Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Dapatkan sahara dihijaukan? dapatkah sahara dihijaukan?

Negeri-negeri sahel wilayah gurun sahara setiap generasi mengalami kemarau panjang dan ketandusan. konperensi hari lingkungan sedunia di nairobi disponsori unep akan membahas ketandusan.

11 Juni 1977 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KANKER ketandusan di banyak tempat di muka bumi, menjadi titik berat Hari Lingkungan Sedunia, 5 Juni tahun ini. Jutaan hektar tanah pertanian yang terampas dari umat manusia tiap tahun menjadi puncak kegelisahan United Nations Environment Programme (UNEP) yang akan berkonperensi tentang masalah itu di Nairobi Agustus-September nanti. Bukan kebetulan Nairobi, ibukota Kenya di benua Afrika yang dipilih sebagai tuan rumah. Juga penunjukan sekretaris konperensi PBB tentang perluasan padang pasir (desertification), Dr Mostafa K. Tolba. Ahli mikro-biologi ini bukan orang sembarangan dalam urusan padang pasir. Bekas anggota kabinet Mesir itu dengan hati risau sudah lama mengikuti pasang-surutnya gurun pasir Sahara, gurun pasir terluas di dunia. Bertepatan dengan Hari Lingkungan Sedunia, pengamatan Dr Tolba itu diterbitkan oleh Earthscan, lembaga swasta berkedudukan di London yang erat bekerjasama dengan UNEP. Gurun pasir Sahara, yang ibarat tali pinggang benua Afrika memisahkan Afrika Utara yang berkultur Arab dengan Afrika Hitam yang berkultur Negro, memang fantastis. Lebih fantastis lagi, karena gurun itu dikelilingi jalur pasir selebar 100 Km di Utara dan 800 Km di Selatan. Khususnya di Selatan terentang negeri-negeri Sahel yang secara rutin menjadi sasaran belas-kasihan negara kaya karena bencana kelaparan yang selalu bergandengan tangan dengan ketandusan di sana. Seperti Palu Nah, 'pertumbuhan' jalur pasir keliling Sahara itulah yang bagaikan kanker terus membengkak dan memperluas seluruh gurun pasir Sahara seluas 1« juta hektar tiap tahun. Artinya: tiap tahun orang-orang Afrika harus merelakan tanah pertanian seluas duapertiga Jawa demi keserakahan gurun Sahara. Perluasan gurun pasir terluas di dunia itu tidak mengikuti garis lurus. Tapi seperti dilukiskan Mostafa K. Tolba, "seperti penyakit kulit". Kalau dilihat dari satelit, di sana-sini terus bermunculan bercak dan noda seperti panu. Terutama di daerah-daerah di mana ternak sudah terlalu banyak merumput (overgrazing) atau cara pertanian yang kurang bijaksana mengupas permukaan tanah yang masih subur sehingga tanah berubah menjadi pasir lepas. Kata Dr Tolba, "di atas segala-galanya, ini problim kemanusiaan". Dalam kemarau Sahel yang lima tahun lamanya (1968-1973), 15 juta penduduk desa kehilangan lebih dari separuh hasil panennya. Dua juta peternak nomad menyaksikan sapi dan kambingnya sekarat. Dan di Mali 90% ternak dan hewan peliharaan jadi bangkai berlalat. Penduduk Sahel termasuk penduduk termiskin di bumi. "Tanpa mati pun, mereka tak bisa dibikin lebih miskin lagi", tulis ahli mikro-biologi Mesir itu. Toh 250 ribu nyawa penduduk negeri-negeri Sahel melayang, kebanyakan anak-anak. Sementara itu, para pengungsi dari pedalaman membanjiri kota-kota yang sudah padat penghuni. Sehingga ledakan sosial karena perluasan padang pasir itu tertendang ratusan kilometer ke selatan lagi. Balas Dendam Kemarau dan korban manusianya itu, bukanlah kutukan Tuhan yang tak terduga sebelumnya. Jalur Sahel sudah pernah mengalami musim kemarau berkepanjangan yang serupa tahun 1944-48, dan malah lebih kejam lagi tahun 1910-1915. Memang, kemarau panjang itu mampir di kawasan Sahel sekali dalam satu generasi manusia. Pada saat itulah, apabila pohon-pohon sudah habis ditebang, tanah sudah terlalu banyak ditanami dan rumput habis dimakan ternak - pokoknya, zat haranya sudah habis dikuras - Sahara membalas dendam. Dan manusia kembali meratap dan merana. Untunglah, di banyak tempat telah dibuktikan bahwa manusia juga bisa mengendalikan Sahara - malah memaksanya mundur. Jauh jauh hari sebelum zaman Nabi Muhammad, orang Arab telah mengenal sistim merumput tradisionil yang disebut hema: daerah yang dilindungi di mana ternak dibatasi, atau dilarang merumput sama sekali. Atau manusialah yang memotong rumputnya seperlunya. Terbukti di mana padang pasir berumput itu dilindungi dari mulut dan injakan kaki ternak, penghijauan alamiah cukup mengesankan. Misalnya di Mauritania dan Tunisia, di mana perdu dan bahkan semak bermunculan di tanah tandus dalam waktu 2-3 tahun setelah tekanan ternak ditiadakan. Kadang-kadang tumbuhan tak dapat muncul dengan kekuatan sendiri bilamana tanahnya sudah terurai jadi pasir lepas atau memadat jadi padas keras. Di situ perlu bantuan dari luar. Dekat Benghazi misalnya, tanah tandus ini pun berhasil ditaburi benih dan dipupuk dengan sukses dari udara. Sementara di Libya, bukit-bukit pasir bergerak berhasil dijinakkan dengan taburan emulsi minyak ter - supaya mampu menyerap air -- sebelum ditanami rumput dan pepohonan. Sekarang, bagaimana melindungi tanaman muda dari serbuan ternak dan manusia? Beberapa negara, justru tidak berusaha menghapuskan peternakan berpindah-pindah. Tapi mengarahkannya ke padang-padang rumput yang suka berpindah-pindah pula sesuai dengan pola curah hujan yang juga tidak tetap sasarannya dan hanya tes-tes-tes. Mauritania melarang penggunaan bajak di daerah yang lapisan tanan suburnya tipis sekali. Aljazair mengobral gas botolan dengan murah. Negara lain yang tidak kaya minyak mencoba memanfaatkan sumber enerji prodeo -- matahari. Pelopornya: Volta Hulu. Dua bulan lagi, berbagai pengalaunan ini akan dibawa ke atas meja konperensi di Nairobi. Negara-negara di luar Afrika yang juga dirongrong kanker ketandusan - seperti Peru, India, Pakistan, Cina, AS dan Uni Soviet -- diminta pula membeberkan pengalamannya. Dewasa ini, hampir 2/3 bangsa di dunia menghadapi masalah ini. Sebab 1/3 daratan planet kita sudah tertutup padang pasir, dan lebih dari 600 juta manusia hidup dalam bayang-bayang mautnya. Ahli-ahli iklim ada yang beranggapan, meluasnya Sahara mencerminkan perubahan iklim dunia. Satu hari orang mungkin tak akan dapat memanen gandum secara luas di prairie Amerika Utara atau steppa-steppa Rusia. Karenanya, Sahara baiklah diterima sebagai "lampu merah" bagi seluruh umat manusia. Karena itu pula, semua negara di dunia diundang ke Nairobi. Sebab kanker kulit bumi dan menciutnya tanah pertanian yang diakibatkannya, merupakan keprihatinan kita semua. Juga kemungkinan menghijaukan kembali gurun pasir Sahara - yang di Indonesia baru dapat kita bayangkan kedahsyatannya dalam skala kecil sepanjang busur kepulauan Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus