7 APRIL 1975, Citarum tiba-tiba menjadi buas. Gelombang besar
sungai yang penuh legenda itu segera menerkam satu-satu dari ke
29 perahu karet peserta Citarum Rally I yang baru lepas dari
garis start. Beberapa perahu jenis Mark 10 yang berawak enam
orang itu terlempar. Bahkan ada yang terbalik dan rnengurung
penumpangnya di dalam. Dan hari itu tercatat lima peserta dari
empat team yang berlomba telah gugur.
Lomba arus deras yang baru pertama kalinya itu dilaksanakan
ternyata telah minta bayaran mahal. Wanadri sebuah perkumpulan
penempuh rimba dan pendaki gunung sebagai penyelenggara tentu
saja tidak menduga akan terjadi musibah itu. Sekalipun
sebenarnya dalam latinan dan tes yang dilakukan kepada peserta
sebelumnya, sudah jatuh dua orang korban.
Beberapa pengamat menyebutkan belum sempurnanya panitia
penyelenggara (misalnya, lemahnya regu penyelamat), turut
membantu jatuhnya korban-korban itu. Namun harus diakui juga
kondisi alam dengan debit air yang mencapai 615 m3 perdetik
(merupakan debit iair yaulg tertinggi tahun itu) akibat hujan
yang turun terus menerus malam sebelumnya, memang dianggap di
luar kekuasaan manusia.
Lantas, bagaimanakah persiapan Citarum Rally II yang akan
berlangsung 18 - 20 Juni ini ?
Medan Berbahaya
Iwan Bungsu, Ketua Panitia, menyebutkan adanya tiga faktor yang
dapat menentukan apakah perlombaan itu bisa sukses atau tidak,
faktor peserta, penyelenggara dan faktdr alam. Peserta akan
diseleksi secara ketat. Selain hanya ABKI, Wanadri dan peserta
umum yang telah memperoleh pendidikan penyusuran sungai yang
boleh turut, mereka pun diwajibkan mengikuti tes fisik dan tes
mental. Tes fisik misalnya berenang sepanjang 200 M dan menyelam
selama satu menit. "Peserta umum dibatasi", ucap Iwan. Karena
itu kalau dulu peserta yang ikut hampir 30 tearn (dari 70 regu
yang mendaftar), sekarang akan dibatasi sampai 20 team saja 1
tim terdiri dari 3 orang.
Sementara itu Wanadri sendiri sudah berkali-kali mengadakan
survei sungai dan survei darat. Maka selain cara-cara
penyelamatan mendapat perhatian khusus, juga medan sungai yang
akan digunakan untuk perlombaan hanya terdiri dari dua etape.
Karena seperti penyelenggaraan dua tahun lalu, tahun sekarang
pun etape a tidak akan dipakai. "Medannya buas dan regu
penyelamat di daerah itu pasti tak bisa berfungsi", ujar Iwan
memberi alasan. Namun walaupun etape III (Warungjeruk sampai
finish di Jatiluhur jarak 30 Km dengan waktu tempuh sekitar
sembilan jam) praktis aman dan hanya merupakan adu otot untuk
mendayung saja, etape I (dari jembatan Rajamandala sampai
Bayabang, jarak 23 Km dengan waktu tempuh sekitar tiga jam)
masih tetap terbuka terhadap kemungkinan kecelakaan. Ada 10
tempat berbahaya di etape ini, yang kalau dijumlah panjangnya
sekitar hampir enam kilometer. Misalnya Leuwiteurep sepanjang
200 M, Leuwi Ririwa sepanjang 750 M, Leuwi Jurig sepanjang 200
M, serta setelah Muara Cibodas, sebelum Babaka Garut dan Parung
Cigenteng yang rata-rata memiliki daerah berbahaya sepanjang
lebih dari satu kilometer. Lima korban yang jatuh ketika Citarum
Rally I dulu, terjadi belum setengah jam dari garis start.
Mereka dibanting gelombang antara Leuwi Teurep dan Leuwi Lengkep
justru di bagian yang hanya memiliki daerah berbahaya sekitar
250 M saja.
Debit Air Sedang
Nampaknya untuk memperkecil kemungkinan kecelakaan tadi,
penyelenggaraannya pun dipilih minggu ketiga bulan Juni ini.
Karena berdasarkan data hidrometri yang dipeleh dari Direktorat
Penyelidikan Masalah Air, Departemen PUTL, dapat disimpulkan
debit air sedang sekitar akhir Mei sampai Juni. Artinya debit
air Citarum tidak terlalu tinggi seperti pada bulan Januari s/d
Mei dan September s/d Desember, serta tidak terlalu kering
(rendah) seperti pada sekitar Juli dan Agustus.
Namun Citarum bukan sungai yang ulahnya bisa diramal. Sekali pun
musim kemarau, bila turun hujan sekali saja, tinggi muka air
dalam waktu hanya enam jam bisa naik sampai dua meter. Karena
itu perlombaan hanya akan dilangsungkan bila tinggi muka air
tidak lebih dari dua meter (idealnya tinggi muka air antara 1,7
sampai 2 M, sedangkan ketika berlangsung Citarum Rally I, tinggi
muka air 5,54 M).
Dalam penyelenggaraan yang sekarangpun, seperti juga
penyelenggaraan yang dulu, pihak panitia bukan tidak yakin
terhadap regu-regu penyelamat yang disediakan. Tapi menurut
Iwan, pada setiap kecelakaan yang terjadi, penyelamatan yang
terbaik adalah penyelamatan oleh diri sendiri dan oleh regunya.
Panik, misalnya berusaha melawan arus atau pusaran air, hanya
akan mempercepat kematian. Barangkali percobaan yang dilakukan
oleh pasukan Baret Merah di muara Citanduy, Cilacap, patut
diperhatikan. Seekor anjing yang dilempar ke pusaran air, karena
meronta-ronta, langsung terhisap ke dalam. Tapi ketika sebuah
batang pisang yang tak bergerak, ketika terbawa putaran,
akhirnya keluar sendiri. Si perwira itu mencoba sendiri dan
terjun menuju pusaran air. Tanpa bergerak dan tersedot ke dalam
pusaran, hanya dalam tiga kali putaran saja tubuhnya kemudian
terlempar lagi ke atas. Selamat.
Begitupun bila terbawa arus deras. Panik hanya akan menghabiskan
tenaga. "Biarkan saja tubuh terbawa, sambil berpikir untuk
mencoba melakukan penyelamatan", ujar Iwan. Lima korban pada
penyelenggaraan yang pertama dulu, dua karena kesalahan sendiri
(mengikat tubuhnya ke perahu dengan cara yang salah, dan panitia
tidak teliti mengontrol kesalahan ini) tiga diduga karena kurang
siap mental dan panik.
Bakal ada korban Iagi tahun ini? "Kami tidak mengharapkan", ujar
Iwan.
Olahraga ini memang baru dikenal di sini, namun penuh risiko.
Tapi kadang-kadang terasa aneh. Buat apa mereka masih malu
melakukannya?
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini