Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Olahraga

Harmoni di Ruang Ganti

Empat penyerang terbaik berdesakan di Barcelona. Frank Rijkaard harus bekerja keras mengatur mood dan menampung ego pemainnya.

27 Agustus 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

STEPHEN Frail sempat tidak percaya dengan pemandangan yang ada di depan matanya. Ribuan orang berjubel memenuhi Murrayfield, kandang klub Hearts, Skotlandia. ”Sumpah, ini sangat fantastis,” kata asisten pelatih Hearts itu.

Selama 75 tahun, baru sekarang inilah stadion itu dipenuhi 53.200 penonton. Terakhir, jumlah penonton yang sama terjadi saat digelar kejuaraan Piala Skotlandia pada 1932. Nah, akhir Juli lalu, peristiwa itu terulang lagi. Padahal malam itu hanyalah pertandingan ekshibisi.

Magnet itu adalah Barcelona. Menjelang kompetisi yang mulai bergulir pekan lalu, klub Catalan itu mengadakan tur enam hari ke Skotlandia. Rupanya, penonton ingin menyaksikan kehebatan tim asuhan Frank Rijkaard itu, terutama sejak kehadiran Thierry Henry. Titi—nama sayangnya—yang dibeli seharga Rp 300 miliar Juni lalu, tak pelak membuat pasukan Biru-Merah itu menjadi sorotan. Barcelona menjadi satu-satunya klub dengan empat penyerang paling berbahaya di planet ini.

Siapa yang tak kenal Ronaldinho, 27 tahun, yang mencetak 62 gol sejak bergabung dengan Barca pada 2003? Lalu adakah yang menyangsikan kecepatan Samuel Eto’o, 26 tahun, pencetak 61 gol dalam empat musim? Ia juga menjadi top scorer Liga Spanyol musim 2005/2006. Siapa pula tak tahu soal dribble Lionel Messi, 20 tahun—yang dianggap sebagai jelmaan baru Maradona dalam fisik lebih sempurna?

Henry, 30 tahun, menjadi penyempurna. Ia total mencetak 174 gol selama delapan musim di Arsenal sekaligus menjadi pencetak gol terbanyak di klub itu. Ia juga menjadi top scorer dalam empat musim dari enam musim terakhir Liga Primer Inggris. Di tim Prancis, ia memborong 40 gol dan ikut meraih Piala Dunia 1998 dan Piala Eropa 2000. Media di Spanyol menyebut mereka The Fantastic Four—tokoh empat jagoan dalam serial komik keluaran Marvel, Amerika Serikat.

Barcelona, yang kehilangan gelar juara La Liga musim lalu gara-gara kalah head to head melawan Real Madrid, memang sedang berbenah. Masuknya Henry melahirkan harapan para pendukung Barca. Lihat saja, 30 ribu orang datang menyambut saat Henry dikenalkan di Camp Nou, stadion milik Barcelona. Jumlah ini sedikit lebih banyak dibanding ketika Ronaldinho mendarat di sana empat tahun silam.

Popularitas Barca pun melonjak menjelang bergulirnya kompetisi La Liga, yang dimulai akhir pekan lalu. Di pasar taruhan Spanyol, Barcelona lebih diunggulkan menjadi juara La Liga dibanding Real Madrid.

Tapi bertambahnya pemain bintang juga memunculkan pekerjaan berat bagi manajer Frank Rijkaard. Bukan rahasia, di antara bintang, walaupun tampak baik dari luar, sebenarnya mereka memelihara persaingan satu dengan yang lain. Ingat menjelang berakhirnya musim lalu, Ronaldinho dan Eto’o sempat berseteru walau akhirnya mereka berpelukan.

Contoh buruk akibat berjubelnya pemain bintang sebenarnya ada di depan mata. Real Madrid mengalaminya empat tahun silam. Ada Zinedine Zidane, Luis Figo, Raul, dan Ronaldo, eh, kedatangan lagi bintang dari Inggris, David Beckham. Mereka dijuluki Los Galacticos. Harapan pun melambung.

Namun yang terjadi justru sebaliknya. Para bintang itu seperti ogah main kompak. Roberto Carlos, bek kiri yang kini sudah pindah, bahkan sempat menantang Beckham dalam soal mengeksekusi free kick. ”Boleh diadu, siapa yang paling jago dalam bola mati,” katanya. Ego para bintang sulit diredakan.

Alhasil, jangankan gelar, kemenangan saja sulit diperoleh. Carlos Quieroz, manajer Madrid ketika itu, memilih hengkang, kembali menjadi orang nomor dua di Old Trafford. Madrid baru kembali beroleh gelar musim lalu, ketika skuadnya telah berubah total—Zidane, Figo, dan Ronaldo sudah tidak ada lagi. Minim bintang justru membuat Madrid berbahaya.

Iker Casillas, kiper Real Madrid yang berada di sana saat itu, mewanti-wanti Barca. ”Saya sih takutnya mereka malah mengulang apa yang pernah kami rasakan,” katanya. Menurut pengakuannya, saat itu kerja sama dan suasana dalam tim menjadi sangat tidak mengenakkan karena setiap bintang merasa egonya harus diberi tempat dan terjadi benturan satu sama lain.

Pembelian Henry memang mengundang tanya. Misalnya, mengapa Barca tidak mencari pelapis sekaliber gelandang serang Deco Souza, dengan melepas Eto’o. Tapi Frankie—sapaan Frank Rijkaard—punya pendapat lain. ”Saya berterima kasih kepada Iker. Tapi kayaknya bodoh sekali kalau kami tergelincir pada kesalahan yang sama. Yang jelas, kami tahu apa yang harus kami lakukan,” katanya.

Rijkaard punya alasan lain. Pembenahan tidak hanya dilakukannya di sektor depan. Selain memboyong Henry, ia membeli gelandang asal Pantai Gading, Yaya Taoure, dari Monaco, Prancis. Lalu di bagian belakang ada Eric Abidal, yang dibeli dari Lyon, Prancis, dan center back Gabriel Milito dari Zaragoza. Musim ini ia menghabiskan Rp 882 miliar.

Dengan begitu, Rijkaard menjamin suasana baru akan segera terasa di klubnya. Salah satu penyebab kegagalannya musim lalu, Barca memang tampil dengan skuad yang sama dengan tahun sebelumnya. Frankie ingin kondisi itu ikut mempengaruhi suasana tim. ”Pemain baru membawa harapan baru dan perubahan. Pemain lama pun mau tak mau akan memiliki motivasi untuk tampil lebih baik,” kata Rijkaard dalam wawancara dengan harian Marca.

Karena itu, rotasi alias perputaran pemain menjadi kunci. ”Tidak pernah akan ada formasi starting eleven yang baku,” katanya tegas. Artinya, tak semua pemain bakal menjadi starter, termasuk The Fantastic Four. Masuknya Henry sudah pasti akan mengubah formasi. Jika keempat pemain itu diturunkan, posisi Deco sebagai gelandang akan terganggu. Tapi, bila hanya tiga yang diturunkan, di antara empat pemain itu harus ada yang berkorban.

Masalahnya, para bintang itu tetap saja manusia. Dalam soal rotasi, tak semua bisa menerimanya. ”Setiap pemain memiliki kualitas yang berbeda. Kami harus menerima apa pun yang diputuskan pelatih. Dia mencari yang terbaik. Tapi, untuk duduk di bangku cadangan, pemain mana pun sulit menerimanya,” kata Eto’o, satu-satunya pemain yang menolak sebutan Fantastic Four. Dia takut kena tulah seperti Real Madrid.

Inikah bibit muasal tim ini kurang kompak? Kemungkinan itu bisa saja terjadi. Apalagi ada masalah lain yang mesti dibereskan Frankie. Ini urusan kamar ganti. Di sanalah biasanya semua persoalan di lapangan meledak. Pemain bisa saling menyalahkan. Pelatih pun bisa lepas kendali—seperti ketika pelatih Manchester United, Alex Ferguson, menendang sepatu hingga mengenai pelipis David Beckham pada Februari 2003, saat timnya kalah 0-2 oleh Arsenal.

Bukan tidak mungkin, hal yang sama terjadi di Barcelona. Apalagi persa-ingan di Spanyol kini bukan hanya urusan Barca dan Madrid. Ada juga Sevilla dan Valencia. ”Aku tak tahu apa yang terjadi di Madrid,” kata Henry. ”Namun, satu hal yang penting, pemain mana pun ingin memberikan yang terbaik bagi klubnya. Setelah itu, keputusan ada pada bos, siapa yang paling pas untuk diturunkan. Hanya Frank Rijkaard yang bisa menentukan.”

Kini semuanya memang ada di tangan Frankie. Dialah yang menentukan permainan. Tidak hanya mesti jeli membuat strategi di lapangan, ia juga harus bisa memelihara mood para bintang. Dan tentu saja memberikan lahan yang tepat untuk ego para pemainnya.

Irfan Budiman

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus