Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SEPERANGKAT komputer berbasis Linux, kabel USB, antena, kartu SIM, telepon seluler, universal software radio peripheral (USRP), dan beberapa software itu berjejalan di atas meja. "Inilah yang dibutuhkan untuk membuat sebuah OpenBTS," kata Onno Widodo Purbo, pakar di bidang teknologi informasi, saat ditemui di rumahnya di Cempaka Baru, Jakarta, pekan lalu.
Onno sudah hafal di luar kepala cara merangkai dan menjalankan alat tersebut. Maklum, sudah sekitar empat tahun ia getol memperkenalkan teknologi yang memungkinkan orang menelepon lewat ponsel tanpa perlu pulsa alias gratis itu. "Paling cocok digunakan di wilayah pelosok yang sulit terjangkau jaringan seluler," ujarnya.
Open Base Transceiver Station (OpenBTS) merupakan aplikasi yang berjalan pada platform Linux, software atau perangkat lunak terbuka. Lantaran terbuka dan gratis, perangkat ini disebut OpenBTS. Bandingkan OpenBTS buatan Onno dengan BTS milik operator-operator seluler. Untuk mendirikan menara BTS, operator seluler setidaknya membutuhkan lahan minimal 25 meter persegi dengan biaya pemasangan lebih dari Rp 1 miliar. Onno cuma butuh satu meja dengan biaya total tak sampai Rp 25 juta.
Hal terpenting agar OpenBTS berfungsi adalah USRP. Alat inilah yang bertugas memancarkan sinyal jaringan seluler standar GSM. Sedangkan untuk menyambungkan OpenBTS dengan jaringan telepon lain, seperti public switched telephone network atau operator telekomunikasi lainnya, dibutuhkan software pendukung. Yang jamak digunakan adalah Asterisk. "Saya lebih suka memakai Yate karena lebih ringan dan sederhana," ucap Onno.
Berbeda dengan sambungan telepon biasa yang menggunakan sirkuit analog, OpenBTS memakai teknologi Voice over Internet Protocol (VoIP). Ini adalah teknologi yang memungkinkan percakapan suara jarak jauh dilakukan melalui Internet. Caranya, suara diubah menjadi kode digital dan dialirkan melalui jaringan yang mengirimkan paket data.
OpenBTS pertama kali dikembangkan oleh Harvind Samra dan David A. Burgess dari Range Networks. Mereka menilai biaya layanan jaringan GSM di negara berkembang, terutama wilayah pedesaan, terlalu mahal dan perlu dipangkas. Seharusnya, menurut mereka, biayanya bisa ditekan hingga di bawah US$ 1 per bulan per pelanggan.
Layanan berbiaya murah, bahkan gratis, inilah yang dicoba diperkenalkan Onno di Indonesia. Awalnya Onno mengetahui teknologi OpenBTS secara tak disengaja. Suatu hari ia iseng berselancar di dunia maya. Lantas ia menemukan tautan ke sebuah artikel mengenai teknologi BTS yang menggunakan perangkat lunak gratis.
Lantaran penasaran, Onno mencoba membuatnya. Sayang, saat itu dia tak punya dana untuk membeli komponen, terutama USRP. Tekadnya memboyong teknologi ini ke Tanah Air kian bulat tatkala ia diundang menghadiri workshop di Thailand untuk berbagi ilmu membuat jaringan Internet murah menggunakan perkakas rumah tangga.
Pucuk dicita ulam tiba, seorang profesor peserta workshop ternyata ada yang memiliki USRP. "Saya langsung pinjam alat itu dan saya coba di hotel. Satu per satu hasilnya saya catat." Sepulang dari Thailand, Onno mengajak beberapa rekannya membahas teknologi OpenBTS. Hanya, lagi-lagi mereka tak memiliki USRP sebagai perangkat dasar untuk diuji coba.
Keinginan Onno membuat OpenBTS di Indonesia rupanya terdengar oleh Yayasan AirPutih, organisasi nirlaba yang bergerak dalam bidang pemberdayaan teknologi informasi berbasiskan perangkat lunak terbuka. Yayasan tersebut lantas memesan satu unit USRP dari Amerika Serikat dan meminjamkannya kepada Onno.
Tak lama kemudian, giliran Ford Foundation yang mendatangkan lima unit USRP. Dua unit dipinjamkan kepada Onno, yang lain disimpan di Information and Communication Technology Watch Indonesia untuk keperluan edukasi. Hingga kini, peralatan OpenBTS yang dipakai Onno adalah milik ICT Watch yang didanai oleh Ford Foundation.
Untuk merangkai OpenBTS tak diperlukan perangkat mahal. Pada taraf uji coba, USRP yang digunakan pun yang sederhana dan murah, yakni seharga Rp 12-15 juta. Biaya lain adalah pembelian perangkat komputer dan ponsel, yang juga tak mahal. Hanya, sayang, USRP sederhana ini berdaya listrik 0,1 watt sehingga jangkauannya cuma 10-20 meter, tak lebih dari itu. "Tapi jangkauan bisa diperluas kalau pakai amplifier, yang dayanya bermacam-macam. Ada yang 50 watt," kata Onno. Kelemahan lain: sementara ini untuk berkomunikasi hanya bisa dilakukan dengan sesama ponsel yang terkoneksi dalam satu jaringan OpenBTS.
Secara umum, perangkat yang dibutuhkan ada dua, yakni perangkat keras OpenBTS untuk membuat sinyal GSM dan perangkat lunak Yate untuk mengubah komputer menjadi sentral telepon. Yate bisa didapat secara gratis. "Tak banyak yang harus dikonfigurasi. Cuma, kita perlu set BTS apa nama operatornya, di frekuensi berapa, dan channel berapa," Onno menjelaskan.
Konfigurasi di sentral telepon pun tak banyak. Menurut dia, yang diperlukan hanya memberi tahu nomor telepon tertentu milik ponsel yang mana. "Yang penting kita harus tahu telepon atau SMS yang dikirim rutenya ke mana," dia menambahkan.
Perbedaan mendasar antara OpenBTS dan BTS milik operator penyedia jaringan seluler terletak pada penggunaan perangkat keras. Jaringan BTS milik operator lebih banyak terdiri atas perangkat keras. Sedangkan OpenBTS sebagian besar mengandalkan konfigurasi dari perangkat lunak yang bisa diakses secara gratis dan terbuka. Tentu saja penggunaan perangkat keras oleh operator ini menjadikan daya pancar sinyal lebih kencang, kapasitas lebih besar, dan jangkauan lebih luas.
Empat tahun lebih Onno mengembangkan dan menyebarkan ilmu OpenBTS. Sayang, selama itu teknologinya hanya bisa berjalan di jaringan 2G, yang lebih lamban ketimbang 3G. Namun, dalam dua bulan terakhir, ia berhasil meningkatkan jaringan OpenBTS menjadi GPRS atau 2,5G. "Masih baru. Ini karena software-nya sudah ada penambahan."
Perkembangan OpenBTS di Tanah Air rupanya sudah lama diketahui oleh operator seluler. Telkomsel, misalnya, mengapresiasi perkembangan teknologi tersebut. Bahkan operator pelat merah ini tak merasa terancam oleh keberadaan OpenBTS untuk beberapa alasan, terutama dari sisi belum adanya regulasi terkait dengan pengembangannya. Kekurangan lain: spektrum yang digunakan adalah frekuensi berlisensi sehingga penggunaannya harus mendapatkan izin dari pemerintah dan membayar lisensi bandwidth.
Menurut Adita Irawati, Head of CorpoÂrate Communications Group Telkomsel, implementasi OpenBTS harus mendapatkan persetujuan dari pemerintah karena akan berdampak langsung pada pendapatan pemerintah dalam sektor pajak dan pembayaran biaya hak penggunaan frekuensi. "Jika OpenBTS dapat berkembang dengan skala yang lebih besar, diproduksi secara masif, lebih aman, dan memiliki roadmap yang jelas, tidak tertutup kemungkinan operator seluler juga dapat mengadopsi teknologi tersebut," ujar Adita melalui e-mail.
Operator seluler XL juga mengaku tak merasa terancam selama teknologi OpenBTS belum diatur regulasi khusus. "Sepanjang regulasi belum mengatur perkembangan teknologi ini, bukan hanya operator yang akan dirugikan, melainkan juga negara karena terkait dengan pemanfaatan frekuensi dan sumber daya terbatas lainnya," kata Irawan Delfi, General Manager PMO Implementation & Operation XL.
Onno bukan tak menyadari kendala regulasi masih menjadi penghadang OpenBTS. Sebab, untuk menjalankan jaringan GSM melalui teknologi OpenBTS, frekuensinya masih menumpang milik operator seluler. Pada 2012, ia pernah mengajukan sejumlah permintaan kepada Menteri Komunikasi dan Informatika Tifatul Sembiring sebagai payung hukum penggunaan jaringan OpenBTS. Hasilnya nihil.
"Padahal saya sudah mention Pak Menteri lewat Twitter dan mengirim e-mail langsung ke beberapa pejabat Kominfo. Hanya, tak ada yang berani jawab. Ada satu orang dari Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia yang balas e-mail saya, itu pun tak berlanjut," ujarnya.
Pria kelahiran Bandung, 17 Agustus 1962, ini mengkritik sikap pemerintah yang terkesan tidak berpihak kepada masyarakat. Padahal, menurut Onno, jaringan telekomunikasi termasuk hak asasi manusia yang harus dipenuhi pemerintah. Menurut dia, kesalahan fatal pemerintah adalah mengalokasikan semua frekuensi GSM ke operator seluler komersial.
Operator yang mendapat jatah alokasi frekuensi inilah yang wajib memberikan layanan telekomunikasi ke seluruh wilayah Indonesia. Kenyataannya, masih banyak daerah yang belum terjangkau sinyal telepon. "Di Papua, ponsel fungsinya cuma sebagai MP3 player (pemutar musik) karena tidak ada sinyal. Seharusnya pemerintah segera membuat regulasi sehingga OpenBTS bisa masuk ke daerah-daerah yang tidak diminati operator," katanya.
Rosalina
BTS Konvensional
Operator seluler setidaknya membutuhkan lahan minimal 25 meter persegi dengan biaya pemasangan BTS lebih dari Rp 1 miliar. OpenBTS butuh satu meja dengan biaya total tak sampai Rp 25 juta.
OpenBTS
Open Base Transceiver Station (OpenBTS) merupakan aplikasi yang berjalan pada platform Linux, software atau perangkat lunak terbuka. Teknologi ini memungkinkan orang menelepon lewat ponsel tanpa perlu pulsa alias gratis.
Komputer
Komputer berbasis Linux digunakan menjadi sentral telepon dengan perangkat lunak Asterisk atau Yate.
Telepon Seluler
Nomor identifikasi di kartu SIM ini akan didaftarkan pada sentral OpenBTS dan kemudian diberi nomor sendiri. Lalu telepon dan SMS bisa dilakukan dengan lancar dalam jaringan lokal yang dibentuk OpenBTS.
USRP
USRP atau universal software radio peripheral. Alat inilah yang bertugas memancarkan sinyal jaringan seluler standar GSM.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo