KETIKA drs. Sudirman terbaring di rumah sakit Pelni Jakarta,
akibat tekanan darah tinggi dan komplikasi penyakit lain, tahun
1975 lalu kursi pimpinan Persatuan Bulutangkis Seluruh Indonesia
(PBSI) kembali dalam gunjingan. Lantaran waktu itu ia melahirkan
maksud untuk mengundurkan diri dari jabatan Ketua Umum yang
dilimpankan oleh Kongres PBSI di Semarang Januari 1974.
Sehubungan dengan penyakit yang dideritanya tak lagi
memungkinkan dirinya untuk mencurahkan tenaga dan fikiran
seperti masa seperti masa sebelunmya.
Persoalannya ternyata tidak semudah itu. Sudirman agak merasa
was-was juga untuk meninggalkan pekerjaan organisasi begitu
saja. Sebab ia tak punya 'pewaris mahkota' yang diperkirakan
mendapat dukungan penuh dari daerahdaerah. Tidak heran jika
waktu itu dari mulutnya keluar ucapan bahwa ia mau meninggalkan
kursi kepemimpinan asalkan penggantinya adalah Mayjen Soekamto
Sajidiman, bekas Ketua Umum PBSI periode 1964-1967.
Keinginan tersebut sudah barang tentu mendapat tentangan dari
koleganya yang duduk dalam kepengurusan sekarang. Mengingat
Soekamto Sajidiman tidak masuk dalan formasi kepemimpinan PBSI.
Pendapat itu cukup beralasan, memang. Dan pertikaian faham
tersebut akhirnya diselesaikan dengan pelimpahan wewenang kepada
JC Tambunan selaku pejabat Ketua Umum kedudukan resminya dalam
kepengurusan PBSI adalah Ketua I Bidang Organisasi.
Masih Sakit
Kursi pejabat itu cuma beberapa bulan diduduki Tambunan. Karena
begitu Sudirman diperkenankan dokter untuk bekerja kembali, ia
segera memangku jabatannya di PBSI. Meski demikian, masalah
jabatan Ketua Umum juga tidak reda dengan sendirinya. Persoalan
kesehatan Sudirman tetap jadi bahan perbincangan yang hangat
terutama di hari-hari akhir kepemimpinannya -- Kongres PBSI yang
sekaligus merupakan forum pemilihan pengurus untuk periode
1977-1980 akan berlangsung di Pandaan, Jawa Timur tanggal 10 s/d
11 Agustus depan.
Sudirman sendiri tampak menyadari faktor kesehatannya yang dalam
gunjingan. Akan mundurkah dia dari pencalonan yang akan datang?
"Itu tidak betul", ujar Petrus Sumarsono, Sekjen PBSI. "Ia
sekarang berada dalam kondisi kesehatan yang baik".
Pendapat Sumarsono tentang kesehatan fisiknya itu dibantah tegas
oleh Sudirman. "Wallahi, saya masih sakit", katanya dalam
pembicaraan lewat telepon kepada TEMPO. Ia juga mengungkapkan
keinginannya untuk mundur dari kepengurusan PBSI. Tapi niat
pengunduran dirinya itu juga disertai dengan syarat: hendaknya
calon penggantinya itu dapat diterima oleh daerah-daerah.
Persyaratan tersebut tidak enteng, memang. Tapi calonnya bukan
tak ada. Orangnya lagi-lagi adalah Soekamto Sajidiman. "Kami tak
punya pilihan lain, kecuali beliau", kata Eddy Yusuf yang selama
ini dikenal sebagai juru bicara kelompok bekas pemain nasional.
Ia juga mengatakan bahwa daerah-daerah akan memberikan dukungan
penuh seandainya Soekamto Sajidiman bersedia dicalonkan.
Bagaimana dengan Soekamto Sajidiman sendiri? "Prinsipnya saya
tidak berkeberatan untuk kembali memimpin PBSI, kalau Kongres
memang menghendakinya", ujar Soekamto Sajidiman, minggu lalu.
Bukan Ringan
Seperti halnya Sudirman, ia juga punya persyaratan: Soekamto
Sajidiman tidak ingin pencalonan dirinya dipertentangkan dengan
kandidat lain. Ia menghendaki dukungan penuh, dan kebebasan
untuk memilih pembantu. Syarat itu diajukannya mengingat
kepengurusan di bawah Sudirman sekarang kurang mendapat dukungan
dari koleganya. "Saya tidak mau hal itu terulang lagi", lanjut
Soekamto Sajidiman. Sebab, "tugas yang bakal dihadapi pengurus
yang akan datang bukanlah beban yang ringan". Ia menyebut contoh
tentang persiapan waktu untuk mempertahankan Piala Uber yang
sudah suntuk turnamen akan dilangsungkan di Selandia Baru,
kwartal pertama 1978.
Akan mampukah tim Indonesia mempertahankan: lambang supremasi
bulutangkis wanita itu? "Asalkan persiapannya didukung oleh
kekompakan seluruh pengurus dan daerah, saya yakin Piala Uber
bisa dipertahankan", tambah Soekamto Sajidiman. Ia mengambil
contoh tentang persiapan yang dilakukannya dalam mempertahankan
Piala Thomas di Tokyo, 1964. Waktu itu, menurut Soekamto
Sajidiman, kondisi pemain putera Indonesia tak ubah seperti
pemain puteri sekarang: dilanda krisis prestasi dan pemain.
Sejak Indonesia meraih Piala Uber di Jakarta, 1975 pemain puteri
tak lagi memperlihatkan prestasi yang meyakinkan di berbagai
turnamen internasional. Kecuali satu kali penampilan Verawaty
dalam invitasi bulutangkis Asia di Bangkok, 1976.
Krisis yang dihadapi PBSI kini, agaknya bukan cuma itu.
Bertahannya Sudirman di kursi Ketua Umum secara berturut-turut
selama 3 periode pemilihan, juga menyebabkan PBSI tenggelam
dalam suasana jenuh. Tidak terlihat suatu kreatifitas yang
menonjol dalam pembinaan. "Karena itulah kehadiran pak Soekamto
Sajidiman yang dikenal sebagai trouble shooter diperlukan",
tambah Eddy Yusuf.
Adakah gaya kepemimpinan Soekamto Sajidiman itu (seandainya ia
terpilih) akan memberi jawaban terhadap kemerosotan PBSI
sekarang? Jawabannya perlu dibuktikan, memang. Tapi yang jelas
suasana dalam tubuh PBSI akan lain dari corak kepengurusan
sekarang.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini