Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sasa Zivkovic tegang duduk di depan televisi yang menyiarkan laga Bosnia-Herzegovina kontra Lituania di S. Dariaus ir S. Gireno Stadium, Kaunas, pertengahan Oktober lalu. Desainer grafis yang tinggal di Banja Luka ini harap-harap cemas menanti hasil akhir pertandingan. Jika menang, untuk pertama kali Bosnia-Herzegovina akan melenggang ke putaran final Piala Dunia.
Tepat di menit ke-68, pemain tengah Bosnia-Herzegovina, Vedad Ibisevic, mencetak gol ke gawang Lituania. Sasa dan teman-temannya langsung berjingkrak kegirangan. "Ini luar biasa! Kami tidak bisa tidak harus merayakan ini meski yang menang Bosnia," kata Sasa. Banja Luka, kota yang berada di Bosnia-Herzegovina bagian utara, berpenghuni mayoritas etnis Serbia. Pada masa perang antar-etnis 1992-1995, kota ini musuh utama etnis Bosnia.
Gol Vedad Ibisevic tersebut akhirnya menjadi satu-satunya yang tercipta dalam laga itu. Tapi ini sudah cukup mengantar Bosnia-Herzegovina langsung menuju putaran final Piala Dunia 2014 di Brasil. Sejarah baru pun ditabalkan! Tak aneh, kemenangan itu langsung disambut puluhan ribu orang, yang merayakannya di jalanan Laisves Aleja di Sarajevo.
"Kemenangan ini menyatukan kami," ujar Mela Softic, warga Sarajevo, kepada Reuters. "Kami tidak lagi peduli terhadap etnis karena kini kami bangga pada satu nama: Bosnia-Herzegovina."
Seorang pengacara beretnis Kroasia, Dragan Soldo, yang ikut turun ke jalan, mengiyakan: "Itu satu-satunya hal positif yang diraih negeri ini setelah perpecahan etnis dan politik yang terus terjadi."
Bosnia-Herzegovina berpenduduk tak kurang dari 3,8 juta jiwa. Sebanyak 48 persen di antaranya etnis Bosnia, sementara etnis Serbia berjumlah 37 persen, dan sisanya etnis Kroasia.
Meski etnis Bosnia menjadi mayoritas, tim nasional Bosnia-Herzegovina tak semata milik mereka. Sebab, pemain di tim ini juga ada yang beretnis Serbia dan Kroasia. Di mistar gawang, misalnya, berdiri kokoh Asmir Begovic, yang berdarah Bosnia. Di depannya ada Boris Pandza (Kroasia) dan Sasa Papac (Serbia). Keduanya kompak menjaga lini belakang bersama Emir Spahic (Bosnia).
Hasil kolaborasi mereka cukup yahud. Dari 10 laga di penyisihan grup, mereka hanya kebobolan 6 kali. Angka ini lebih keren ketimbang Jerman, yang kebobolan 10 gol.
Tak hanya di lini belakang, kombinasi antar-etnis terjadi di lini tengah dan depan, yang antara lain melibatkan gelandang serang Zvjezdan Misimovic (Kroasia) dan Edin Dzeko (Bosnia). ''Beberapa tahun lalu, mungkin Anda tidak bisa membayangkan orang Bosnia, Kroasia, dan Serbia bermain dalam satu tim," kata pelatih tim nasional Bosnia-Herzegovina, Safet Susic.
Ya, Susic memang merujuk pada periode kelam sepanjang 1992-1995, masa ketika orang saling bunuh hanya karena perbedaan etnis. Perang brutal itu menewaskan sedikitnya 200 ribu orang dan membuat 2 juta orang mengungsi.
Edin Dzeko masih mengingat kisah tragis tersebut. Saat perang pecah, usianya baru 6 tahun. Dia mendapati rumahnya hancur dibom sehingga keluarganya harus mengungsi ke rumah kakeknya. "Ibu menarik saya dari lapangan dan beberapa menit kemudian sebuah bom meledak di sana," ujar Dzeko. "Di rumah Kakek, saya berbagi ranjang dengan 15 orang."
Asmir Begovic lebih beruntung. Tak seperti Dzeko yang terjebak di Sarajevo, ia diungsikan ibunya ke Kanada saat berusia 10 tahun. "Kami kehilangan segalanya. Saya masih menderita trauma," kata Begovic.
Pemain lain di tim nasional saat ini nyaris punya kisah mirip. Kebanyakan dari mereka mesti mengungsi ke luar negeri untuk menyelamatkan diri. Vedad Ibisevic dan Senad Lulic, misalnya, lari ke Swiss. Sedangkan Miralem Pjanic, Sejad Salihovic, dan Emir Spahic hijrah ke Jerman. Adapun Haris Medunjanin ngungsi ke Belanda.
Di tempat pelarian, para bocah itu berlatih sepak bola di akademi setempat. Bakat mereka rupanya cukup mengkilap, sehingga tim-tim elite Eropa meminang mereka. Miralem Pjanic dan Senad Lulic diboyong AS Roma dan Lazio, Italia. Vedad Ibisevic direkrut klub asal Jerman, Stuttgart, dan Emir Spahic ditarik Bayer Leverkusen.
Adapun Asmir Begovic dan Edin Dzeko sukses main di Liga Primer Inggris. Begovic dibeli Stoke City, sementara Dzeko dikontrak Manchester City. Para eksil ini kemudian dijuluki "Generasi Emas" Bosnia-Herzegovina.
Pada 2004, bersama sebagian besar pengungsi, mereka kembali ke Bosnia. Meski perang telah usai satu dekade sebelumnya, BosÂnia-Herzegovina tetaplah negeri yang muram. Ekonomi berantakan, pengangguran menembus angka 45 persen, dan kebencian antar-etnis belum sepenuhnya pupus. Trauma masih bercokol dan dendam masih membara di hati banyak orang.
Ini, misalnya, terlihat dari seringnya bentrok antarpendukung tim sepak bola yang main di kompetisi liga utama di Bosnia-Herzegovina, The BH Telecom Premier League. Liga ini diikuti 16 klub, yang mewakili tiga etnis utama: Bosnia, Serbia, dan Kroasia.
Klub FK Zeljeznicar Sarajevo, FK Velez Mostar, dan FK Sarajevo mewakili etnis Bosnia. Etnis Serbia mendukung FK Borac Banja Luka, FK Slavija, dan FK Drina Zvornik. Adapun etnis Kroasia bergabung dalam klub NK Siroki Brijeg dan HSK Zrinjski Mostar.
Gampang ditebak, setiap klub memiliki pendukung fanatik. Akibatnya, lapangan sepak bola kerap mereka jadikan arena tinju massal. Insiden terakhir terjadi April lalu, saat klub NK Zeljeznicar Sarajevo dan Borac Banja Luka bertemu. Hasilnya: 35 orang cedera berat dan 7 polisi dirawat di rumah sakit!
Etnis Kroasia yang mendukung klub Siroki Brijeg tak mau kalah. Mereka kerap mengibarkan bendera Nazi di stadion—sebelum bentrok dengan pendukung Borac Banja. "Ini menunjukkan luka akibat trauma perang dan dendam belum benar-benar pulih," kata aktivis hak asasi manusia dari Banja Luka, Aleksandra Letic.
Tak hanya lapisan bawah, petinggi sepak bola di negeri itu pun terbelah. Pada 2011, Federasi Sepak Bola Bosnia-Herzegovina (NSBIH) pecah menjadi tiga: Federasi Sepak Bola Bosnia, Federasi Sepak Bola Serbia, dan Federasi Sepak Bola Kroasia.
Perpecahan terjadi karena setiap etnis meÂrasa berhak duduk di kursi presiden federasi. Sikap sama-sama ngotot ini berÂakhir tragis: pada April 2011, Federasi AsosiaÂsi Sepak Bola Internasional (FIFA) menjatuhkan sanksi larangan bertanding kepada tim nasional sampai mereka bersatu lagi.
Sanksi itu manjur. Dua bulan setelah hukuman dijatuhkan, ketiga etnis sepakat merotasi jabatan presiden federasi. Perwakilan setiap etnis akan menjabat presiden federasi selama 18 bulan. FIFA pun membuka gembok larangan, dan Bosnia-Herzegovina boleh bertanding lagi di arena internasional.
Dulu persaingan etnis itu juga kerap dibawa pemain nasional ke lapangan. Tapi Miroslav Blazevic, pelatih tim nasional sebelum Safet Susic, mampu melumerkan batas-batas purba itu. "Saya tahu mereka berasal dari tiga etnis dengan sejarah konflik yang menyakitkan," ujar Blazevic. "Karena itu, hal pertama yang saya tanamkan pada mereka adalah tim nasional merupakan zona damai. Tak boleh ada konflik di sini!"
Blazevic juga punya strategi unik. Dia meminta para pemain lebih banyak mengumpan ketimbang sok-sokan pamer keterampilan individu. Hal ini membuat pemain lebih sering berinteraksi. Kerja sama tim pun terjalin.
Saringan ketat yang dilakukan Blazevic juga membuat pemain berusaha tampil sebaik mungkin agar terpilih. Akibatnya, mereka tak punya waktu mengurusi siapa beretnis apa.
Latar belakang pemain yang besar di luar Bosnia-Herzegovina juga membuat sikap toleran cepat tumbuh. Mereka, misalnya, tak harus terjebak pada klub-klub lokal yang sangat kental ikatan etnisnya. "Saya bangga karena bisa membuat mereka melupakan trauma dan dendam. Anda bisa melihat mereka bermain sangat kompak," kata Blazevic. "Itu sesuatu yang belum bisa dilakukan politikus di negeri ini."
Edin Dzeko mengakui konsep yang diterapkan Blazevic sukses menyatukan pemain. "Tidak peduli apakah saya muslim (Bosnia) atau Kroasia (Katolik) atau Serbia (Kristen Ortodoks). Kami adalah satu," ujar Dzeko.
Namun Blazevic akhirnya harus mengundurkan diri ketika gagal membawa timnya melewati babak playoff Piala Dunia 2010. Saat itu langkah mereka dijegal Portugal. Safet Susic, yang menjadi penggantinya pada Desember 2009, meneruskan ikhtiar Blazevic. Setahun setelah kegagalan itu, Bosnia-Herzegovina tampil gemilang di babak penyisihan grup Piala Eropa 2012. Namun, lagi-lagi, langkah negara itu dihentikan Portugal di babak playoff.
Hal itu membuat Bosnia-Herzegovina menjadi spesialis playoff. Tapi, pertengahan Oktober lalu, saat negara itu mengandaskan Lituania, kutukan tersebut berÂakhir. Kini Bosnia-Herzegovina siap menunjukkan siapa dirinya di Brasil 2014. Menteri Luar Negeri Bosnia-Herzegovina Zlatko Lagumdzija memuji: "Tim ini adalah model terbaik dari negeri kami. Mereka bisa melupakan apa yang telah terjadi dan bersama-sama menatap masa depan baru."
Presiden FIFA Sepp Blatter, saat berkunjung ke Sarajevo sepekan sebelum Bosnia-Herzegovina lolos ke Brasil, berkata, "Tim ini menjadi simbol rekonsiliasi dan persatuan dari semua etnis di negeri ini. Sekali lagi, sepak bola menunjukkan kekuatannya."
Blatter benar, sepak bola adalah tuah untuk mengatasi setiap perbedaan, yang bahkan sulit diatasi para politikus.
Dwi Riyanto Agustiar (Reuters, Guardian, Telegraph, Sport Illustrated, World Soccer)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo