Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Politik

Hari Kemenangan di Barak Pengungsian

Sebagian warga muslim Indonesia melewatkan Idul Fitri dalam keprihatinan. Berikut catatan TEMPO dari berbagai penampungan pengungsi.

1 Desember 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Nunukan SUASANA sepi langsung terasa di penampungan tenaga kerja Indonesia (TKI) di Mambunut, Nunukan, Kalimantan Timur. Tiada lagi antrean makan, pemeriksaan kesehatan, atau bahkan antrean mandi. Hanya ada 18 keluarga TKI yang masih tinggal di barak pengungsian. Padahal di puncak krisis, ribuan TKI?dari belasan ribu yang datang?berdesakan di barak-barak kumuh penampungan yang langsung dikontrol oleh Pemerintah Daerah Nunukan tersebut. Mulyadi, 52 tahun, adalah salah satu penghuni Mambunut yang tersisa. Pria asal Lombok itu mungkin pengungsi yang tersibuk. Soalnya, dia dipercaya warga sekitar sebagai koordinator, termasuk mengatur kegiatan salat tarawih. Bapak tiga anak ini malah merasa senang dengan kesibukan barunya itu. "Di Sabah, tak ada waktu untuk ibadah," tutur buruh perkebunan kelapa sawit itu. Selain itu, inilah Lebaran pertama di negeri sendiri, setelah 12 tahun memburu rezeki di Malaysia. Ada keguyuban dan rasa tenang. "Di Malaysia, kami tak punya tetangga," ujarnya. Padahal hampir pasti Mulyadi bakal merayakan Lebaran paling getir dalam hidupnya. Dua anaknya terpaksa dititipkan di Pesantren Hidayatullah, Nunukan, untuk mengurangi beban hidup. Juga tak akan ada ketupat, kue, atau daging. Apalagi pakaian baru. Bisa dipastikan juga, tak akan ada tamu yang bertandang ke rumah mereka. Pemda Nunukan sendiri hanya sedikit membantu pengungsi merayakan Lebaran. "Mungkin ada baju atau bahan sandang lain," kata Petrus Kanisius, Wakil Ketua Satuan Tugas Penanggulangan TKI Nunukan. Kantornya, diakuinya, lebih berkonsentrasi mengurus kedatangan sekitar 800 orang TKI yang menurut kabar dari Konsul Indonesia di Tawao, Sabah, akan datang ke Nunukan awal Desember. Jumlah mereka yang datang memang terus menyusut. Hingga dari tiga penampungan, kini hanya Mambunut yang dibuka. Tempat penampungan ini umumnya digunakan TKI untuk tinggal sambil menunggu pengurusan dokumen kerja. Mulyadi sendiri memilih tidak kembali bekerja di Malaysia. "Saya sepakat dengan istri tetap tinggal di Indonesia, apa pun yang terjadi," katanya. Rupanya, bagi dia, hujan batu di negeri sendiri lebih baik dari hujan emas di negeri orang. Ambon SETITIK harapan mulai muncul di Ambon setelah penangkapan pentolan preman Geng Coker Berty Loupatti dan pembubaran pasukan Laskar Jihad Ahlus Sunnah wal Jamaah pimpinan Ja'far Umar Thalib. Kehidupan terasa mulai berdenyut di Ambon. Bahkan muncul sumpah serapah baru dengan terungkapnya tangan-tangan kotor di balik konflik Maluku. "Dasar soldadu!" atau "dasar preman", bahkan "dasar laskar". Tak terbayangkan, umpatan itu bakal muncul, misalnya, setahun lalu. Orang Ambon kini mulai sadar. Baku bae pun tercipta pada Ramadan ini dengan digelarnya buka bersama pemuda Islam dan Kristen. Gedung KNPI di Jalan Said Perintah bahkan dibuka untuk salat tarawih umum. Selagi umat muslim melakukan salat, pemuda Kristen yang berjaga. Bahkan, di kawasan Jalan Baru, di depan Masjid Al-Fatah?lokasi awal konflik yang pedih tahun 1999?ramai oleh pedagang jajanan dan makanan. Pedagang dan pembeli, yang Kristen dan muslim, bercampur-baur. Adu pipi montok antara ibu-ibu atau jabat tangan antara nyong Ambon kerap terjadi. Takmir Masjid Al-Fatah bahkan mempercantik taman rumput di muka masjid. Barak pengungsi di dekat masjid juga dibenahi. Halaman dibersihkan, beberapa pengungsi tampak mengecat makam saudara mereka di kuburan dekat masjid. Namun hidup tetaplah susah di Ambon. Tercatat, berdasarkan data per September 2002, jumlah pengungsi mencapai 392 ribu jiwa. Mereka hidup di tenda-tenda darurat, dengan kondisi amat melarat. Jatah bantuan dari pemerintah juga mulai seret. Jamak terlihat para pengungsi mengail sedekah di pasar-pasar. Bahkan kerap saling sikut memperebutkannya. Bentrok sesama pengungsi di petak-petak pengungsian pun sering terjadi. Bagi Murdiyanti, 38 tahun, seorang muslimah asal Jawa Barat yang mengungsi di ruko Batu Merah, karena rumahnya di Kawasan Pohon Mangga, Air Salobar, hangus kena mortir, Lebaran kali inilah yang terbaik. Ia bahkan sampai salat sujud. "Baru Idul Fitri kali ini saya betul-betul merasa tenang," katanya. Ia bertahan hidup dengan dua anaknya di sebuah petak sempit 3 x 5 meter. Suaminya tewas pada awal konflik. "Saya terus berdoa, Ramadan tahun ini bisa khusyuk," katanya. Untuk menyambut Lebaran, ia mengaku hanya mempersiapkan kacang goreng, kue seadanya, dan? alhamdulillah, ada baju baru. TEMPO juga bertemu Ita Soukotta, wanita Kristen bekas tetangga Yanti di kampung Pohon Mangga, yang berencana mengunjungi sahabatnya itu pada hari Lebaran. "Kami pertama kali bertemu di pasar, setelah lama putus hubungan karena konflik," katanya. Yanti?meski hidupnya juga susah seperti dirinya?bahkan sengaja membelikannya kue tar susu kesukaan seorang anak Ita. "Kami bertangisan," kata Ita. Poso BELUM banyak yang berubah di Desa Tongko, Kecamatan Lage, Kabupaten Poso, Sulawesi Tengah. Rumah-rumah yang terbakar masih berdiri rapuh. Barak-barak pengungsian makin kusam dimakan waktu. Yang kelihatan berubah adalah kesibukan warga muslim di desa yang rasio penduduk Islam-Kristen sebanding itu. Seperti yang dilakukan Muchtar, 35 tahun, warga setempat penghuni barak, yang bersemangat menyiapkan penganan khas Poso untuk Lebaran. Nasi jaha, beras ketan dalam bambu yang dibakar selama enam jam. Ikan woku, ikan yang dimasak kering bersama kemangi dan kunyit. Dan tak lupa sambal cabe. Orang memakannya pasti berkeringat karena kepedasan. Sedap! Inilah pertama kali Muchtar bisa membuat nasi jaha setelah hampir dua tahun konflik melanda desanya. Tahun lalu, mereka sibuk berjaga-jaga sepanjang waktu. Tarawih di masjid terpaksa dijaga oleh laskar. "Kalau pergi tarawih, laki-laki juga membawa parang," ceritanya. Kini hal itu sudah tak lagi dilakukan. Tarawih juga sudah berlangsung biasa-biasa saja. Hanya, Lebaran belum sepenuhnya normal. Meski ada makanan, tak ada baju baru. Kebun cokelat yang rusak?karena ditebangi selama konflik?belum bisa dijadikan sandaran hidup. "Sekadar bisa untuk (kebutuhan) hari-hari saja," katanya. Ia merasa malu minta bantuan Dinas Kesehatan dan Sosial Poso. Hanya sekali dia menjejakkan kaki ke dinas pemerintah itu. Ia juga tak mau ikut-ikutan warga lain menduduki kantor tersebut, seperti yang terjadi Oktober lalu, untuk meminta jatah hidup pengungsi. Tapi ia tak mengecam tindakan sejumlah warga itu. "Mungkin mereka memang butuh untuk makan," ucapnya. Tak semua warga bersikap seperti Muchtar. Puluhan kepala keluarga lain di barak yang sama pasrah saja. "Borok bikin kue lebaran, untuk makan seharihari saja susah," kata Nurjannah, istri Muchtar, mengomentari. Susahnya hidup membuat mereka berlebaran apa adanya. "Anak saya juga tak menangis minta baju. Karena di sini memang tak ada anak-anak memakai baju baru," ujarnya tersenyum. Sementara itu, Ardin Lawana, 39 tahun, imam masjid di Desa Tongko, mengatakan bahwa warga muslim desanya sebenarnya siap untuk hidup berdampingan kembali dengan warga Kristen. Beberapa warga Kristen bahkan ada yang sudah kembali ke rumahnya. "Banyak juga yang berkunjung dan kami terima dengan baik," tuturnya. Konflik telah membuat desa yang subur di tepi pantai itu porak-poranda. Warganya terpaksa lari ke sana-kemari, hidup di pengungsian dengan serba kekurangan. Sesal memang selalu datang kemudian. Arif A. Kuswardono, Rusman, Darlis Muhamad, Friets Kerlely

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus