GERIMIS baru usai membasuh bumi. Matahari di kawasan Dago, Bandung, belum mampu mengusir hawa dingin. Jarum jam pun masih terpaku pada angka tujuh, tapi Angelique Widjaja sudah harus melangkahkan kakinya. Arahnya jelas, lapangan tenis Admiral, berjarak sekitar 500 meter dari rumahnya.
Lihatlah, sesampai di sana, gadis 18 tahun ini langsung menggerakkan seluruh tubuhnya. Pemanasan. Sebentar saja ia sudah bermandikan keringat. Tak lama kemudian, desingan ayunan raket dan suara pantulan bola tenis membelah sepinya awal hari.
Pagi itu, pada pengujung November silam, Angie yang berkaus putih dan bandana pink tidak sendirian. Dia berlatih bersama Lee Wei Ping, petenis junior terbaik Singapura. Kebetulan Lee memang datang ke Jakarta untuk berguru pada Deddy Tedjamukti, pelatih Angie. Lalu dia dibawanya ke Bandung agar bisa berlatih bersama.
Kendati bermain dengan pemain junior, Angie amat serius. Dengan sigap dia berlari mengejar bola, lalu menamparnya keras-keras dengan raketnya. Gadis bertinggi badan 173 sentimeter dan berat 62 kilogram ini seolah tak pernah bosan mengayun raket. Padahal, dua pekan sebelumnya Angie baru saja menguras keringat di kejuaraan Volvo Terbuka di Thailand.
Di turnamen itu dia tampil menjadi juara. Peringkatnya pun merangkak lagi ke posisi 69 Women's Tennis Association (WTA). Hanya, mojang Bandung ini telanjur memasang target baru. Dia mesti masuk ke peringkat 50 besar dunia tahun depan.
Mungkinkah? Di mata Dedy Tedjamukti, kemampuan teknis dan fisik anak asuhnya memungkinkan untuk menggapai impian itu. Service-nya cukup mematikan. Pun pukulan backhand maupun forehand-nya. Kalaupun perlu dipoles, cuma bahunya, agar lebih kuat. Itu sebabnya, setiap usai berlatih di lapangan, Angie selalu memperkuat bahu dengan latihan beban.
Jika menilik bakat Angie, target itu memang tak muluk. Dia sudah bermain tenis sejak umur empat setengah tahun. Saat tampil pertama kali di turnamen El Dorado, Bandung, Angie yang baru berusia tujuh tahun pun berhasil menjadi juara satu. Karena kemampuannya terus diasah, pada saat remaja Angie segera menunjukkan prestasi yang mengkilat. Berbagai gelar kejuaraan junior disabetnya.
Yang paling fenomenal saat dia menang dalam turnamen Wimbledon junior tahun 2001. Lajang yang berwajah imut-imut ini menjadi orang pertama di kawasan Asia Tenggara yang mampu menjuarai turnamen ini. Padahal saat itu usianya baru 17 tahun.
Tak lama kemudian, dia juga tampil mengagumkan dalam kejuaraan Wismilak Terbuka di Bali. Angie sukses merebut gelar juara di tingkat senior untuk pertama kalinya. Dan hanya dalam waktu sekitar tujuh bulan, akhirnya dia mampu melesat dari peringkat 800-an menjadi 150-an WTA.
Dengan modal itu, Angie kian merajela pada tahun 2002. Bersama dengan petenis Gisella Dulko dari Argentina, dia menjuarai ganda junior Australia Terbuka. Bahkan di Amerika Serikat Terbuka Agustus lalu, dia membuat petenis cantik Rusia, Anna Kournikova, bertekuk lutut dengan skor 6-3, 6-0.
Setelah nangkring di peringkat 59, Angie sempat melorot ke posisi 91. Ini gara-gara dia gagal mempertahankan gelar juara Wismilak Terbuka di Bali, September lalu. Tapi prestasi dalam Volvo Terbuka di Thailand membuat peringkatnya terdongkrak lagi.
Jangan heran jika Yayuk Basuki, mantan petenis terbaik Indonesia, amat percaya Angie mampu memenuhi targetnya tahun depan. "Dia sudah jadi, tinggal menunggu kematangan mentalnya saja," katanya.
Untuk menjadi matang, tiada cara lain kecuali menambah jam terbangnya di turnamen arena tenis profesional. "Semakin sering Angie bertanding di berbagai turnamen, semakin bagus bagi kematangan mentalnya," ujar Yayuk lagi.
Kelemahan itu pun disadari oleh Angie. Kurangnya pengalaman membuatnya keok pada Wismilak Terbuka tahun ini. "Saat itu saya begitu takut kalah. Saya takut kehilangan banyak poin. Dan hal itu benar-benar terjadi," tuturnya.
Buat memerangi ketegangan yang kerap menyergap, kini dia sudah punya resep. Pagi hari menjelang pertandingan, dia selalu membaca kitab suci dan mendengar lagu-lagu rohani. Dia juga tak bosan-bosan bersyukur kepada Tuhan agar dia menjadi santai ketika bertarung. Karena itu, Angie rajin menyumbangkan sepersepuluh setiap hadiah yang didapatnya ke Gereja El Shaddai, Bandung.
Kesempatan bagi Angie memang terbuka lebar tahun depan. Karena usianya sudah 18 tahun, dia bebas mengikuti sebanyak mungkin turnamen internasional. Sang Meteor dari Bandung tinggal memilih turnamen yang bakal memberi tambahan poin besar baginya.
Karena semua turnamen sudah terjadwal, dia juga bisa memperkirakan siapa saja calon lawan yang bisa menghadang ambisinya. Itu sebabnya Yayuk Basuki berpesan agar Angie juga memiliki seorang analis pertandingan. Tugasnya untuk menganalisis kekuatan dan kelemahan calon lawan Angie dan memberikan masukan padanya.
Di luar semua itu, Angie tahu pasti apa yang mesti dilakukannya. Dia berlatih dan berlatih terus tak pernah bosan. Dulu, saat junior, ia cuma berlatih tiga jam sehari, tapi sekarang dirinya sudah terbiasa dengan latihan lima jam sehari.
Jadi, dua jam berlatih bersama Lee Wei Ping pagi itu belum cukup. Sorenya, dia akan datang lagi ke lapangan Admiral. Di sana dia akan memburu impiannya sampai matahari tenggelam.
Iwan Setiawan
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini