Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tahun 2015 berakhir tak terlalu memuaskan bagi Hou Yifan. Pecatur wanita nomor satu dunia ini bisa menjadi yang terbaik di antara para pecatur wanita peserta turnamen Qatar Masters Open di Doha, Qatar, yang berakhir pada 30 Desember 2015. Sayang, dalam klasemen umum, yang menggabungkan pecatur pria dan wanita, ia tercecer di urutan ke-38 dari 300 peserta.
Tapi Yifan enggan berlama-lama kecewa. Ia memilih kembali berlatih keras—hingga empat-lima jam sehari—untuk menghadapi turnamen bergengsi lain, Tata Steel Chess Tournament, yang dimulai akhir pekan ini di Wijk aan Zee, Belanda. Di sana, ia akan kembali bersaing dengan para pecatur pria terbaik dunia, termasuk Magnus Carlsen, pecatur nomor satu asal Norwegia. Carlsen juga tampil, bahkan menjadi juara, dalam turnamen di Qatar, tapi tak sempat bersua dengan Yifan.
Dalam berlatih, Yifan memilih tetap menghindari melawan komputer. "Program catur komputer saat ini sangat kuat, sehingga bisa membuat pemain tidak percaya diri," katanya. Ia lebih nyaman berlatih dengan pecatur atlet lain atau pelatih. "Kalau bermain catur dengan orang, kita juga bercakap-cakap. Catur itu seperti hidup. Kita bisa belajar dari kesalahan sendiri dan kesalahan orang lain."
Catur memasuki hidup Yifan sejak belia. Lahir di Xinghua, Jiangsu, Cina, pada 27 Februari 1994, ia sudah terpesona oleh bidak-bidak catur sejak berusia tiga tahun. Ayahnya, Hou Xuejian, pegawai pengadilan setempat, suatu hari mengajaknya jalan-jalan. Di depan sebuah toko, pandangan gadis kecil itu tertahan lama, menatap buah catur yang dipajang di etalase. Ia sangat girang ketika ayahnya mau membelikan papan catur itu.
Hanya beberapa pekan belajar, Yifan ternyata bisa mengalahkan ayah dan neneknya. Pecatur bergelar master internasional, Tong Yuanming, melihat permainan Yifan saat berumur lima tahun dan langsung memujinya. "Kepercayaan dirinya sangat besar, memorinya istimewa, kalkulasinya hebat, dan reaksinya sangat cepat," kata Yuanming.
Wang Qian, ibunya yang bekerja sebagai perawat, sadar akan potensi putrinya dan memilih melakukan giliran jaga malam lebih sering agar bisa mendampingi anaknya menimba ilmu di klub catur setempat. Pada usia tujuh tahun, hari-hari Yifan pun menjadi super-padat. Pagi sekolah, siang menyelesaikan pekerjaan rumah, dan sorenya berlatih catur hingga lima-enam jam. Tapi ia tak merasa terpaksa melakukannya. "Permainan ini sangat memikat dan tak pernah membuat saya bosan. Saya ingin terus bermain dan belajar lebih banyak," katanya mengenang masa-masa itu.
Pada 2003, ayah dan ibunya pindah ke Beijing agar Yifan bisa belajar di Pusat Catur Nasional. Dengan bakat dan kerja kerasnya, prestasi dengan cepat menghampiri pecatur belia ini. Pada Juni 2007, ia menjadi juara nasional termuda di negaranya. Kesempatan berlaga di luar negeri pun kian terbuka, sehingga ibunya memutuskan berhenti bekerja agar bisa mendampinginya. Yifan pun keluar sekolah dan memilih homeschooling.
Di berbagai kejuaraan yang diikutinya, Yifan terus tampil memukau sehingga dijuluki anak ajaib. Rekor demi rekor terus ia pecahkan. Pada usia 12 tahun, ia menjadi pemain termuda yang berpartisipasi di Kejuaraan Dunia Federasi Catur Internasional (FIDE) Wanita (di Yekaterinburg, Rusia 2006) dan Olimpiade Catur (Torino, Italia, 2006). Pada 2008, ia meraih gelar Grandmaster saat berusia 14 tahun dan menjadi pemegang gelar wanita termuda. Pada 2010, ia menjadi wanita termuda yang menjadi juara dunia berkat kemenangan di Turki.
Posisi pecatur wanita nomor satu dunia diraih Yifan pada Maret 2015, sekaligus mengakhiri dominasi Judit Polgar, pecatur Hungaria yang telah bertakhta selama 26 tahun. Sempat sebentar kehilangan gelar itu, ia bisa meraihnya kembali pada Agustus, setelah Polgar memutuskan pensiun total. Kini ia juga menjadi satu-satunya wanita yang masuk peringkat 100 besar pecatur dunia, yakni di posisi ke-59. Ia menjadi wanita ketiga—setelah Polgar dan Maia Chiburdanidze—yang bisa menembus posisi terhormat itu.
Penampilannya juga berubah. Hingga lima tahun lalu dia kerap diledek karena dandanan "seadanya": kaus sederhana dan dua jepit rambut. Kini Yifan kerap dipuji karena gayanya yang modis. "Ia wanita glamor, juara dunia, yang mengubah wajah kutu buku catur dunia," tulis wartawan Daily Mail.
Kepada Oystermag, Yifan mengakui di awal keikutsertaannya dalam turnamen internasional ia kerap diledek karena urusan dandanan. "Saat itu masih muda, baru 11 tahun, belum tahu soal mode. Jadi saya belajar dari yang lebih tua."
Seiring dengan bertambahnya usia, Yifan juga merasakan perubahan psikologis dalam hal cara memandang catur. "Ketika kecil, ini hanya relaksasi, teka-teki yang menarik," katanya. Kini, setelah menjadi juara dunia, segalanya jadi berbeda. "Kini saya tak hanya jadi bos bagi diri sendiri, tapi juga memiliki tanggung jawab."
Tanggung jawab itu, antara lain, terkait dengan harapan agar dia bisa melebihi kiprah Judit Polgar, yang dianggap sebagai salah satu pecatur wanita terhebat dalam sejarah. Polgar, yang kini berusia 39 tahun, mampu menduduki peringkat ke-55 dunia saat berusia 12 tahun. Memilih berfokus melawan para pecatur pria dan jarang tampil dalam turnamen wanita, ia mampu mengalahkan banyak juara, seperti Anatoly Karpov, Viswanathan Anand, dan Garry Kasparov. Pada 2005, Polgar mampu mencapai peringkat ke-8 dunia dan pada yang saat sama elo rating-nya mencapai titik tertinggi, 2.735.
Adapun Yifan baru memiliki elo rating 2.676. Tapi banyak pengamat memprediksi ia segera mencapai angka 2.700, terutama karena belakangan dia lebih sering terjun ke turnamen terbuka yang juga melibatkan pria.
Yifan mengakui melawan pecatur pria sangat bermanfaat. "Mereka bermain lebih baik ketimbang wanita. Mereka bermain dengan cara berbeda, dengan pendekatan berbeda. Itu sangat berguna," ujarnya. Namun ia tak mau menempuh jalan drastis seperti Polgar, yang mengabaikan turnamen wanita. "Kita bisa belajar dari pemain pria yang kuat, tapi hal itu tak berarti harus berhenti tampil di kejuaraan wanita. Inilah jalan saya."
Jalan berbeda Yifan adalah dalam menata kehidupannya. Tak seperti Polgar yang sepenuhnya mencurahkan energi buat catur, Yifan mulai menengok bidang lain. "Catur adalah bagian dari hidup saya, tapi bukan segalanya. Ada banyak aspek lain. Saat ini saya juga sedang belajar," katanya.
Belajar yang dia maksud adalah kuliah di Jurusan Hubungan Internasional di Universitas Beijing, yang kini sudah mencapai tahap akhir. Pada masa-masa persiapan menjelang turnamen seperti sekarang, ia harus lebih ketat membagi waktu antara berlatih dan belajar, tapi juga menyempatkan diri bertemu dengan kawan-kawannya di kampus. "Kami jalan bersama, bersenang-senang. Kami melakukan perjalanan singkat ke gunung atau taman. Rasanya nyaman," ujarnya.
Selingan seperti itu bisa membuatnya lebih segar saat kembali berlatih atau bertanding. Kondisi seperti itu pun akan jadi bekal berharga saat tampil di Tata Steel Chess Tournament, akhir pekan ini. Tahun lalu, dalam kejuaraan dengan 14 peserta itu, ia tiga kali mengalami kekalahan, termasuk ditaklukkan Magnus Carlsen (elo rating 2.882) dalam 54 langkah, sehingga hanya finis di posisi 10. Kini Yifan berusaha menebus kegagalan itu.
Nurdin Saleh (Yifanhou.net, Chessbase, Telegraph)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo