Kantor Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) di Jalan Latuharhary, Jakarta, belakangan terlihat sepi. Hanya ada sekumpulan mahasiswa yang mogok makan di halaman kantor itu. Rombongan Petisi 50 yang hendak mengadu, Jumat pekan lalu, sempat terkatung-katung karena tak ada seorang pun anggota Komnas yang hadir. Mungkin karena bulan Puasa, atau bisa juga karena "sesuatu" yang membuat mereka sungkan ke kantor.
Apa "sesuatu" itu? Sudah hampir setengah tahun, bau busuk bertiup dari kantor penjaga hak asasi manusia tersebut. Tepatnya, sejak Kantor Akuntan Hadori dan Rekan menemukan "penyelewengan" duit bantuan asing senilai Rp 3,4 miliar dalam neraca keuangan komisi ini. Jumlah itu, meski mencakup tiga tahun anggaran, 1999-2001, tetap saja besar. Hampir menyamai anggaran resmi Komnas pada tahun 2002 yang berjumlah Rp 5,1 miliar. Ironisnya, gaji komisioner (sebutan bagi anggota Komnas) "cuma" Rp 2 juta. Beberapa anggota Komnas sempat juga disidik polisi untuk membongkar penyelewengan itu. Tapi kini kasus itu sudah menguap, tak terdengar lagi. Polisi menarik diri dan tugas selanjutnya diserahkan ke BPKP untuk melakukan audit ulang.
Yang tersisa sekarang cuma kasak-kusuk di antara anggota komisi tersebut, dan juga keresahan. "Seharusnya polisi jalan saja terus," kata Koesparmono Irsan, anggota Sub-Komisi Mediasi Komnas HAM. Audit Kantor Akuntan Hadori sudah cukup untuk menyidik. Menurut keterangan yang dikumpulkan TEMPO, audit BPKP sendiri selangkah lagi kelar. Dari Rp 3,4 miliar, tinggal Rp 600 juta saja yang "bermasalah". Itu pun akan beres. Karena duit itu dipakai untuk membantu perpustakaan beberapa LSM, hanya belum ada laporannya. "Kesimpulannya bisa diduga, tak ada tikus busuk di Komnas," kata sumber TEMPO.
Adalah mantan Ketua Komnas HAM, Djoko Soegianto, yang meminta audit atas keuangan lembaganya. "Supaya pengurus lama tidak meninggalkan beban pada penggantinya," tutur Djoko Soegianto. Soalnya, ditemukan dana bermasalah sebesar Rp 1,4 miliar pada neraca Komnas terakhir di tahun 2001. Untuk menuntaskannya kemudian disewalah akuntan Hadori. Tak diduga, pada akhir audit, pada bulan Mei 2002, malah ditemukan angka misteri Rp 3,4 miliar itu. Status keuangan Komnas dinyatakan sebagai "wajar dengan pengecualian". Menurut Djoko, penyelewengan bisa saja akibat kesalahan administrasi, "tapi mungkin pelanggaran hukum juga."
Dari audit itu, Komnas HAM lantas membentuk tim verifikasi, yang diketuai B.N. Marbun. Salah satu kesimpulan akhir tim itu, yang diberikan pada bulan Mei dan Juni silam, adalah ditemukan mismanagement dalam pengelolaan keuangan Komisi. Tim itu merekomendasi pengungkapan tanggung jawab atas kasus ini. Dan pemberian sanksi terhadap penanggung jawab proyek maupun pengawas yang meneken izin penggunaan dana tersebut.
Sasaran tembak mengarah ke figur Sekretaris Jenderal Asmara Nababan. Dari hasil rekomendasi ini juga jelas terbaca bahwa Asmara Nababan adalah pihak yang paling penting dimintai pertanggungjawaban. Meski Asmara secara resmi baru "memegang" kas sejak 2001, berdasarkan audit akuntan Hadori ditemukan pada masa itulah mismanagement banyak terjadi. Misalnya saja, ada uang muka program 2001 yang ditangani dua staf Asmara yang belum dipertanggungjawabkan, masing-masing senilai Rp 218 juta dan Rp 209 juta. "Itu duit funding yang terpaksa kita pinjam untuk bayar gaji pegawai, karena anggaran dari Setneg belum turun," kata Asmara.
Polda Metro Jaya?tidak jelas siapa yang mengadu?tiba-tiba memeriksa ketua lama Komnas HAM (periode 1998-2002) Djoko Soegianto dan B.N. Marbun, juga akuntan Hadori serta seorang staf Komnas, Nike Maskhuriah. Tapi, ketika polisi hendak memeriksa Kepala Urusan Dalam Bismo Handoyo dan Sekjen Asmara Nababan, terjadi titik balik penyidikan. Pejabat baru Wakil Ketua Komnas HAM Bidang Internal, Zoemrotin, yang terpilih untuk periode 2002-2007, dan sekretaris jenderal dari kepengurusan lama Asmara Nababan, datang menemui Kepala Kepolisian Daerah Metro Jaya, Irjen Makbul Padmanegara, September silam. Hasil rembukan di antara mereka dan polisi adalah polisi mundur dan BPKP masuk. Masalahnya, kata Asmara, polisi tak menemukan tersangka. Aneh, belum tuntas memeriksa kok sudah disimpulkan.
Makbul sendiri mengakui, memang pihaknya yang mengusulkan masuknya auditor BPKP. "Kalau mau tahu ada korupsi atau tidak, kan harus diaudit BPKP," katanya. Meski BPKP biasanya mengaudit keuangan negara, ia juga bisa mengaudit dana bantuan asing. "Dana bantuan asing yang masuk lembaga negara adalah kekayaan negara juga," kata Makbul.
Mulus di polisi tak berarti mulus di dalam. Langkah Zoemrotin dan Asmara mendatangi polisi dinilai tidak etis. "Tidak seharusnya seorang komisioner mendatangi polisi yang sedang menyidik kasus dirinya. Apalagi tanpa persetujuan rapat pleno," kata Mohamad Said Nizar, Wakil Ketua Sub-Komisi Pengkajian dan Penelitian Hak Asasi Manusia. Namun, Asmara mengaku mereka berangkat atas perintah rapat pimpinan. "Kalau menunggu rapat pleno bulanan kan lama," ujarnya. Namun Ketua Komnas HAM Abdul Hakim Garuda Nusantara ketika dikonfirmasi TEMPO mengatakan, "Mereka datang karena diundang polisi".
Ketika didirikan pada 1993, sumber duit pokok Komnas HAM adalah subsidi Sekretariat Negara. Secara administrasi duit itu juga dikelola pegawai khusus Setneg. Penggunaan dana ini hampir tak bermasalah, karena diaudit tiap tahun oleh BPKP. Kelemahan memang pada pengelolaan dana bantuan asing (funding), yang mulai diterima komisi ini tahun 1997. Tak ada pegawai khusus yang bertanggung jawab mengelola dana ini. Hanya, sementara saja pernah ditangani oleh seorang kepala biro sebagai tugas tambahan. Pernah juga ditangani seorang direktur eksekutif. Tapi tak berlangsung lama.
Menurut Lis Soegondo, anggota tim verifikasi, sulit menelusuri riwayat duit Komnas HAM. Karena ternyata selama ini bagian keuangan tidak membuat buku harian pengeluaran kas. "Tukang bakso saja punya. Masa, lembaga seperti Komnas HAM ini ora nduwe," kata ahli hukum itu dengan logat Jawa yang kental. Soal kedua, Sekjen Asmara Nababan menolak memberikan data-data laporan keuangan funding. Komnas HAM bahkan harus berkirim surat ke lembaga pemberi dana asing meminta salinan laporan pertanggungjawaban keuangan. "Dia (Asmara) juga tidak datang meski sudah dipanggil," tutur Lis.
Asmara sendiri mengaku bukannya tidak mau dipanggil. Ia mempertanyakan legalitas tim verifikasi yang tidak pernah disahkan rapat pleno. Itu artinya tidak ada dasar hukum untuk bekerjanya tim ini. "Jadi saya anggap non-isu-lah," kata Asmara enteng. Selain itu, tim juga tidak pernah menemuinya. "Kalau mereka memang butuh data, kenapa tidak mengajak saya bicara?" tuturnya. Ia juga menolak harus memikul tanggung jawab atas seluruh angka Rp 3,4 miliar. "Saya baru terlibat tahun 2001. Masa, yang sebelumnya harus saya yang memikul," tegasnya.
Kasus salah urus duit ini seperti meminyaki "api membara" yang sudah telanjur menyala dalam tubuh Komnas HAM. Lembaga ini mengalami perpecahan semenjak pembentukan KPP HAM Timor Timur pada 1999. Apalagi petinggi Komnas HAM yang baru terkesan melindungi Asmara. Djoko Soegianto?yang kini jadi anggota Sub-Komisi Mediasi?pernah mengingatkan kelanjutan kasus korupsi tersebut dalam rapat pleno Komnas. Jawaban Hakim ternyata mengambang. "Lo, saya kok tidak diberi tahu. Saya cuma diberi secarik kertas," katanya. Konon, rapat pun memanas.
Namun ada juga kabar tak sedap lainnya, yakni "main mata" antara Komnas HAM dan polisi. Terbukti dengan diambangkannya pembentukan Komisi Penyelidik Pelanggaran Hak Asasi Manusia Penganiayaan Wartawan yang sudah direkomendasikan oleh pengurus Komnas HAM sebelumnya. Sebabnya, tak lain karena salah satu "tersangka" kasus itu adalah Polda Metro Jaya, yang anggotanya menggebuki tiga orang fotografer di depan Gedung MPR/DPR Senayan, tahun lalu. Dalam beberapa rapat pleno Komnas HAM, menurut pengakuan beberapa komisioner, soal itu dilewati begitu saja.
Padahal Djoko Soegianto pernah mengingatkan adanya tiga rekomendasi pengurus lama kepada pengurus baru. Tapi Komnas malah membentuk KPP yang tak ada urusannya dengan polisi, seperti KPP HAM Soeharto. Namun Asmara membantah hal ini. "Tidak ada deal apa pun dengan polisi," katanya. Adapun Kepala Polda Metro Jaya, Makbul Padmanegara, ketika ditanya TEMPO berdalih, "Saya lupa apa yang dibicarakan. Soalnya sudah lama." Abdul Hakim Nusantara ketika ditanya kenapa KPP Penganiayaan Wartawan yang sudah direkomendasikan itu tak juga terbentuk, ia menjawab dengan enteng: " Wah?, saya belum tahu, tuh !" Lo, kok Komnas HAM kerjanya semrawut begitu sih?
Arif A. Kuswardono
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini