KANKER ketandusan di banyak tempat di muka bumi, menjadi titik
berat Hari Lingkungan Sedunia, 5 Juni tahun ini. Jutaan hektar
tanah pertanian yang terampas dari umat manusia tiap tahun
menjadi puncak kegelisahan United Nations Environment Programme
(UNEP) yang akan berkonperensi tentang masalah itu di Nairobi
Agustus-September nanti.
Bukan kebetulan Nairobi, ibukota Kenya di benua Afrika yang
dipilih sebagai tuan rumah. Juga penunjukan sekretaris
konperensi PBB tentang perluasan padang pasir (desertification),
Dr Mostafa K. Tolba. Ahli mikro-biologi ini bukan orang
sembarangan dalam urusan padang pasir. Bekas anggota kabinet
Mesir itu dengan hati risau sudah lama mengikuti pasang-surutnya
gurun pasir Sahara, gurun pasir terluas di dunia. Bertepatan
dengan Hari Lingkungan Sedunia, pengamatan Dr Tolba itu
diterbitkan oleh Earthscan, lembaga swasta berkedudukan di
London yang erat bekerjasama dengan UNEP.
Gurun pasir Sahara, yang ibarat tali pinggang benua Afrika
memisahkan Afrika Utara yang berkultur Arab dengan Afrika Hitam
yang berkultur Negro, memang fantastis. Lebih fantastis lagi,
karena gurun itu dikelilingi jalur pasir selebar 100 Km di Utara
dan 800 Km di Selatan. Khususnya di Selatan terentang
negeri-negeri Sahel yang secara rutin menjadi sasaran
belas-kasihan negara kaya karena bencana kelaparan yang selalu
bergandengan tangan dengan ketandusan di sana.
Seperti Palu
Nah, 'pertumbuhan' jalur pasir keliling Sahara itulah yang
bagaikan kanker terus membengkak dan memperluas seluruh gurun
pasir Sahara seluas 1« juta hektar tiap tahun. Artinya: tiap
tahun orang-orang Afrika harus merelakan tanah pertanian seluas
duapertiga Jawa demi keserakahan gurun Sahara.
Perluasan gurun pasir terluas di dunia itu tidak mengikuti garis
lurus. Tapi seperti dilukiskan Mostafa K. Tolba, "seperti
penyakit kulit". Kalau dilihat dari satelit, di sana-sini terus
bermunculan bercak dan noda seperti panu. Terutama di
daerah-daerah di mana ternak sudah terlalu banyak merumput
(overgrazing) atau cara pertanian yang kurang bijaksana mengupas
permukaan tanah yang masih subur sehingga tanah berubah menjadi
pasir lepas.
Kata Dr Tolba, "di atas segala-galanya, ini problim
kemanusiaan". Dalam kemarau Sahel yang lima tahun lamanya
(1968-1973), 15 juta penduduk desa kehilangan lebih dari separuh
hasil panennya. Dua juta peternak nomad menyaksikan sapi dan
kambingnya sekarat. Dan di Mali 90% ternak dan hewan peliharaan
jadi bangkai berlalat.
Penduduk Sahel termasuk penduduk termiskin di bumi. "Tanpa mati
pun, mereka tak bisa dibikin lebih miskin lagi", tulis ahli
mikro-biologi Mesir itu. Toh 250 ribu nyawa penduduk
negeri-negeri Sahel melayang, kebanyakan anak-anak. Sementara
itu, para pengungsi dari pedalaman membanjiri kota-kota yang
sudah padat penghuni. Sehingga ledakan sosial karena perluasan
padang pasir itu tertendang ratusan kilometer ke selatan lagi.
Balas Dendam
Kemarau dan korban manusianya itu, bukanlah kutukan Tuhan yang
tak terduga sebelumnya. Jalur Sahel sudah pernah mengalami musim
kemarau berkepanjangan yang serupa tahun 1944-48, dan malah
lebih kejam lagi tahun 1910-1915. Memang, kemarau panjang itu
mampir di kawasan Sahel sekali dalam satu generasi manusia. Pada
saat itulah, apabila pohon-pohon sudah habis ditebang, tanah
sudah terlalu banyak ditanami dan rumput habis dimakan ternak -
pokoknya, zat haranya sudah habis dikuras - Sahara membalas
dendam. Dan manusia kembali meratap dan merana.
Untunglah, di banyak tempat telah dibuktikan bahwa manusia juga
bisa mengendalikan Sahara - malah memaksanya mundur. Jauh jauh
hari sebelum zaman Nabi Muhammad, orang Arab telah mengenal
sistim merumput tradisionil yang disebut hema: daerah yang
dilindungi di mana ternak dibatasi, atau dilarang merumput sama
sekali. Atau manusialah yang memotong rumputnya seperlunya.
Terbukti di mana padang pasir berumput itu dilindungi dari mulut
dan injakan kaki ternak, penghijauan alamiah cukup mengesankan.
Misalnya di Mauritania dan Tunisia, di mana perdu dan bahkan
semak bermunculan di tanah tandus dalam waktu 2-3 tahun setelah
tekanan ternak ditiadakan.
Kadang-kadang tumbuhan tak dapat muncul dengan kekuatan sendiri
bilamana tanahnya sudah terurai jadi pasir lepas atau memadat
jadi padas keras. Di situ perlu bantuan dari luar. Dekat
Benghazi misalnya, tanah tandus ini pun berhasil ditaburi benih
dan dipupuk dengan sukses dari udara. Sementara di Libya,
bukit-bukit pasir bergerak berhasil dijinakkan dengan taburan
emulsi minyak ter - supaya mampu menyerap air -- sebelum
ditanami rumput dan pepohonan.
Sekarang, bagaimana melindungi tanaman muda dari serbuan ternak
dan manusia? Beberapa negara, justru tidak berusaha menghapuskan
peternakan berpindah-pindah. Tapi mengarahkannya ke
padang-padang rumput yang suka berpindah-pindah pula sesuai
dengan pola curah hujan yang juga tidak tetap sasarannya dan
hanya tes-tes-tes. Mauritania melarang penggunaan bajak di
daerah yang lapisan tanan suburnya tipis sekali. Aljazair
mengobral gas botolan dengan murah. Negara lain yang tidak kaya
minyak mencoba memanfaatkan sumber enerji prodeo -- matahari.
Pelopornya: Volta Hulu.
Dua bulan lagi, berbagai pengalaunan ini akan dibawa ke atas
meja konperensi di Nairobi. Negara-negara di luar Afrika yang
juga dirongrong kanker ketandusan - seperti Peru, India,
Pakistan, Cina, AS dan Uni Soviet -- diminta pula membeberkan
pengalamannya. Dewasa ini, hampir 2/3 bangsa di dunia menghadapi
masalah ini. Sebab 1/3 daratan planet kita sudah tertutup padang
pasir, dan lebih dari 600 juta manusia hidup dalam bayang-bayang
mautnya.
Ahli-ahli iklim ada yang beranggapan, meluasnya Sahara
mencerminkan perubahan iklim dunia. Satu hari orang mungkin tak
akan dapat memanen gandum secara luas di prairie Amerika Utara
atau steppa-steppa Rusia. Karenanya, Sahara baiklah diterima
sebagai "lampu merah" bagi seluruh umat manusia. Karena itu
pula, semua negara di dunia diundang ke Nairobi. Sebab kanker
kulit bumi dan menciutnya tanah pertanian yang diakibatkannya,
merupakan keprihatinan kita semua. Juga kemungkinan menghijaukan
kembali gurun pasir Sahara - yang di Indonesia baru dapat kita
bayangkan kedahsyatannya dalam skala kecil sepanjang busur
kepulauan Jawa, Bali, dan Nusa Tenggara.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini