Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JALANAN
Sutradara/produser: Daniel Ziv,
Editor: Ernest Hariyanto,
Tokoh: Ho, Titi, dan Boni,
Durasi: 107 menit
Di Ubud, kita mengenal anak-anak jalanan Jakarta. Ho, Titi, dan Boni mengguncang kenyamanan hati kita. Enam ratus penonton yang berdesakan di halaman Museum Antonio Blanco, Ubud, menyaksikan film dokumenter Jalanan karya Daniel Ziv. Di udara terbuka, di bawah bintang, mereka menyaksikan kisah tiga pengamen yang hidup dan bercinta di jalan-jalan Jakarta. Alangkah ganjilnya kita, orang-orang Jakarta (dan mereka, para turis serta penulis Australia dan Amerika), yang datang ke Ubud Writers & Readers Festival 2013 malah mengenal sesuatu yang intim tentang urat nadi Jakarta melalui tiga pengamen yang begitu sederhana, tapi begitu kuat.
Enam tahun silam, setelah menggaruk uang pribadi dan membeli kamera, Daniel Ziv, yang sebelumnya dikenal sebagai editor majalah Djakarta dan penulis buku Jakarta Inside Out, mengaku ingin membuat film dokumenter yang bersahaja tentang pengamen Jakarta dan kisah hidup mereka sehari-hari. "Saya sengaja mencari pengamen yang memiliki suara yang cukup bagus, bisa mencipta lagu, dan memiliki kepribadian yang karismatik," kata Ziv.
Ternyata keinginan yang sederhana akhirnya menjadi membesar dan mendalam. "Saya menyadari bahwa saya berhadapan dengan cerita yang menarik tentang Indonesia: sebuah snapshot masa pascareformasi dari pandangan orang-orang yang ikut merayakan kemerdekaan dan globalisasi, tapi sama sekali tidak memperoleh keuntungan apa pun dari fenomena itu." Ziv merekam perjalanan mereka selama empat tahun dan dua tahun terakhir adalah proses editing dan musik. "Saya didukung seorang editor yang luar biasa: Ernest Hariyanto."
Maka, dalam pemutaran perdana film ini di Ubud Writers Festival pekan lalu, kita tak hanya menyaksikan kemiskinan kehidupan urban; bukan hanya mengulang pemandangan kemacetan di Jakarta yang setiap hari kita maki dan cerca, juga bukan persoalan klasik bagaimana menghadapi sapaan di jendela mobil dari pengamen, peminta sumbangan, tukang koran, dan penjual air mineral botol, yang oleh wartawan diletakkan dalam parentesis sebuah kalimat.
Ziv merontokkan parentesis itu dan menyorong tiga pengamen tersebut sebagai orang-orang Jakarta yang penting. Lensa Ziv begitu fokus sehingga Ho, Titi, dan Boni tiba-tiba bukan hanya bagian dari statistik, melainkan menjadi orang-orang Jakarta yang begitu hidup dan memberi harapan.
Ho adalah pengamen yang bukan hanya berpenampilan unik: bertubuh kurus dan berambut gimbal serta berceloteh tanpa rem dan rasa sungkan. Nama aslinya Bambang Sri Mulyono. Tapi dia berkata ia dipanggil "Ho" entah bagaimana sejarahnya. "Kawan saya mengatakan, dalam bahasa Inggris, 'Ho' artinya pelacur. Gue memang pelacur, sih," ucapnya dengan nada enteng. "Tapi pelacur seni. Itu kan profesi yang paling jujur melacurkan diri," dia menjelaskan konsep "pelacuran" yang dilakukannya untuk mencari nafkah. Ho menghampiri konsumen untuk menjual suaranya, dan musiknya adalah bentuk "pelacuran" yang jauh lebih jujur daripada korupsi. Ucapan si rambut gimbal bersuara serak dihajar ledakan tawa penonton yang menyaksikan film ini dengan intens.
Meski lucu, Ho tidak disajikan sebagai bagian dari komedi putar Jakarta. Ziv jelas ingin memperlihatkan betapa cerdasnya ketiga pengamen ini; kecerdasan yang mereka asah karena tumbuh dan hidup di jalan. Tentu saja Ho adalah lelaki yang butuh seks—adegan tawar-menawar dengan pelacur yang sungguh lucu—dan ingin berumah tangga suatu hari.
Ho juga memberi komentarnya yang kritis tentang berbagai kelompok demonstran yang menjerit-jerit minta keadilan. Di tengah protes itu, Ho dan gitarnya menatap dengan wajah penuh tanda tanya. "Halah," katanya memoncongkan bibirnya saking jengkel, "itu jerit-jerit paling karena tidak dapat bagian saja."
Ho, seperti yang diucapkan penyair GoeÂnawan Mohamad, yang ikut menyaksikan sembari berdesakan bersama penonton lain, "Sangat fasih berbicara dan mengagumkan." Bukan hanya itu. Penonton kemudian dengan mudah memihak kepadanya, kepada keinginannya memiliki cinta, dan ketika dia dengan polos menyatakan cinta kepada seorang perempuan beranak tiga justru karena ia begitu jujur dan blakblakan. Tanpa rencana, tanpa siasat, begitu saja Ho mengajukan keinginannya membuhulkan hubungan dengan perempuan yang sudah lama diincarnya, dan sang perempuan tersipu-sipu, wajahnya merekah. Lucu, intim, sekaligus hangat.
Sementara Ho seolah-olah mengarungi hidup di jalanan dengan enteng, Titi yang bersuara bagus itu menghadapi hidup penuh gerunjal. Ibu tiga anak yang kini terpisah-pisah itu bercerita bagaimana dia meÂrindukan anak-anaknya—satu di Kalimantan, satu di Jawa Timur, dan yang terakhir di Jakarta menetap bersamanya. Ketimbang berduka lara, Titi memilih bernyanyi lagu ciptaannya atau lagu iklan sebuah harian di atas bus, yang kemudian memberinya imbalan yang cukup sehingga dia bisa mengirim duit ke kampung.
Titi juga tokoh yang disayangi penonton. Hampir setiap kali dia mengucapkan sesuatu atau setelah menyanyi, pastilah penonton menghujaninya dengan tepuk tangan. Titi tahu dia harus menyesuaikan penampilan saat ia melalui gang-gang "konservatif" di Jakarta. Dan Titi juga tahu di mana dia bisa tampil santai dengan jins dan T-shirt sembari meraungkan suaranya yang sungguh merdu itu. Jika Titi muncul di layar, dengan segala kesulitan yang dihadapinya, dia seperti selajur cahaya matahari yang menerangkan hati yang muram.
Rangkaian adegan film ini begitu mulus, disunting dengan rapi hampir mirip sebuah film cerita—dan kita hampir lupa ini adalah sebuah dokumenter—hingga salah seorang penulis berbisik "apakah bagian itu diatur sutradara?" ketika layar menghadirkan adegan salah satu pengamen yang dipenjara setelah disikat dan dibersihkan dari jalanan. "Tidak. Semuanya betul-betul berjalan alamiah tanpa skenario. Saya mengikuti mereka saja," jawab Daniel Ziv sembari menceritakan bagaimana sudah dua tahun dia mendengar razia Satuan Polisi Pamong Praja yang selalu membuat hidup para pengamen dilanda rasa takut. "Saya memang berada bersama dia malam itu. Dan, ketika mereka terciduk, saya ikut hingga ke dalam tahanan," kata Ziv. Tentu ada teknis khas jurnalistik investigasi yang digunakan Ziv agar dia bisa merekam itu semua.
Boni adalah pengamen yang berlindung di bawah jembatan. Cita-citanya adalah hidup bersama perempuan yang dicintainya hingga akhir hayat di sebuah rumah sederhana. Cita-cita sederhana, keinginan bersahaja, tapi tetap menjadi sebuah impian mewah. Mungkin, untuk mewujudkan mimpi itu, dia dibantu Ho mengecat dinding bawah jembatan. Mereka menanam rumput palsu di pinggiran dan menulis nama sebuah hotel mewah di dinding kolong jembatan. Keren, lucu, dan penuh ironi.
Boni tak sungkan nyelonong masuk mal mewah untuk numpang buang air besar. "Tahi orang asing, tahi orang kaya, orang miskin, semua bersatu. Orangnya saja yang tidak menyatu," ujarnya enteng. Keluar dari mal, dia menggerutu betapa joroknya mal semewah itu tidak menyediakan alat pembilas. Menurut Boni, "Karena orang asing pakai kertas tisu...." Dia cekikikan.
Ho, Titi, dan Boni menguak Jakarta dan sama sekali tak ingin dikalahkan oleh kemiskinan dan kebodohan. Ziv menunggu begitu lama, merekam akhir dari cerita ketiga warga Jakarta ini dengan mengharukan. Film ini, meski tetap kritis, menolak meratap dalam kekelaman Jakarta. Jika para penonton di halaman Museum Antonio Blanco bertepuk tangan dan berdiri menghormati tim Daniel Ziv dan ketiga penyanyi, bukan hanya karena Jalanan film yang bagus, melainkan juga lantaran harapan yang ditiupkan film ini adalah sesuatu yang segar.
Leila S. Chudori
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo