Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Sjamsu Rahardja
PENANDATANGANAN Indonesia-Japan Economic Partnership Agreement (EPA) penting bagi prospek perdagangan dan investasi Indonesia. Perjanjian kedua negara yang ditandatangani oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Perdana Menteri Jepang Shinzo Abe di Istana Negara, Jakarta, Senin pekan lalu itu memberi Indonesia lahan bermain yang setara dengan Malaysia, Singapura, dan Thailand, yang sudah lebih dulu memiliki perjanjian dengan Jepang.
Perjanjian ini pun memberikan terobosan baru adanya bantuan teknis dari Negeri Matahari Terbit itu, guna memperkuat kapasitas industri pendukung di Indonesia. Sekitar 15 persen ekspor nonmigas Indonesia dipasarkan di Jepang. Meski total ekspor Indonesia ke negeri itu naik 71 persen dalam kurun 2002-2006, ekspor Cina dan Vietnam ke Jepang tumbuh lebih cepat. Investor Jepang pun kini semakin melirik India dan Vietnam sebagai lokasi investasi mereka. Karena itulah perjanjian tersebut diharapkan dapat menjaga akses pasar produk Indonesia, menarik investasi Jepang, dan meningkatkan daya saing industri pendukung Indonesia.
Lalu bagaimana komitmen Indonesia terhadap perundingan multilateral Putaran Doha yang difasilitasi Organisasi Perdagangan Dunia (WTO)? Kesepakatan dan manfaat perundingan ekonomi multilateral berlaku bagi semua anggota WTO, tanpa terkecuali. Jika Putaran Doha berhasil, Indonesia pun dapat menikmati akses perdagangan di semua negara anggota WTO.
Persoalannya, saat ini Indonesia tidak bisa berharap banyak dari Putaran Doha. Negosiasi yang kompleks dan diwarnai kepentingan 139 negara yang tumpang-tindih membuat Putaran Doha sulit bergerak maju. Amerika Serikat menilai tawaran pemotongan subsidi produk pertanian Uni Eropa terlalu sedikit, sedangkan koalisi India dan Brasil menilai negara maju tidak layak menuntut banyak penurunan tarif produk industri dan pertanian dari negara berkembang.
Situasi makin tidak pasti akibat makin proteksionisnya Kongres Amerika Serikat dalam hal perdagangan luar negeri. Akibatnya, perjanjian bilateral memberikan alternatif bagi semua negara, termasuk Indonesia, untuk bermain agresif membuka akses pasar dan menarik investasi. Namun pertanyaannya adalah apakah perjanjian seperti ini selalu menguntungkan, dan faktor apa saja yang berpotensi menghambat perdagangan.
Perjanjian kemitraan ekonomi (EPA) dapat menyebabkan pengalihan volume perdagangan (trade diversion). Komitmen penghilangan tarif kepada produk negara tertentu saja dapat menyingkirkan peluang pemasok dari negara lain yang lebih efisien.
Beragam perjanjian EPA di sisi lain juga dapat menciptakan ruwetnya jaringan perdagangan luar negeri. Setiap EPA memiliki aturan mengenai asal barang (rules of origin) dan kandungan lokal yang berbeda. Karena itu, syarat fasilitas bebas bea masuk yang dibuat untuk perjanjian dengan Jepang belum tentu kompatibel dengan perjanjian yang dibuat dengan Korea. Akibatnya, muncul istilah ”noodle bowl” atau jaringan kusut rules of origin dari berbagai macam perjanjian EPA.
Perlu juga dicermati, perjanjian bilateral dengan negara besar dan maju, seperti Amerika Serikat, dapat menggiring Indonesia ke posisi terdikte dalam hal property rights atau hak kekayaan intelektual, rules of origins, dan investment tribunal.
Jika begitu, apakah keuntungan yang didapat dari peningkatan akses pasar dan investasi akan lebih besar ketimbang kerugian yang muncul dari sikap akomodatif? Juga, apakah Indonesia seketika siap, misalnya, memberikan konsesi sensitif seperti investasi pertambangan di Papua atau minuman beralkohol?
Tidak mudah memang untuk menjawab apakah saat ini strategi EPA bilateral selalu lebih unggul dari upaya negosiasi multilateral. Tapi, yang jelas, usaha unilateral Indonesia untuk terus berbenah diri, mereformasi institusi, menambah infrastruktur, membenahi aturan investasi, dan membuka diri terhadap siapa pun, akan membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi yang pada akhirnya menciptakan lapangan pekerjaan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo