setiap pemain -- termasuk pemain cadangan -- menuntut US$ 2.000 (sekitar Rp 3,2 juta) untuk mengalahkan Venezuela. Kotor!" katanya. Dengan bonus itu, di kejuaraan tersebut Brasil menggunduli tim lemah, Venezuela, lima gol tanpa balas. Bonus memang sering jadi pangkal keributan di sana. Seusai Piala Dunia yang lalu misalnya, Careca, sriker andalan Brasil, meributkan bonus US$ 14.000 (Rp 22 juta lebih) untuk tiap pemain yang dijanjikan CFB bila mereka masuk babak perempat final di Meksiko. "Kami belum melihat uang itu," katanya. Zico menuding semua itu terjadi karena brengseknya pengurus CFB. Para pengurus tak menjiwai olah raga, tapi cuma mencari popularitas untuk kepentingan politik. "Dengan orang-orang itu, saya tak melihat kemungkinan perbaikan," katanya. CFB di ambang perpecahan, setelah dua pekan lalu 13 klub terkemuka di negeri itu seperti Sao Paulo (juara liga), Flamengo, Botafogo, dan Santos, sepakat mengadakan kompetisi sendiri. Mereka memisahkan diri dari kompetisi CFB yang diikuti 28 klub termasuk klub-klub lemah dari daerah. Itu mengakibatkan setiap klub rata-rata mesti bertanding dua kali seminggu, dan harus berkeliling lebih dari 16.000 km/bulan. Sialnya, bila melawan klub lemah penonton sepi. Memang, tahun lalu, rata-rata setiap pertandingan cuma dihadiri 12.000 penonton, merosot dibanding rata-rata 20.000 penonton pada 1980. Amran Nasution

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus