Italia kemungkinan besar gagal di Kejuaraan Eropa. Bagaimana di bawah pelatih Sacchi menghadapi Piala Dunia 1994? NASIB kesebelasan Italia bak di ujung tanduk. Agar bisa melaju mewakili Grup III Kejuaraan Eropa, ia harus mengalahkan Soviet pada pertandingan pekan lalu. Bermain tanpa gol saja bisa fatal. Untuk itu, taktik pun disusun. Tapi, sebuah kesalahan fatal muncul sebelum bertanding. Bintang Franco Baresi dan Gianluca Vialli beda pendapat dalam menghadapi tim beruang merah itu. Bermain di kandang lawan itu, Baresi, pemain yang bertanggung jawab atas pertahanan Italia, menghendaki menunda gempuran -untuk melihat taktik lawan. Selagi menunggu itu, timnya akan memanfaatkan kesalahan lawan dengan mencuri gol. "Kita harus bersabar untuk tidak terpancing permainan lawan," katanya. Sedangkan Gianluca Vialli, penyerang tengah asal Klub Sampdoria, menginginkan mencetak gol di menit-menit awal. "Selanjutnya, kami bisa menerapkan permainan bertahan," katanya. Ia memang dianggap mesin pencetak gol: membuat 74 gol dalam 191 pertandingan terakhir. Kenyataan di lapangan, tuan rumah bisa meredam permainan tim azzuri dengan taktik yang tak mudah dibaca. Ditonton sekitar 90 ribu orang, kesebelasan Italia memang tampil menawan. Sedikitnya tiga peluang yang tercipta, walau semuanya sia-sia. Pada menit ke-64, misalnya, tembakan Ruggiero Rizzitelli, 24 tahun -pemain asal AS Roma -membentur tiang gawang. Peran kiper Soviet, Cherchosov, dan bek kanan Vasily Kulkov, serta pemain tengah Igor Shalimov, tak kecil andilnya membuyarkan harapan Italia. Hingga peluit panjang berbunyi, kedua tim berbagi angka sama 0-0. Dengan hasil itu, buyarlah harapan Italia. Tim yang menjuarai Piala Eropa 1968 itu diduga bakal jadi penonton di final Kejuaraan Eropa, yang digelar di Swedia Juni tahun depan. Masih ada dua pertandingan lagi, melawan Norwegia dan Cyprus. Tapi sulit untuk menyelamatkan muka Italia. Tim Italia memang mundur-maju. Setelah sukses menggondol Piala Dunia di Spanyol 1982, pamornya merosot. Kegagalan demi kegagalan menimpanya. Pelatih Azeglio Vicini, 58 tahun, harus bekerja keras setelah menerima tongkat estafet dari Enzo Bearzot (1986). Hasilnya lumayan. Dari 54 pertandingan terakhir, Italia cuma kalah tujuh kali. Tapi ia tak pernah sukses di pertandingan besar. Kini, tak ada jalan lain kecuali mencoret Vicini. Ketua Persatuan Sepakbola Italia (IFF), Antonio Matarrese, terus terang mendepaknya. Padahal, kontrak Vicini baru akan berakhir Juni 1992. "Kami memerlukan pembaruan dan mentalitas yang lebih modern dengan kebutuhan sepak bola masa kini," kata Matarrese. Dan orang itu adalah bekas pelatih AC Milan, Arrigo Sacchi. Ia pernah mengantar klubnya jadi juara klub di Italia (1988), dan juara antarklub Eropa 1989 dan 1990. Juga di Piala Toyota 1990. Kabarnya, Sacchi dibayar Rp 1,5 milyar. Tugasnya adalah menyelesaikan pertandingan sisa, melawan Norwegia 13 November dan dengan tim papan bawah, Cyprus, 21 Desember. "Tugas ini tak menggairahkan sebenarnya, tak ada tantangan," kata Sacchi. Tapi tangan dinginnya masih diperlukan membenahi tim Italia ke Kejuaraan Piala Dunia 1994 di Amerika. Tentang permainan anak-anak asuhnya, ia menilai mental anak asuhnya lemah. "Tidak ada mental juara di sana," katanya. Sebab itu, Sacchi menghitung-hitung siapa yang akan dicoret. Kabarnya, kiper Walter Zenga dan beberapa pemain lagi, seperti Bergomi, Schillaci, dan Ricardo Ferri bakal dicoret. Sedangkan pemain asal Napoli, Gianfranco Zola, yang dinilai punya mental juara, bakal masuk nominasinya. Zola, yang namanya makin populer di Italia, sekarang mendapat julukan Marazola -sebuah gabungan nama Maradona dan Zola. "Dan saya suka nama itu," kata Zola. Nah, kita tunggu gebrakan Sacchi. WY
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini