Azadin Anhar merebut gelar juara dunia kelas terbang yunior IBF yang lowong. DUA hari sebelum naik ring, Azadin Anhar masih mengaku tidur dengan istrinya. "Saya yakin, stamina saya tak melorot," katanya. Keyakinan ini benar. Sabtu malam pekan lalu ia menang angka dalam 12 ronde memperebutkan sabuk juara dunia kelas terbang yunior IBF Intercontinental -standarnya di bawah IBF -- di Lhokseumawe. Ia menghajar petinju Muangthai, Thanjai Donjadee. Azadin langsung menggasak begitu bel ronde pertama berbunyi. Julukan sebagai petinju slow starter tak lagi kena. Apalagi didukung penonton setempat yang meneriaki dengan gemuruh: "Allahu Akbar, Allahu Akbar!" Azadin, penantang peringkat delapan, tampak beringas. Ia tak lagi mengkhawatirkan pelipis kirinya yang rawan pukul lantaran gampang robek. Soalnya, sejak dioperasi oleh dokter Korea, bekas luka itu tak pernah robek lagi. "Sparing partner saya, yang bertubuh besar, memukul bertubi-tubi juga tak koyak," kata Azadin, 28 tahun. Di ronde kesembilan, setelah bertubi-tubi tangannya menghantam perut lawan hingga terjatuh, penonton seakan ikut histeris. Gedung itu pun seakan runtuh oleh teriakan suporter. Tapi Thanjai tertolong oleh bel, dan bisa menyudahi 12 ronde tanpa KO. Malam itu, Azadin memang milik warga Aceh. Biaya Rp 250 juta yang dikeluarkan panitia pelaksana Ali Jauhari tak sia-sia. Dua hakim memberi angka kemenangan untuk Azadin. Dan seorang lagi untuk Thanjai. Azadin memang bukan muka baru di arena tinju. Ia lahir di kalangan petinju. Dari 9 bersaudara, 4 di antaranya adalah petinju. Ayahnya seorang purnawirawan Letnan Kolonel TNI-AD. Umur 14 tahun ia sudah mengenal boks dan ring. Abang-abangnya yang lebih gede dihabisi. Tapi kariernya baru naik pada 1980, menjadi juara kedua. Setahun kemudian menjadi juara nasional. Pada 1985 ia beralih ke tinju prof. Ia pernah menghabisi Little Pono hanya dalam waktu satu ronde. Sebab itu, ia kurang setuju kalau dirinya dianggap petinju slow starter -seperti mesin diesel yang baru panas setelah beberapa menit. "Saya hanya lihat kesempatan, kalau bisa dihabisi satu ronde, ya dihabisi saja," kata Azadin. Lebih-lebih jika lawannya mengucurkar darah. Semangatnya makin menggebu. "Saya memang ingin permainan cepat selesai. Jadi, nggak ada kasihan-kasihanan," katanya. Di mata pelatihnya, Kris Rotinsulu, pukulan anak asuhnya ini mematikan untuk menghajar perut lawan. "Banyak lawan yang digebuk dengan cara itu langsung KO," kata Kris. Pengamat tinju Syamsul Anwar Harahap, promotor pertandingan, mengakui bobot pukulan kiri-kanan Azadin memang bagus. "Hanya sayang, snapping punch-nya kurang," katanya. Segi positif lagi, kata Kris, Azadin adalah petinju fighter dan sekaligus boxer. Sedang Thanjai, bukan petinju sejati karena di negaranya ia aktif sebagai atlet Thai boxing. Gaya tinju Thanjai juga sudah dibaca Azadin. Pada Februari 1989, untuk kejuaraan non-title (8 ronde), Azadin pernah menang angka atas Thanjai. Nah, kali ini Azadin diuntungkan oleh kelebihan berat badan Thanjai. Sabtu pagi sebelum bertanding ia kelebihan 1,5 kilogram. Upaya pengurangan berat itu tentu mempengaruhi kondisinya. Dan benar saja. Thanjai, penantang nomor satu, ditumbangkannya. Inilah sabuk yang lama diidamkan Azadin. Dua kali ia naik ring untuk merebut gelar juara OPBF pada 1988 dan 1991. Ia gagal, dikalahkan petinju Korea. Kini ia mengukir sejarah baru. Bayaran Rp 6 juta yang diterimanya (60 persen masuk kantung, sisanya untuk klub) memang di bawah Thanjai yang Rp 14 juta. Bayaran kali ini pun jauh di bawah penerimaannya saat memperebutkan juara dunia IBF 1987 yang Rp 16 juta. Tapi pegawai staf di ASMI Extension ini tetap bersyukur. "Sebab, dengan bertanding kan bisa untuk mengangsur kredit rumah BTN saya di Bekasi." WY dan Irwan E. Siregar (Medan)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini