GADIS berkulit hitam dengan rambut dipotong pendek itu kelihatan ceking. Tingginya 1,52 m -- termasuk jangkung untuk anak seusianya, 13 tahun. Bobotnya cuma 32 kg. Tubuh itu kelihatan begitu enteng, setiap berlari mengitari lapangan. "Langkahnya panjang, dan otot-otot kakinya kuat," kata Yon Daryono, pelatihnya. Di lapangan dia mudah dikenal: ia berlari tanpa alas kaki, mengingatkan orang pada pelari NTT yang pernah tenar, Welmince Sonbay, atau pelari elite dunia asal Afrika Selatan, Zola Budd. "Tanpa sepatu, rasanya lebih los dan enteng," kata pengagum Zola Budd. Dialah Olivia Niesar, anak dara Salatiga, Ja-Teng, yang tiba-tiba muncul sebagal bintang baru di gelanggang atletik. Namanya tercantum di antara 11 atlet yang dipanggil induk organisasi olah raga atletik, PASI, belum lama ini untuk bergabung memperkuat tim atletik Indonesia di SEA Games Jakarta, September mendatang. Dia dipersiapkan untuk nomor lari jarak menengah, 800 m dan 1.500 m. Mestinya, sejak Sabtu dua pekan lalu, Oliv -- nama panggilannya sehari-hari -- sudah bergabung dengan atlet lain yang telah dipersiapkan mulai akhir tahun lalu. Tapi sampai pekan ini dia belum juga muncul di Pelatnas Senayan, Jakarta. "Olivia masih terlalu kecil. Waktu yang tinggal dua bulan lagi tak cukup baginya untuk menyesuaikan diri dengan pelatih baru di Pelatnas," kata Yon Daryono, mengungkapkan mengapa anak asuhnya masih di Salatiga. Yon khawatir, penanganan yang berbeda oleh pelatih lain akan merusakkan atletnya yang sedang mekar itu. Sang atlet sendiri juga keberatan pindah berlatih di Jakarta. "Nanti malah latihan saya ketinggalan, dan dikalahkan oleh kawan-kawan saya dari Salatiga," kata Oliv. Ia terus terang mengatakan, baginya Yon Daryono adalah pelatih yang lebih hebat dibandingkan para pelatih di Senayan sekalipun. Di peringkat yunior, remaja Salatiga yang baru tahun ini tamat SD tersebut memang jadi ratu nomor 1.500 m. Di nomor inilah dia meraih medali emas dalam Kejurnas Atletik Yunior di Jakarta akhir bulan lalu. Dengan catatan waktu 4:40.95 menit, dia pecahkan rekor (yunior) yang dibikin Marselina (Jakarta) tahun lalu, 4:41.62 menit. Rekor nasional (senior) di nomor ini, 4:36.04 menit, masih dipegang Irianeke Starlet, pelari berwajah manis dari Jakarta, yang kini sudah "pensiun". Nama Oliv mulai mencuat melalui sirkuit atletik Jawa-Bali tahun ini. Pada putaran pertama di Surabaya, Januari t987, gadis kecil hitam manis itu menyumbangkan dua medali emas untuk daerahnya, Ja-Teng, melalui nomor lari 800 m dan 3.000 m. Pada sirkuit kedua, bulan berikutnya, di Semarang, atlet ini mempertahankan medalinya di nomor yang sama. Olivia baru betul-betul mengejutkan, ketika pada sirkuit ketiga di Yogyakarta, Maret lalu: dia menyabet tiga medali emas. Selain dua nomor terdahulu, disikatnya lagi sebuah medali emas di nomor 1.500 m. Medali untuk 1.500 m itu diperolehnya di hari pertama. Esoknya, dia kembali cemerlang dengan meraih medali emas 3.000 m. Di hari yang sama, setelah beristirahat hanya 20 menit, gadis cilik itu turun lagi ke lintasan atletik Stadion Mandala Krida, untuk berpacu di nomor 800 m. Dia sabet lagi sebuah medali emas, sekalipun di nomor itu ada pelari nasional Merry Manuhutu. Oliv mencatat waktu 2:25.58, sedangkan Merry, atlet Pelatnas yang mewakili DKI Jaya itu, cuma mampu mencatat 2:30.38 dan memperoleh medali perak. Artinya, Oliv lebih cepat hampir 5 detik. "Dia memang bibit yang bagus," kata Jootje Gosal, Ketua Komisi Teknik PB PASI. Adalah ibunya, Nyonya Resmini, 37 tahun, yang pertama melihat bakat putri ketiganya itu -- dari lima bersaudara. Oliv selalu menang kalau main petak umpet bersama teman-temannya sesama siswa kelas V SD Kanisius Gendongan II, Salatiga. Kebetulan, Nyonya Resmini mengenal Yon Daryono, pelatih dan pemilik klub atletik Dragon, Salatiga. Ke sanalah, Oktober 1985, Oliv diantarkan ibunya. Sang pelatih pun melihat bahwa gadis kecil itu berbakat atlet. "Susunan urat dan otot, serta postur tubuhnya ideal," kata Yon Daryono, 41 tahun, tanpa bersedia mengungkapkan rahasia susunan urat dan otot yang penuh bakat itu. Olivia Nieszar -- nama itu diambil dari Olivia Hussey, artis cantik yang membintangi film Romeo and Juliet, favorit ayahnya -- memang tetap sama saja dengan anak-anak biasa. Misalnya dia senang main pasar-pasaran dengan adik-adiknya, atau bermain boneka. Dia tak berani pergi ke kamar mandi sendiri di malam hari. "Kalau mandi, masih minta ditemani adiknya, atau pintu kamar mandi harus dibuka," kata Purwanto Azhar 39 tahun, sang ayah yang karyawan PT Unilever cabang Semarang. Di klub Dragon, gadis itu ditempa secara spartan: berlatih tiga jam pagi dan sore selama tiga hari dalam seminggu. Porsi latihan ditambah menjadi setiap hari bila akan menghadapi kejuaraan. Oliv, misalnya, untuk menghadapi pertandingan harus berlari setiap hari 15 km, atau 90 km dalam sepekan. Tapi si kecil yang takut pada anjing itu tak gentar. Hari hujan pun dia memaksa berlatih. Dengan naik sepeda atau berlari ia menuju stadion Salatiga, 3 km dari rumahnya. "Mau saya antar dengan mobil, dia tak pernah mau," kata Purwanto. Adalah sang ayah juga yang mengatur gizi bagi sang anak. "Terus terang, saya memang bangga punya Oliv," kata penggemar olah raga lari itu. Di masa muda, Purwanto pernah menjadi atlet angkat besi, sekalipun tak pernah beken. Ayah ini tak mau pula putrinya berantakan di sekolah -- nilai Ebtanasnya kemarin rata-rata 7, dan kini dia sudah diterima di SMPN I Salatiga -- karena waktu sang anak banyak tersisa di sirkuit atletik Maka, guru les dipanggilnya ke rumah. Adalah pantas kalau jerih payah ini segera membuahkan hasil. Setelah menjagoi 14 kejuaraan lokal sepanjang 1986, Januari tahun ini nama Oliv mulai mencuat di arena pertarungan peringkat nasional, yaitu menjuarai sirkuit atletik Jawa-Bali. Itulah kejuaraan atletik yang diselenggarakan di berbagai kota di Jawa, tapi diikuti berbagai daerah luar Jawa dan kontingen atletik lainnya, seperti Polri, dan dijadikan PB PASI sebagai proyek memantau bakat. Bakat itu sudah kelihatan pada Oliv. Bagaimana menyepuhnya sampai mengkilap? Kekhawatiran Yon Daryono mengirimkan anak asuhnya ke Jakarta agaknya perlu diperhatikan. Ingat Welmince Sonbay? Pelari tanpa sepatu asal SoE, NTT, itu muncul ke permukaan pada PON Jakarta, 1981, ketika umurnya baru 13 tahun. Dia sempat menjadi pemegang rekor nasional lari 3.000 m. Tapi bertahun-tahun di Pelatnas, anehnya, prestasinya kian melorot. Dan menjelang penyusunan tim SEA Games, akhir tahun lalu, Welmince Sonbay, 19 tahun, dipulangkan ke kampungnya karena dianggap tak berprestasi. Jootje Gosal tak keberatan pada sikap atlet itu, asal mampu menjaga prestasinya di daerah. Sebab, semua atlet SEA Games, pertengahan bulan depan, akan dites lagi, dan bila prestasinya melorot, "Terpaksa namanya dicoret," ujarnya. Amran Nasution, Laporan Aries Margono & Rudy Novrianto
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini