Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Kesehatan

Seperti 33 Boeing yang Jatuh

Jumlah ibu yang meninggal saat melahirkan meningkat drastis. Penyebabnya dari salah urus otonomi daerah sampai pemahaman agama yang keliru.

28 Oktober 2013 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dokter Dwiana Ocvyanti, 52 tahun, hanya bisa mengelus dada ketika pasiennya yang berusia 19 tahun datang untuk memeriksakan kehamilannya yang keempat di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Dilihat dari wajahnya yang pucat serta tubuhnya yang kurus kecil, pasien itu diprediksi dokter Ocvy kurang nutrisi dan terkena anemia sehingga tampak selalu lelah.

"Saya sudah memberi tahu dia sebelumnya untuk jangan hamil lagi atau tunda dulu, karena fisiknya tidak kuat. Tapi dia dan suaminya tetap nekat," kata konsultan obstetri ginekologi sosial Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia itu ketika dijumpai Tempo pekan lalu.

Ibu muda—di bawah 20 tahun—yang berisiko tinggi mengalami komplikasi pada saat persalinan tidak hanya kerap ditemukan Ocvy. Bahkan, bukannya berkurang, risiko itu meningkat belakangan ini. Hasil Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) yang diumumkan pada September lalu menyebutkan rasio angka kematian ibu naik menjadi 359 per 100 ribu kelahiran. Jauh lebih tinggi ketimbang hasil survei 2007 yang hanya 228 per 100 ribu kelahiran.

Angka kematian ibu adalah kematian wanita yang terjadi pada saat kehamilan atau dalam 42 hari setelah berakhirnya kehamilan (melahirkan atau keguguran). Jika dihitung berdasarkan angka kelahiran total sepanjang 2012 yang mencapai 4,5 juta, dengan rasio tersebut diperkirakan ada 15 ribu ibu yang meninggal karena melahirkan. "Kalau diibaratkan dengan kecelakaan pesawat, ini seperti 33 pesawat Boeing berkapasitas 450 orang yang jatuh dalam setahun. Besar, tapi tanggapannya begini saja," ujar Ocvy.

Direktur Bina Usaha Kesehatan Kementerian Kesehatan Akmal Taher ragu terhadap hasil survei tersebut, karena metode sampling masih berisiko memiliki kesalahan besar. Ia berpatokan pada data yang dimiliki Kementerian Kesehatan. Menurut data itu, jumlah ibu hamil yang meninggal pada 2012 sebanyak 4.986 jiwa. Meski begitu, ia mengaku angka kematian ibu melahirkan masih cukup tinggi dan sulit mengejar target Millennium Development Goals yang 102 per 100 ribu kelahiran.

Artinya, data itu tetap mengejutkan. Dengan kemajuan ilmu kedokteran, pelayanan kesehatan yang lebih merata, dan semakin banyaknya layanan pengobatan gratis dari pemerintah, seharusnya angka itu menurun. Atau, sesial-sialnya, tidak meningkat.

Sayangnya, tidak ada yang bisa menjawab dengan pasti penyebab meningkatnya jumlah kematian ibu hamil. Memang ada angka mengenai faktor utama penyebab kematian tersebut. Tapi itu tidak menjawab pertanyaan kenapa keadaan saat ini lebih buruk.

Deputi Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Julianto Witjaksono memperkirakan hal tersebut terjadi karena berkurangnya sosialisasi tentang perencanaan kehamilan yang dulu gencar dilakukan. "Tidak ada lagi sistem yang mengingatkan mereka soal ini. Padahal dulu sistem itu begitu terbangun hingga tingkat desa dan kelurahan," kata Julianto.

Menurut dia, sosialisasi mulai kendur sejak diterapkannya sistem otonomi daerah. Sejak saat itu, kewenangan pengelolaan kesehatan masyarakat dilimpahkan ke pemerintah daerah, termasuk soal kesehatan ibu dan anak. Dampak kendurnya sosialisasi ini cukup signifikan. Sebab, berdasarkan catatan BKKBN, penggunaan pil KB merosot hingga 60 persen dalam beberapa tahun terakhir.

Lalu apa hubungan antara merosotnya penggunaan pil KB dan tingginya angka kematian ibu hamil? Hubungannya terletak pada faktor utama penyebab tingginya kematian itu. Direktur Bina Kesehatan Ibu Kementerian Kesehatan Maya Koemara Sakti memaparkan kematian ibu bisa terjadi karena empat faktor. "Si ibu terlalu tua untuk hamil, terlalu muda, terlalu sering hamil, atau jarak hamil terlalu dekat," ucapnya.

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan 2012, wanita berusia di bawah 20 tahun hanya menyumbang 6,9 persen dari keseluruhan ibu hamil yang meninggal. Artinya, faktor si ibu terlalu muda tidaklah dominan. Sebagian besar (65,2 persen) justru berada pada rentang usia yang "aman", yaitu 20-35 tahun. Berarti peningkatan risiko itu bukan berkaitan dengan usia, melainkan karena frekuensi yang terlalu sering dan jarak hamil yang terlalu dekat.

Menurut Ocvy, pemerintah selama bertahun-tahun mensosialisasi program Keluarga Berencana dan anjuran untuk menghindari kehamilan usia dini. Setelah reformasi, fenomena tokoh masyarakat dan agama yang menikah atau menikahkan putra-putrinya di bawah usia 20 tahun justru semakin marak. Begitu juga tokoh politik dan agama yang membuat istrinya memiliki anak dalam jumlah banyak. "Itu disiarkan, kemudian dicontoh. Bahkan ada lho ibu yang melahirkan hingga 26 anak dan baru berhenti ketika si suami meninggal," kata Ocvy.

Hal ini menjelaskan kenapa angka kematian ibu terbesar sepanjang 2012 justru tercatat di Pulau Jawa, yang memiliki pelayanan kesehatan jauh lebih baik daripada pulau lain. Jawa Barat menjadi juara dengan total kematian 781 kasus, disusul Jawa Tengah dengan 675 kasus.

Kendurnya sosialisasi tidak hanya disebabkan oleh ketidakpedulian pejabat daerah setelah otonomi. Menurut Ocvy, tak jarang sosialisasi mengenai pencegahan kehamilan di usia muda dan penggunaan alat kontrasepsi ditentang oleh kelompok yang memandang pendidikan tentang kesehatan reproduksi dan kontrasepsi remaja merupakan hal yang tabu.

Sosialisasi ini penting karena, menurut Akmal, pendidikan masih menjadi faktor menentukan dalam risiko kematian ibu melahirkan. Dari semua ibu yang meninggal karena melahirkan pada 2012, sebesar 60,9 persen hanya mengenyam pendidikan sekolah dasar. Meskipun begitu, angka tersebut belum diketahui apakah lebih baik atau buruk ketimbang periode sebelumnya.

Masalah berikutnya yang menjadikan angka kematian ibu naik, menurut Julianto, adalah masalah biaya atau ekonomi. Tak bisa disangkal bahwa biaya persalinan dan pemeriksaan kehamilan memang lumayan tinggi. Karena itu, pemerintah berupaya memangkas hambatan ini dengan menerbitkan jaminan persalinan dan jaminan kesehatan lainnya.

Sayang, jaminan kesehatan ini justru pada prakteknya menjadi penghambat dalam penanganan pasien yang terkena komplikasi persalinan. Pasien yang menderita komplikasi ini harus ditangani lebih serius, tapi mereka terlambat mendapatkan pelayanan kesehatan karena banyaknya jumlah pasien. "Pasien sudah berbondong-bondong ke dokter atau puskesmas, tapi ternyata sistem pencairannya tidak mulus, klaimnya ada yang baru bisa dibayar satu tahun kemudian, dan itu berefek pada kinerja tenaga kesehatannya," tutur Julianto.

Akhirny,a sistem rujukan pun semakin berbelit. Hal itu sangat disayangkan mengingat dana untuk persalinan ini sudah disiapkan oleh pemerintah sebesar Rp 1,5 triliun, tapi terhambat pada tahap eksekusi di tingkat pemerintah daerah.

Segala birokrasi yang berbelit itu telah menyebabkan banyak nyawa melayang.

Gustidha Budiartie

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus