Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Editorial

Pengakuan Faiz Bafana: "Ba'asyir Terlibat"

1 Desember 2002 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SULIT untuk membayangkan seorang Abu Bakar Ba'asyir sebagai tokoh kriminal. Kakek berwajah bijak ini seorang pemimpin pesantren, bersuara halus, dan banyak senyum. Ia bukan saja merupakan tokoh yang sangat disegani kebanyakan warga Ngruki, melainkan juga dikenal aktif mengajak umat agar menjalankan agamanya dengan benar. Selintas Ba'asyir lebih mengesankan banyak orang sebagai sosok yang menyejukkan dan layak diperlakukan dengan penuh hormat. Tapi Ba'asyir kini berstatus tersangka. Tuduhan polisi yang ditujukan kepada dirinya juga berat: ia diduga terlibat dalam serentetan kegiatan pengeboman gereja pada malam Natal tahun 2000 dan pada komplotan yang berniat membunuh Megawati Soekarnoputri. Jika semua tuduhan itu terbukti benar di pengadilan, ancaman hukumannya tidak main-main. Secara teoretis, ia dapat divonis hukuman mati. Ini jelas persoalan serius. Polisi pun tidak sembarangan melontarkan tuduhan. Sikap hati-hati yang mereka lakukan malah sempat dianggap sebagai kekurangsigapan oleh sebagian kalangan internasional, seperti tersirat dari pemberitaan media Barat. Sebab, pasokan data intelijen yang diberikan dunia internasional mengenai kegiatan Jamaah Islamiyah pada mulanya seperti tak diacuhkan aparat hukum negeri ini. Mungkin mereka jeri pada opini publik domestik, yang boleh dikata didominasi oleh skeptisisme terhadap kesahihan informasi dari luar itu. Skeptisisme yang ternyata tidak dapat dibuyarkan bahkan oleh ledakan bom di Bali. Malah tragedi itu pada awalnya berdampak bagai siraman hujan bagi maraknya jamur teori konspirasi. Orang ramai di negeri ini, yang kebanyakan sedang terpukul oleh berbagai krisis ekonomi dan kepercayaan, sulit menerima kemungkinan hadirnya jaringan teroris lokal yang begitu piawai dan berskala global. Baru setelah hasil penyelidikan polisi yang kredibelkarena berdasarkan penelusuran data forensik di lapangan yang runut kendati sangat melelahkan ituberujung pada terjeratnya para pelaku, pendapat umum mulai berubah. Mulanya adalah penangkapan Amrozi. Sosok lelaki muda ini jauh dari kesan seram, malah tampil dengan gaya penuh humor. Lalu juga tercokoknya Abdul Aziz alias Imam Samudra, yang lebih pendiam tapi juga memancarkan raut yang merasa tak bersalah. Mereka bahkan menyiratkan nuansa kebanggaan karena merasa telah melakukan tindakan yang sesuai dengan keyakinan hati, yang di mata kebanyakan orang lain adalah sebuah kekejian tak terperi. Perilaku tak masuk akal mereka, termasuk pengakuan yang diberikan dengan cukup terbuka tentang kejahatan yang telah dilakukan, membuat pikiran khalayak seperti menjadi lebih jernih. Apalagi pengakuan-pengakuan itu ternyata banyak cocoknya dengan data intelijen yang didapat dari kesaksian para teroris lain yang ditahan di negara-negara tetangga. Maka membayangkan kemungkinan seorang tokoh agama tersangkut kegiatan pelanggaran hukum atau kemanusiaan tak lagi menjadi sebuah kemuskilan. Pertanyaannya kemudian adalah apakah Abu Bakar Ba'asyir termasuk dalam kategori ini. Mencari jawabannya bukan perkara mudah. Persinggungan antara Ustad Ba'asyir dan begitu banyak sosok yang terlibat aksi kekerasan atas nama agama terlihat begitu banyak. Bukan hanya dengan para pelaku bom bali, tapi juga dengan mereka yang terlibat aksi bom di berbagai gereja pada hari Natal tahun 2000, peristiwa Lampung, pengeboman Borobudur, rencana pengeboman Pantai Kuta yang gagal pada 1985, dan sejumlah kegiatan lainnya. Memang persinggungan itu tidak otomatis membuktikan keterlibatannya secara hukum, tapi membuatnya wajar untuk dicurigai dan diselidiki. Tugas penyelidikan yang berdasarkan kecurigaan itu ada di bahu polisi. Hasil penyidikan polisi akan menjadi bahan kejaksaan untuk menuntut Ba'asyir. Adapun penentuan melanggar hukum atau tidaknya Ustad Ba'asyir jelas merupakan wewenang pengadilan. Tugas para hakim dalam perkara ini tidaklah mudah. Sebab, batas antara kemungkinan Ba'asyir terlibat dalam aksi komplotan teroris dan Ba'asyir hanya sebagai tokoh spiritual panutan para pelaku kejahatan itu amatlah tipis. Apa yang terjadi di Inggris barangkali dapat menggambarkan sulitnya soal ini. Kebanyakan warga negeri maju itu, terutama para aparat hukumnya, sangat mencurigai keterlibatan Gerry Adams dalam kegiatan teror kelompok IRA. Namun, karena hingga kini mereka tak sanggup mendapatkan bukti hukumnya, ketua kelompok separatis Sinn Fein itu pun tetap bebas merdeka hingga sekarang. Kemungkinan seperti ini bukan hal yang mustahil terjadi di Indonesia, terutama karena sebagian tuduhan polisi berpijak pada kesaksian orang yang kesahihan penahanannya dipertanyakan. Itu sebabnya dianjurkan agar polisi hanya mengandalkan keterangan mereka yang ditahan di Afganistan, Singapura, dan Malaysia terbatas sebagai petunjuk untuk mencari bukti-bukti material di dalam negeri. Kesuksesan pihak kepolisian selama ini, yang bersandarkan pada penyelidikan yang cermat, sabar, dan penuh kehati-hatian, bukan tak mungkin dapat terulang lagi.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus